Assalaamu’alaikum wr wb
Inspirasi menulis bisa dari mana saja. Termasuk untuk menulis artikel ini yang spontan idenya muncul saat ini juga. Hari ini saya berkunjung ke Bogor Islamic Book Fair sejak pagi tadi, selepas ngisi jadwal rutin kajian bareng temen-temen gaulislam, dengan tujuan utama membagikan buletin gaulislam edisi terbaru di event itu. Nah, saat itulah saya bertemu dengan Burhan, anak muda yang biasa memandu saya siaran Fresh! Air di MARS 106 FM. Bersamanya saya lalu membagikan buletin gaulislam edisi 168/tahun ke-4 ke para peserta remaja setelah mereka mengikuti sebuah talkshow di panggung utama. Seru! Karena ada di antara mereka yang tak sabar hingga berebutan mendapatkan gaulislam. Mungkin ia sudah pernah membaca gaulislam di edisi sebelumnya. Mungkin. Hehehe…
Lalu apa hubungannya dengan judul posting ini? Ada. Siang ini, tanpa sengaja saya menjadi ‘mentor’ dadakan untuk membantu Burhan, seorang pemuda yang sedang menempuh pendidikan berbeasiswa di sebuah lembaga zakat.
Setelah shalat Dhuhur, saya dan Burhan kembali ke studio MARS 106 FM. Di ruang rapat kami ngobrol. Burhan menyampaikan bahwa dirinya mendapatkan tugas menulis feature dari dosennya. Nah, seperti dalam peribahasa “Pucuk dicinta ulam tiba”. Burhan, memanfaatkan betul kesempatan ini. Jadilah saya mentor dadakan bagi Burhan. Saya rangsang dia untuk berpikir dan mengungkapkan apa buah pikirannya ke dalam sebuah tulisan. Berat di awalnya memang. Burhan berkali-kali tampak bingung. Ujung balpoint-nya tak pernah bergerak untuk dituliskan sementara wajahnya begitu tegang. Saya diamkan beberapa saat sambil ngecek email.
“Saya bingung Pak” Burhan seakan menyerah.
“Bingungnya di mana?” saya tanya sambil melihat hasil tulisannya yang baru beberapa buah kata itu.
“Memulainya” sambil menatap mata saya dia bicara.
“Ok. Sekarang begini. Apa yang ada dalam pikiran Burhan saat ini? Mungkin beberapa peristiwa yang menarik akhir-akhir ini, adakah? Atau, mungkin pengalaman terbaru yang bisa diceritakan ke orang lain? Bisa juga, Burhan barangkali punya pendapat tertentu yang ingin disampaikan?” Panjang lebar saya pandu dia. Saya sengaja tidak memberikan taburan kalimat langsung agar ia bisa menulis lancar. Tidak. Saya memilih Burhan untuk menuliskan buah pikirannya dengan bahasanya sendiri.
Ketika ia meminta contoh, saya berikan beberapa tulisan saya di blog, termasuk yang di facebook. Dia membacanya sekilas. Lalu manggut-manggut tanda mengerti.
“Oh, bisa dimulai dari menuliskan pengalaman ya, Pak”
“Ya, bisa juga demikian” saya memastikan.
“Bisa dengan cara lain tidak?” dia tampak belum yakin.
“Kenapa tidak? Saya lalu contohkan bahwa dalam menulis feature bisa melalui berbagai angle (sudut pandang). Untuk satu tema saja bisa banyak sudut pandang. Contohnya, ini tulisan saya lainnya,” saya menyodorkan contoh tulisan saya lain.
Burhan lalu menulis. Menulis dan menulis terus. Beberapa kali ia tampak masih belum percaya diri dengan hasil tulisannya. Ia menunjukkan dan minta saya menilainya. Saya pastikan bahwa, Burhan harus berani menuliskan buah pikirannya. Jika saat ini yang muncul banyak ide, tulislah saja semuanya. Meski berantakan, nanti bisa ditulis ulang. Disusun sesuai runutan peristiwanya dan logika penuturannya. Baca lagi ketika sudah dianggap selesai. Insya Allah nanti akan ketemu, paragraf mana saja yang sebaiknya disimpan dalam susunan yang rapi. Burhan menurut dan akhirnya dia mampu menyelesaikannya setelah lebih dari lima belas menit menulis dan menuangkan buah pikirannya dalam selembar kertas.
“Sudah Pak!” seru Burhan sambil mengemas barang bawaannya untuk menuju kelas dan bertemu dosennya untuk menyerahkan tugas menulisnya hari itu juga.
