“NikmatKu yang mana yang kamu dustakan?”

Assalaamu’alaikum wr wb

Pernahkah kita berhenti sejenak dari kesibukan kita, lalu merenung untuk mengukur prestasi hari ini? Syukurlah jika sudah terbiasa atau pernah melakukannya. Banyak peristiwa yang kita lalui setiap harinya. Banyak kisah yang membekas dalam pikir dan rasa kita. Namun, adakah yang kemudian ‘nyangkut’ di benak kita dan menjadikannya sebagai inspirasi, sebagai sarana kontemplasi, sebagai evaluasi diri? Untuk apa itu semua? Tentu saja ada maksudnya. Untuk mengukur sejauh mana kita memaknai setiap detik kehidupan kita, untuk kemudian mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh Allah Swt.

Bahagia rasanya, awal bulan mendapatkan gaji dari perusahaan tempat kita bekerja. Semoga bibir kita juga mudah untuk mengucapkan hamdalah. Pujian hanya bagi Allah Swt. Senang betul hati ini, ketika kita mendapatkan pekerjaan atau diberikan proyek tertentu bernilai tinggi jika dihitung secara materi. Semoga hati, pikiran, dan bibir kita serentak memuji Allah Swt. NikmatNya yang kita dapatkan tiada tara. Bangga dan bahagia rasanya ketika kita diberikan anak yang akan menjadi penerus kehidupan keluarga kita. Semoga senantiasa kita bersyukur atas nikmatNya itu. Kita bahagia dan kita senang ketika mendapatkan apa yang kita inginkan dan kita impikan. Itulah nikmat dari Allah Swt.

Namun, adakah di antara kita yang tetap mensyukuri nikmatNya meski itu kecil dan bahkan dianggap sebagai kepingan atau bernilai recehan saja? Semoga saja tetap banyak yang memuji Allah Swt. atas nikmat tersebut, meski menurut ukuran kita ‘tak ada artinya’ atau tak berdampak secara signifikan bagi kehidupan kita. Semoga kita tidak lupa, bahwa Allah Swt. begitu Maha Pemurah. Memberikan apa saja bagi manusia. Namun, kita sebagai manusia hampir selalu mengukur bahwa nikmat dan rejeki adalah hal yang berkaitan dengan sesuatu yang besar. Bukan hal-hal yang kecil. Sehingga karena kecil itulah kita menganggapnya sebagai hal yang biasa dan tak perlu ditunjukkan ungkapan syukurnya. Atau, memang tidak dianggap sebagai sebuah nikmat. Benarkah kita seperti itu? Hanya masing-masing dari kita yang bisa menjawabnya.

Rasa-rasanya di antara kaum muslimin umumnya sudah pernah membaca surat ar-Rahman. Ya, pasti akan berkesan dengan diulang-ulangnya hingga 31 kali  ayat: Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban (“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”). Ayat ini diletakkan di akhir setiap ayat yang menjelaskan nikmat Allah Ta’ala yang diberikan kepada manusia. ‘Seolah-olah’ Allah Swt. mempertanyakan kepada kita: “Nikmatku yang mana yang kamu dustakan?”

Jika kita sedang berhadapan dengan seseorang yang mempertanyakan dengan pertanyaan seperti itu kepada kita, rasanya kita akan takut ketika kita memang mendustakan pemberiaan orang tersebut. Apalagi di hadapan Allah Swt.? PertanyaanNya terasa sangat menghunjam dada kita. Sesak rasanya. Meski kita tak mendustakan nikmatNya, namun tetap saja ada rasa khawatir, “jangan-jangan banyak juga nikmat yang tak terasa yang kita lupa bersyukur kepadaNya, atau bahkan tak menganggapnya sebagai nikmat”. Kita pantas takut.

Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya kita memang khawatir. Sebab, banyak juga di antara kita yang tanpa sadar malah mendustakan nikmat Allah Swt. Misalnya saja, dalam tekanan kondisi tertentu kita mengeluhkan kondisi hidup kita yang tak ada peningkatan grafik kemajuan secara finansial. Kita merasa sebagai orang yang sangat menderita. Tanpa sadar kita mempertanyakan: “Di mana keadilan Allah Swt.? Padahal aku adalah orang yang paling bertakwa dan giat berdakwah”. Seolah kita meminta jatah dan servis yang berlebih hanya karena kita berbeda dengan orang lain dalam aktivitas amal shalih. Keluhan kita tersebut, ternyata hanyalah bagian dari kecengengan kita, bahkan mungkin kemanjaan kita. Kita lupa, bahwa ujian akan senantiasa mendatangi kita selama kita masih hidup di dunia ini.

Ingatlah akan nikmat Allah yang begitu besar meski tanpa kita sadar. Ya, bahwa selama kita masih bisa bangun pagi, mulut kita masih bisa mengucapkan doa setelah bangun tidur, itu artinya Allah Swt. masih memberikan rizki kepada kita. Masih memberikan nikmatNya agar kita bisa hidup mencari karuniaNya. Inilah nikmat yang seringkali dilupakan oleh manusia.

Selain nikmat, tentu juga ada ujian. Jadi, jangan lupakan bahwa Allah Swt. akan menguji orang-orang yang sudah mengaku beriman. Sebab, di situlah akan bisa dilihat, seberapa kuat keimanannya kepada Allah Swt. Firman Allah Ta’ala (yang artinya): Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS al-Ankabut (29) : 2-3)

Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah Swt. kepada kita. Besar maupun kecil dalam hitungan nalar kita, tetaplah wajib disyukuri. Sebab, ketika kita bersyukur insya Allah, Dia akan menambahkan nikmatNya kepada kita. Sebaliknya, jika kita kufur alias mengingkari atau mendustakan nikmatNya, maka azabNya amat pedih. Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim [14]: 7)

Yuk, kita benahi pikir dan rasa kita agar kita pandai mensyukuri nikmatNya yang begitu besar bagi kehidupan kita. Dan ketahuilah, bahwa nikmat menjadi Muslim dan berada dalam barisan orang-orang yang beriman, adalah anugerah terbesar yang diberikan kepada kita semua. Sehingga tidak ada lagi alasan bahwa kita tidak diberikan nikmat oleh Allah Swt. Wallahu’alam bishowwab.

Salam,

O. Solihin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *