Antara Start dan Finish

Anto Apriyanto

Apa yang biasa kamu lakukan dalam menyambut tahun baru? Beragam jawaban dan ekspresi pasti bakal saya dapet dari kamu. Mulai dari yang semangat nyiapin segala sesuatunya di momen pergatian tahun ini, yang sekedar ikut-ikutan karena nggak enak sama temen karena takut dikatain nggak solider, yang biasa-biasa aja alias cuek bebek nggak peduli dengan hal nggak penting kayak gini, sampe yang ekstrim benci dan nggak suka sama acara rutinitas tahunan yang udah seperti tradisi ini. Dan emang faktanya, mayoritas masyarakat Indonesia menganggap hal ini seperti udah menjadi budaya, pokoknya nggak boleh sampe terlewatkan lah. Betul apa betul?

Euforia yang saya maksud di atas biasanya gampang kita temukan di setiap pergantian tahun baru miladiyah (masehi). Meskipun sekarang udah mulai membudaya juga tradisi sambut tahun baru hijriyah (tarhib Muharram) tiap tahunnya yang kental dengan nuansa pawai diiringi suara tabuhan ‘band kepret’ alias rebana atau marawis, tapi kemeriahan pesta tahun baru masehi tetep nggak tergantikan. Kebisinginnya juga nggak ketulungan kalo udah mau deket-deket 31 Desember jam 00:00. Itu yang namanya suara terompet ampun deh udah bikin berisik seantero jagat raya (lebay deh…), khususnya buat saya yang alergi sama kebisingan semacam terompet atau petasan. Untungnya saya nggak pernah sakit gigi, yang konon katanya kalo lagi senut-senut nggak karuan gitu ngedenger suara berisik jadi tambah ‘nikmat’ nyerinya. Heuheu. Hmm, mantep tuh! Amit-amit cabang Bogor deh…

Malah parahnya, kalo dibandingin lagi sama tahun baru kaum koko dan cici; imlek, tahun baru hijriyah yang katanya tahun baru umat Islam nggak pernah disambut antusias seantusias seperti menyambut kehadiran gong xi fat chai oleh kita yang rata-rata muslim. Apa karena seneng sama hiburan barongsaynya atau karena ngarep dapet angpau? Wah, saya juga nggak tau tuh (sambil garuk-garuk kepala…).

1 Muharram vs 1 Januari

Sobat muda, kalo kamu ngerasa remaja muslim, ayo siapa yang bisa nyebutin nama 12 bulan di sistem penanggalan hijriyah secara benar berurutan? Kalo pas ada pertanyaan gini sontak biasanya kamu yang lagi rame sekali pun pasti langsung diem seribu bahasa (ceile…), kayak dering suara panggilan hp yang kamu reject. Atau persis mirip ekspresi seorang anak (temennya Cila) di iklan susu di tv yang pas ditanya mau jadi apa dia jawab: “Wah, apa ya?” Tuing-tuing…

Beda ketika ditanya tentang 12 bulan di tahun masehi yang semuanya pasti bisa jawab dari Januari sampe Desember. Hapal di luar kepala. Mas dan Mbak, yang jawaban pertanyaan atas juga sama kan di luar kepala, bener-bener di luar kepala, alias nggak tahu? Tuh kan mesem-mesem…

Nah, itulah kita. Muslim yang kini hampir nggak mengenal identitas pribadinya. Dari mulai Muharram, Safar, Rabiul Awal (Rabiul Ula), Rabiul Akhir (Rabiuts Tsani), Jumadil Awal (Jumadil Ula), Jumadil Akhir (Jumadits Tsani), Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqoidah, sampe Dzulhijjah adalah 12 bulan yang nyaris terdelete dari memori otak kita. Padahal di tiap bulan tersebut rata-rata terkandung peristiwa bersejarah yang ada kaitannya dengan peradaban manusia.

Sama kasusnya dengan hari Ahad yang merupakan hari pertama dalam siklus mingguan kalender yang sudah tergantikan dengan Minggu. Idealnya, mengawali hari aktivitasnya muslim adalah sejak Ahad, tapi kita di hari pertama malah liburan dengan alasan Minggu. Konon menurut guru saya, itulah alasan mengapa pencarian nafkah kita jadi sering tidak berkah karena memulai ikhtiar di hari kedua. Kalo kata orang tua dulu, ibarat rejekinya udah dipatok ayam. Ya up to you, Anda boleh percaya, boleh tidak.