“Yang penting ada dulu deh Pak!”
“Sip deh!” saya mensupport-nya.
Saya sampaikan ke Burhan bahwa untuk menulis lebih lancar lagi, harus sering latihan menulis. Sebab, menulis adalah keterampilan. Tidak instan. Perlu pengorbanan, perlu percaya diri dan perlu kesabaran. Jangan lupa sambil berikhtiar tetaplah berdoa memohon kepada Allah Swt. untuk dimudahkan dalam belajar menulis.
Saya berharap, Burhan dan siapapun yang hendak menulis, beranilah untuk menuangkan buah pikirannya. Jangan ragu, jangan bimbang, teruslah menulis. Asah kemampuan menulis secara teknik, dan kembangkan terus wawasan yang kita miliki. Insya Allah akan menghasilkan tulisan yang tidak saja enak dibaca, tapi juga berbobot. Ibarat makanan, bukan saja mengenyangkan karena enak dilahap, tetapi juga bergizi tinggi (Ah, jadi ingat tulisannya Pak Hernowo, Andai Buku Itu Sepotong Pizza). Di buku itu sangat menarik digambarkan bagaimana menikmati sebuah buku. Nah, agar bisa menghasilkan buku ‘bergizi’ maka penulisnya harus belajar untuk ‘memasaknya’.
Baiklah, ini sekadar catatan kecil saja. Sekadar membangkitkan motivasi bagi siapa saja yang mau memulai menulis atau membiasakan menulis. Intinya, aktivitas menulis itu tidak lepas dari membaca. Maka, jika diformulasikan begini; “membaca, menulis, membaca lagi, menulis lagi, begitu seterusnya”. Ada pameo terkenal juga bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Contohnya, para mantan presiden Amerika rata-rata bisa menulis biografinya. Karena mereka rajin baca. AS memiliki pemimpin-pemimpin besar yang gila buku, seperti John Quincy Adams, Abraham Lincoln, dan JF Kennedy; Inggris pernah memiliki pemimpin legendaris Winston Churchill yang maniak buku; dan India memiliki pemimpin besar Jawaharlal Nehru yang kutu buku.
Bagaimana dengan Islam? Wah, insya Allah banyak juga. Ribuan ulama adalah para penulis dan juga mereka adalah pembaca. Lihat Imam Syafi’i, beliau menulis karya masterpiece-nya yang berjudul al-Umm. Mungkin saja beliau terinspirasi dari penulis sebelumnya. Ya, dalam sebuah riwayat yang pernah saya dapatkan, ternyata beliau juga sudah membaca kitab al-Muwwatha karya Imam Malik sebelum berguru kepada penulisnya itu secara langsung. Hebat bukan?
Jika kita membaca kitab-kitab para ulama, lihatlah sumber rujukannya. Pasti bertaburan. Itu artinya, mereka juga membaca. Tradisi keilmuan di dunia Islam yang tinggi telah menghantarkan orang-orang hebat lainnya seperti Imam Ibnu Taymiyyah dengan Majmu al-Fatawa. Imam Bukhari dan Imam Muslim menuliskan kumpulan hadits shahihnya. Para ahli tafsir seperti Imam az-Zamakhsary yang menulis Tasfir al-Kasyaf, Imam Qurthubi yang menulis Tafsir al-Qurthubiy. Buya HAMKA menulis tafsir Al-Azhar dan masih ribuan ulama lainnya. Mereka semua para penulis hebat sepanjang sejarah. Ilmunya terus bermanfaat dan menyirami pikir serta rasa semua orang yang haus ilmu. Pahala bagi penulisnya hingga hari kiamat. Insya Allah.
Jika Clinton dalam otobiografinya My Life menjelaskan bahwa buku adalah jembatan menuju abad 21, demikian juga yang dilakukan Khalifah Harun al-Rasyid di negeri Seribu Satu Malam. Lewat perpustakaan Baitul Hikmah, Khalifah Harun al-Rasyid mampu menghadirkan digdayanya kekhalifahan Islam dari bani Abbasiyah sebagai tonggak peradaban dunia paling monumental. Fantastis!
Yuk, beranilah menuliskan buah pikiran Anda sekarang juga. Jangan tunggu sampai lupa apalagi malas. Latihlah kemampuan menulis seiring dengan ditingkatkannya kemampuan membaca. Semoga tulisan hasil dari ide spontan saya dalam menangkap inspirasi siang ini bisa bermanfaat bagi siapa saja. Tetap semangat menulis!
Salam,
O. Solihin