Asalaamu’alaikum wr wb
“Saya tidak bisa menulis Pak. Karena saya tidak suka hal-hal yang berkaitan dengan menulis,” seorang siswa kelas menulis pernah menyampaikan itu kepada saya. Dia menambahkan, “saya juga kurang suka membaca”. Hmm… lengkap sudah ‘penderitaannya’. Dia mencoba mengampuni dirinya sendiri yang tidak mampu (atau tidak mau?) belajar menulis atau menjadi penulis.
Cerita lain. Dalam sebuah perjalanan ke Sawangan, Depok. Saya menemukan sebuah tulisan terpampang jelas di ‘pantat’ truk dalam bahasa Sunda: “Geus Kieu Kuduna” (translate: “Sudah begini harusnya”). Saya tertawa kecil tapi sekaligus miris ketika membaca tulisan yang disertai gambar seorang lelaki tua yang kepalanya bersandar di paha seorang perempuan muda yang sedang duduk. Di sampingnya ada botol minuman keras. Entah apa maksud sesungguhnya dari si pembuat tulisan dan gambar tersebut. Karena saya tidak bisa klarifikasi. Mobil itu berkejaran dengan sepeda motor saya, dan sejenak kemudian saya sudah mendahuluinya. Sepanjang jalan saya berpikir, sepertinya tulisan tersebut juga memberi kesan dan pesan bahwa sedang “mengampuni diri sendiri”. Seolah apa yang dilakukan itu sudah menjadi bagian nasibnya. Tidak mau mengubahnya menjadi lebih baik. Ah, sebuah kepasrahan tanpa alasan yang bisa diterima.
Sahabat, jangan sampai kita pasrah bukan pada tempatnya. Bukan sikap yang baik berlindung di balik upaya mengampuni diri sendiri. “Ya, sudahlah. Saya pasrah saja. Saya terima nasib ini. Mau apa lagi?” Padahal kenyataannya, ia sebenarnya masih bisa untuk mengubah kondisinya. Sekecil apa pun upaya kita, karena insya Allah masih ada harapan untuk bisa menjadi lebih baik.
Sebenarnya, ada juga jenis “mengampuni diri sendiri” yang konotasinya baik. Misalnya, kita sudah berupaya sebaik mungkin, sudah semaksimal yang kita mampu, tapi ternyata gagal. Kemudian kita sabar dan berusaha menenangkan diri kita: “masih ada hari esok, aku harus bisa bangkit!” Nah, ini wujud mengampuni diri sendiri yang positif. Sebab, ada juga orang yang tidak bisa mengampuni diri sendiri karena dia merasa harus perfect (sempurna). Sehingga ketika merasa gagal akhirnya dia menghukumi diri sendiri, dan yang paling fatal adalah bunuh diri. Tentu pada kondisi seperti ini, kita harus sadar bahwa kita manusia, yang memang memiliki kelemahan. Maka, cara mengampuni diri sendiri dalam arti yang positif seperti ini, adalah bersikap tenang. Don’t panic! Sambil kita susun kekuatan untuk bisa kembali meraih apa yang kita inginkan. Jangan hukum diri kita hanya karena kita gagal. Jangan pula takut mengakui bahwa diri kita tidaklah sempurna.
Nah, sisi lain yang sedang kita bahas adalah “mengampuni diri sendiri” dalam arti yang negatif dan ini jangan sampai dilakukan oleh seorang Muslim. Sebab, mengampuni diri sendiri dalam arti yang negatif adalah salah satu upaya untuk menutupi kemalasan dirinya, untuk meminta pengampunan dari orang lain atas ketidakberdayaan yang disengajanya. Dia berharap akan dimaklumi atas kegagalan yang diterimanya, sementara dia sendiri sebenarnya tidak mau berusaha sampai maksimal. Inilah sikap mengampuni diri sendiri yang jelek. Hanya akan mematikan semangat dan kreativitas dalam berusaha untuk mencapai hasil maksimal.
Ayo, bangkitlah! Jangan biarkan hidup kita terpuruk dengan hidup di “masa lalu”. Realistislah. Kegagalan adalah cambuk untuk kita berusaha meraih keberhasilan. Jangan cengeng dan jangan mencoba mengampuni diri sendiri ketika sebenarnya kita masih bisa mengubahnya menjadi lebih baik. Jangan menyerah ketika masih ada sesuatu yang dapat kita berikan. Tidak ada yang benar-benar kalah sampai kita berhenti berusaha. Yakinlah!
