Judul buku: KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat | Penulis: Adian Husaini | Penerbit: Gema Insani, Oktober 2010 | Jumlah halaman: 316 hlm.
Saya mengenal sosok Adian Husaini pertama kali ketika saya masih SMA. Jika tidak salah itu pada tahun 1990-1991. Waktu itu saya diajak ikut mabit di sekitar desa Cinangneng. Tempatnya di Pesantren Darul Falah, pimpinan Ustadz Abdul Hanan. Jika dari kampus IPB Darmaga, bisa dituju dengan mengikuti jalan yang mengarah ke Ciampea. Waktu itu malam hari. Dinginnya udara tak membuat kami beku semangat. Saya pribadi, merasakan saat-saat yang akan membawa saya pada jalan baru kehidupan: dakwah. Di sini saya merasakan atmosfir semangat perjuangan Islam.
Mas Adian, biasa saya memanggilnya. Saya tidak begitu mengenalnya. Bahkan hingga saat ini pun jika bertemu ya sekadar say-hello saja. Waktu itu pun saya kenalnya melalui adiknya, yakni Mas Nuim Hidayat, salah satu dari sekian banyak mahasiswa IPB yang rela memberikan ilmu keislaman kepada saya dan kawan-kawan semasa SMA.
Pada pertemuan pertama dengan Mas Adian di tahun 1990-1991 itu saya merasa salut karena ia menjadi pemandu saat kami nobar (nonton bareng film Ar-Risaalah, dengan dubbing versi bahasa Arab). Mas Adian dengan sabar menjelaskan adegan demi adegan yang tampil di film garapan Moustapha Akkad, sutradara asal Libanon itu. Saya sendiri masih ingat kejadian saat itu. Emosi saya terasa diaduk-aduk ketika menyaksikan film tersebut. Sebab, meskipun berbahasa Arab, tapi dijelaskan dengan amat bagus oleh Mas Adian Husaini. Saya pribadi sangat terkesan. Ada banyak rasa di situ: sedih, haru, marah, kesal, tapi juga dipenuhi semangat. Saya merasa bahwa inilah dunia yang harus saya jalani. Jalan cinta para pejuang dakwah.
Sejak saat itu, saya menyukai kajian-kajian Islam. Baik melalui buku maupun film. Karena sejak SD saya sudah senang membaca, maka ketika sekolah SMA di Bogor, dan situ banyak toko buku, maka saya sering berkunjung ke toko buku untuk sekadar membaca buku-buku yang ada. Jika ada uang lebih barulah saya membeli buku incaran yang memang saya sukai. Kegandrungan saya terhadap kajian Islam membawa saya secara instens belajar Islam.
Dalam novel KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat, saya seperti menemukan bagian kisah saya. Mirip sih tidak. Serupapun tidak jua. Tapi saya merasakan ‘muatan’ kisah yang mengingatkan masa-masa kegandrungan saya belajar Islam. Andai tidak menemukan tempat yang benar waktu itu, mungkin saya akan belajar Islam di tempat yang salah. Wallahu’alam.
Sama seperti kekaguman saya pada sosok Mas Adian waktu pertama kali bertemu, maka pada tulisan-tulisan Mas Adian masa sekarang saya mengoleksi cukup banyak melalui buku-buku yang ditulisnya. Namun, yang membuat saya merasa surprise, ternyata Mas Adian berhasil membuat novel. Sebab, saya biasa membaca karya-karya nonfiksi yang disampaikan dengan bahasa ilmiah dan tema-tema berat. Maka,munculnya tulisan Mas Adian dalam bentuk novel adalah di luar kebiasaan.
Tema yang disajikan di novel ini berkisah tentang pergulatan dua orang santri. Santri pertama, Ahmad Sukaimi (Kemi) dan santri kedua, Rahmat. Kemi, terjebak dalam paham liberalisme. Ia mengkhianati amanah Sang Kyai. Kemi salah pilih teman dan paham keagamaan. Ujungnya, ia terjerat sindikat kriminal pembobol dana-dana asing untuk proyek liberalisasi di Indonesia. Nasibnya berujung tragis. Ia harus dirawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa di Cilendek, Bogor.
Rahmat, santri kedua, selain cerdas dan tampan, juga tangguh dalam “menjinakkan” pikiran-pikiran liberal. Rahmat disiapkan khusus oleh Kyai Aminudin Rois untuk membawa kembali Kemi ke pesantren.