Seperti halnya sejarah awal mula penetapan tanggal 1 Muharram, ternyata kalo kita buka referensi di kitab-kitab sirah nabawiyah atau tarikh, kita bakal nemuin begitu dahsyatnya rentetan peristwa-peristiwa itu terjadi. Pantes kalo sekarang semangat hijrah 1 Muharram selalu diperingati sebagai momentum awal untuk membuat komitmen hidup yang lebih baik lagi oleh kita yang muslim. Nggak kebayang kan gimana dulu Rasul Saw. dan para sahabat mempertahankan nyawa saat kaum kuffar Quraisy mencoba membabat habis peradaban Islam yang tengah dibangun? Makanya Allah memerintahkan kaum muslim saat itu buat pindah untuk sementara waktu menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman; dari Mekah ke Madinah. Lebih mendebarkan plus mengerikan ketimbang mengungsinya masyarakat sekitar Gunung Merapi ke posko-posko darurat pas erupsi kemaren, lho.

Singkatnya, peristiwa perjuangan generasi awal Islam inilah yang kemudian dicanangkan oleh Amirul Mu’minin ‘Umar Ibnul Khaththab sebagai landasan penanggalan kalender Islam yang dimulai 1 Muharram, 1.432 tahun yang lalu.

Sementara 1 Januari yang begitu extravaganza dipestakan ternyata hanyalah warisan seremonial kaum pagan Yunani dan Romawi yang memuja dewa-dewi sembahan mereka. Banyak yang nggak tahu kalo perayaan 1 Januari itu lekat dengan unsur ritual dari keyakinan yang dianut mereka. Bahkan sebenarnya kita perlu curiga dengan slogan ucapan yang terpampang jelas setiap menjelang tahun baru, ucapan selamatnya selalu digabung antara Natal dan Tahun Baru. Kok bisa? Ini dia jawabannya: Pada tahun 1582 M Paus Gregorius XIII juga mengubah Perayaan Tahun Baru Umat Kristen dari tanggal 25 Maret menjadi 1 Januari. Hingga kini, Umat Kristen di seluruh dunia merayakan Tahun Baru mereka pada tanggal 1 Januari. Nah lho, jadi sebenarnya kaum muslimin yang merayakan tahun baru 1 Januari ternyata sedang ikut larut dalam perayaan kaum Kristen, Waduh!

Ini gawat Bro en Sis, sebab Rasulullah saw. udah bersabda: Man tasyabbaHa bi qaumin faHuwa minHum. (Siapa saja yang menyerupai suatu kaum/ bangsa maka dia termasuk salah seorang dari mereka.) (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)

So, sukakah kita disamakan dengan orang-orang yang ingkar kepada Allah dan RasulNya? Tsumma na’udzubillah. Lantas, kalo udah tau gimana bermaknanya 1 Muharram, kenapa kita masih keukeuh mengagungkan 1 Januari dan menyepelekan 1 Muharram ya? Hmm.. sobat gaulislam perlu tahu nih, jadi simak terus pembahasan di buletin kesayangan kamu ini. Ok?

Memulai Start hingga ke Finish

Hijrah yang dulu dilakukan oleh Assabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam) mempunyai makna yang begitu dalam. Banyak sekali pelajaran berharga yang bisa kita dapatkan dari kisah tersebut. Dari mulai semangat; keteguhan iman dan Islam mereka, sekaligus bakti plus bukti cintanya pada Allah dan RasulNya; pengorbanan atas harta, tahta, dan keluarga yang harus ikhlas ditinggalkan; nyawa yang jadi taruhan, hingga persaudaraan yang diikat erat aqidah antara Muhajirin dan Anshar; menjadi inspirasi serta motivasi tak ternilai harganya buat kita yang hidup setelah mereka. Andai saat itu tak pernah terjadi peristiwa hijrah, tentu peradaban Islam tak akan pernah berlangsung sekian abad lamanya dan mustahil kita rasakan kini.