Allah Swt berfirman: Huwa (Dialah) alladzii ja’ala lakumu (yang menciptakan untuk kalian) al-ardh (bumi) zaluulan (mudah) famsyuu (maka berjalanlah) fii (di) manaakibiha (permukaannya) wa kuluu (dan makanlah) min zurriyati (dari biji-bijiannya) wa ilaihi (dan kepadaNyalah) an-nusyuur (pengembalianmu) (QS al-Mulk [67]: 15)
Ayat ini mengajak kita untuk senantiasa berusaha mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik. Tidak mudah menyerah, karena Allah Swt. sudah menyediakan lapangan rejeki yang bisa kita raih. Giatlah berusaha. Jangan menyerah. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat”. Maka para sahabat pun bertanya: “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Bersusah payah dalam mencari nafkah.” (HR Bukhari)
Allah Swt. juga berfirman dalam ayat yang sangat populer bagi kita (yang artinya): “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’d [13]: 11)
Berusahalah semaksimal mungkin untuk mengubah kondisi kita. Sikap “mengampuni diri sendiri” yang diniatkan untuk menutupi kemalasan dan keengganan berusaha bukanlah sikap seorang muslim sejati. Apalagi jika kemudian hanya berpangku tangan mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Islam, tidak mengajarkan untuk menghinakan diri seperti itu. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya seseorang di antara kamu yang berpagi-pagi dalam mencari rejeki,memikul kayu kemudian bersedekah sebagian darinya dan mencukupkan diri dari (meminta-minta) kepada orang lain, adalah lebih baik ketimbang meminta-minta kepada seseorang, yang mungkin diberi atau ditolak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ketika kita belajar juga sama. Jangan menyerah ketika kita belum bisa mendapatkan ilmu. Ilmu harus ditebus dengan belajar sungguh-sungguh. Bahkan adakalanya dilakukan dengan pengorbanan untuk mendapatkannya.
Dalam biografi Hisyam bin Ammar disebutkan bahwa dia pernah masuk kepada Imam Malik tanpa izin seraya mengatakan: “Ceritakanlah kepadaku hadits.” Imam Malik mengatakan: “Bacalah.” Hisyam berkata: “Tidak, yang saya inginkan adalah engkau menceritakan kepadaku hadits.” Tatkala Hisyam sering mengulang-ngulang hal itu, maka Imam Malik mengatakan: “Wahai pelayan, pukullah dia sebanyak lima belas kali.” Pelayan pun memukul Hisyam lima belas kali lalu membawanya kepada Imam Malik. Hisyam berkata kepada Imam Malik: “Kenapa engkau menzholimiku? Engkau telah memukulku tanpa dosa yang kuperbuat. Aku tidak menghalalkanmu.” Imam Malik berkata: “Terus, apa tebusannya?” Hisyam menjawab: “Tebusannya adalah engkau menceritakan kepadaku lima belas hadits.” Maka beliau pun menceritakan lima belas hadits kepada Hisyam. Hisyam berkata lagi kepada Imam Malik: “Tolong tambahi lagi pukulannya sehingga Anda menambahi lagi hadits untukku.” Mendengar itu, Imam Malik tertawa seraya mengatakan: “Pergilah kamu.” (Siyar A’lam Nubala 3/4093 oleh adz-Dzahabi, cetakan Baitul Afkar)
Kisah menakjubkan lainnya bisa menjadi pelajaran kita dalam mencari ilmu. Tidak mudah putus asa, apalagi mengampuni diri sendiri atas kemalasan kita. Imam as-Sam’ani menceritakan bahwa Imam al- Baihaqi pernah tertimpa penyakit di tangannya, sehingga jari-jemarinya dipotong semua, hanya tinggal pergelangan tangan saja. Sekalipun demikian, beliau tidak berhenti dari menulis, beliau mengambil pena dengan pergelangan tangannya dan meletakkan kertas di tanah seraya memeganginya dengan kakinya, lalu menulis dengan tulisan yang indah dan jelas. Demikianlah hari-harinya, sehingga setiap hari dia dapat menulis dengan tangannya kurang lebih sepuluh lembar. “Sungguh, ini adalah pemandangan sangat menakjubkan yang pernah saya lihat darinya,” kata as-Sam’ani. (at-Tahbir fil Mu’jam Kabir 1/223)
Semoga kita tidak berusaha mengampuni diri sendiri sebagai alasan untuk menutupi kemalasan kita dalam belajar, berusaha, bekerja, berdakwah, berjuang, termasuk suatu saat nanti berjihad di jalan Allah Swt. Tunjukkan bahwa kita mampu, jangan mudah menyerah. Berusahalah semaksimal kita bisa. Insya Allah ada hasilnya. Tetap semangat!
Salam,
Catatan: bahan bacaan tulisan diambil dari berbagai sumber yang pernah saya baca. Salah satunya dari majalahalfurqon.com