Novel perdana Adian Husaini ini oleh penerbitnya diberikan tag: Bukan Novel Biasa. Mungkin ingin memberikan tanda bahwa novel ini akan menjawab problem yang dihadapi kaum muslimin, dalam kehidupan keagamaan yang dirasa makin liberal. Ini bukan sekadar kisah fiksi biasa, tapi kisah fiksi yang membawa pencerahan. Satrawan Taufiq Islam bahkan memberikan endorsement dalam novel ini: “Setelah wajah pesantren dicoreng-moreng dalam film Perempuan Berkalung Sorban, novel Adian Husaini ini berhasil menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang berwawasan luas, sekaligus gigih dalam membendung gelombang liberalisme.”
Benar. Isi novel ini mengajak kepada kaum muslimin agar tidak terjebak dalam paham keagamaan yang liberal. Dialog-dialog cerdas di novel ini dalam menjawab lontaran argumen orang-orang liberal pun bisa menjadi panduan untuk menghadapi pendapat-pendapat mereka. Contohnya dialog pada halaman 83-85:
… Di tengah maraknya paham kemanusiaan (humanisme) di tengah masyarakat, banyak orang bertanya relevansi iman di era modern sekarang. Ada santri yang pernah bertanya kepada Rahmat, “Bagaimana kita memahami keadilan Allah, jika ada orang-orang baik seperti Bunda Teresa dan Nelson Mandela akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan orang-orang jahat akan masuk surga hanya karena ia beragama Islam?”
Rupanya pertanyaan semacam itu juga pernah disampaikan kepada Kyai Rois. Dan, jawabannya Kyai Rois sangat mudah dicerna. Kyai Rois mengibaratkan iman sebagai pengakuan dan pembenaran. Aspek pengakuan tidak kalah pentingnya dengan aspek perbuatan. Dicontohkan, seorang anak yang tidak mau mengakui orang tuanya sebagai orang tuanya, seperti si Malin Kundang, dipandang sebagai anak durhaka, meskipun si anak rela berbuat baik kepada orang tuanya. Begitu juga orang tua yang tidak mau mengakui anaknya sendiri sebagai anak kandungnya—mungkin karena anaknya cacat—akan dikatakan sebagai orang tua yang jahat, meskipun anak itu diberikan perawatan dan pembiayaan yang baik. Hanya saja, nasab anak itu dikaburkan. Ia tidak diakui sebagai anak oleh orang tuanya.
Jadi, kata Kyai Rois, aspek pengakuan dan pembenaran itu adalah sangat penting. Itulah persaksian (syahadat). Yang dicari pertama kali ketika negara Indonesia merdeka adalah pengakuan, bukan bantuan. Begitu juga suami-istri harus saling mengakui. Utusan negara lain yang datang ke Indonesia juga perlu pengakuan dari negara Indonesia, sebelum utusan itu diperlakukan dengan baik. Karena itulah, Allah Swt. meminta manusia agar mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Sebagaimana firmanNya: “Qul Innani Ana Allahu, La-ilaha illa Ana, fa’budni wa aqimish shalata li-dzikri.” Katakanlah, Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (Thahaa: 14)
Sebagai pembawa misi dakwah, insya Allah novel ini sudah berhasil menunaikan tugasnya. Namun demikian, bagi Anda yang terbiasa membaca novel dengan bahasa yang indah, kosa kata yang unik dan menarik, juga permainan imajinatif yang membuai, maka di novel ini Anda tidak akan menemukannya. Jika pun disebut sebagai kekurangan, novel ini memang agak lemah dalam penggunaan bahasa dengan standar sastra. Mudah-mudahan pada karya berikutnya, kekurangan tersebut bisa diperbaiki. Tetapi secara umum, novel ini memang layak baca dan menjadi inspirasi dalam melawan para pembela liberalisme. Semoga kehadiran novel seperti ini kian banyak dan membawa berkah bagi pembacanya dalam meyakini agamanya, Islam. Dan, Adian Husaini telah menunjukkan konsistensinya dalam melawan liberalisme. Kini, selain melalui kajian-kajian ilmiah yang diproduksinya di lembaga INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations, www.insistnet.com), juga mulai merambah dunia sastra.
Salam,
O. Solihin