Lalu pernahkah kita sejenak berkontemplasi, muhasabah, merefleksikan semangat hijrah itu dalam realitas kehidupan kini? Mereka orang-orang mulia dan terhormat telah memulai Start untuk peradaban manusia yang lebih beradab. Saat itu, mereka betul-betul yakin akan janji Allah Swt. dalam al-Quran (yang artinya): “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda, dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS at-Taubah [9]: 20)

Lalu di manakah posisi kita? Sekedar menjadi penerus tongkat estafet pun mungkin tak pernah kita sadari dan lakukan. Garis-garis besar haluan peradaban itu telah mereka buat untuk kita, dan kita tinggal merampungkan hingga ke garis Finish. Tapi kita terkadang berlari di arena pacuan lain. Dan tongkat estafet yang harusnya kita perjuangkan untuk sampai ke tangan pelari berikutnya malah kita buang dan acuhkan.

Saudaraku, tanpa kita sadari kita belum pernah memulai secara sungguh-sungguh untuk hijrah ke arah yang lebih baik lagi. Dari dulu mungkin kita hanya stagnan, berdiam diri di garis Start yang harusnya sudah kita tempuh, berlari dan terus berlari menyempurnakan diri. Seperti Forrest Gump yang tak henti-hentinya berlari; “run Forrest, run!”.

Kita mesti malu pada pendahulu kita. Apa yang sudah kita lakukan untuk hidup ini, untuk orang tua dan keluarga, untuk Islam dan kaum muslimin, untuk Allah Swt.dan RasulNya? Mengapa kita belum berhijrah dengan sebenar-benarnya hijrah?

Biasanya Rasululullah saw. dan para sahabat mengevaluasi jejak perjalanan setahun ke belakang. Bahkan bukan di akhir tahun, tapi di setiap malam sebelum tidur. Setiap kesalahan diistighfari, dimohonkan ampunan padaNya; dan setiap kebaikan dipertahankan serta ditingkatkan di hari-hari berikutnya. Terngiang selalu di telinga para sahabat wejangan Baginda saw. mengenai tiga golongan manusia dalam kaitannya dengan perubahan: beruntunglah ia yang hari ini lebih baik dari kemarin, merugilah ia yang hari ini sama saja seperti kemarin, dan celakalah ia yang hari ini lebih buruk dari kemarin. Nastaghfirullah al-‘azhim.

Sobat muda muslim pembaca setia gaulislam, berapa banyak di antara kita yang telah menyusun rencana dan strategi dalam mengarungi hidup kita setahun ke depan? Yang dibutuhkan bukan hanya sekedar terucap di bibir “ingin hidup lebih baik lagi”, tapi konsep strategi, komitmen, serta prinsip mengenai visi dan misi rencana hidup setahun ke depan juga sangat dibutuhkan sebagai pedoman agar tercapai sesuai harapan. Seperti seorang Jamil az-Zaini yang menuangkan semua harapan dan cita-cita hidupnya dalam buku Tuhan, Inilah Proposal Hidupku, yang ia bawa turut serta saat thawaf di Ka’bah.

Maka mari susun program kerja kita di sisa waktu dan usia yang Allah berikan. Minimal untuk 1 tahun ke depan. Kemudian kita perjuangkan, for a better life, demi tercapainya kehidupan yang lebih baik lagi dalam naungan rahmat dan ridho Allah Swt. agar kita bisa meneladani dan sekaligus menerapkan benar-benar semangat hijrah para pendahulu dalam kehidupan kita. Tak perlu takut menghadapi terjangan badai apa pun. Ingat janjiNya (yang artinya): “…Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS Ali ‘Imran [3]: 195)

Dalam firmanNya yang lain (yang artinya): “Siapa saja yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Siapa saja yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan RasulNya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah MahaPengampun lagi MahaPenyayang.” (QS an-Nisaa [4]: 100)

Sobat muda, semoga Start yang akan kita awali ini berbuah manis di garis Finish nanti. Menjadi orang-orang yang menikmati happy ending alias husnul khotimah. Menutup jejak sejarah kehidupan kita dengan prestasi yang dipahat dengan tinta emas. Karena “Sesungguhnya hari akhir itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).” (QS adh-Dhuha [93]: 4)

Last but not least, jadikan semangat hijrah sebagai amunisi dalam meniti jalan ketaatan pada Allah dan RasulNya semata.  Salam Mumtaz! [dimuat di Buletin Remaja gaulislam, edisi 167/tahun ke-4, 3 Januari 2011]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *