“One Family Under God”

“ONE FAMILY UNDER GOD”

New Interfaith Paradigm for the 21 Century

IMPLEMENTASI KESEPAKATAN BERSAMA

AS-INDONESIA

Festival Perdamaian Dunia (Global Peace Festival – GPF) 2010 untuk Asia Pasifik di Jakarta, yang digelar oleh Global Peace Festival Foundation Indonesia bekerja sama dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan sejumlah pihak lainnya, telah dibuka oleh Wapres Boediono pada Sabtu, 18 Oktober 2010. Tema besar yang diusung dalam konferensi ini adalah “One Family Under God: New Interfaith Paradigm for the 21 Century”. GPF konon telah digelar di lebih dari 30 negara. Untuk 2010, selain di Indonesia, GPF juga digelar di Kenya untuk kawasan Afrika, di Paraguay untuk kawasan Amerika, dan di Nepal untuk kawasan Asia Timur dan Selatan. Kemana arah paradigma baru dialog Antar Agama ini? Benarkah untuk menciptakan kedamaian dunia yang sesungguhnya?

Implementasi Kesepakatan Bersama AS-Indonesia

Dialog antar agama telah menjadi kesepakatan bersama AS-Indonesia sejak awal tahun ini. Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Marty Natalegawa telah membuka kegiatan dialog antaragama dengan Amerika Serikat ini pertama kalinya sejak tanggal 25-27 Januari 2010, di Jakarta, Senin 25 Januari 2010.(ANTARA News)

Marty berharap dialog lintas agama ini dapat membangun kerjasama menyeluruh antara AS dan Indonesia, terutama di bidang kerjasama sosial budaya. Sebelumnya, pada tanggal 18 April 2009, Menlu Hasan Wirajuda dan Menlu AS Hillary Clinton telah menyetujui pengembangan kerjasama menyeluruh antar kedua negara, dan dialog yang dilakukan sekarang merupakan manifestasi dari pertemuan tersebut ujar Marty.

Agenda dialog antar umat beragama RI-AS (RI-US interfaith dialog) merupakan tindak lanjut pemerintah kedua negara untuk memperdalam hubungan bilateral dan saling memberi pengertian serta pemahaman masing-masing negara yang sama-sama memiliki latar belakang kepercayaan yang berbeda.

Dari kegiatan tersebut diharapkan agar dapat lebih membangun kerjasama antar umat beragama serta membuka peluang kerjasama lainnya dimasa datang. Hasil dari dialog ini dapat diterapkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat.

Pada awal kegiatan-kegiatannya, pemerintah RI dan AS akan mempertemukan para tokoh dari berbagai latar belakang agama dan keyakinan, “think tank”, masyarakat madani serta para akademisi untuk mendiskusikan beberapa hal yang menjadi permasalahan bersama. Hal yang akan didiskusikan antara lain mengenai kerjasama dalam hal pemberdayaan para kaum moderat, mengatasi stereotip yang negatif, mempromosikan kerukunan antar peradaban, dan meningkatkan kerjasama di bidang pendidikan dan pemerintahan, sekaligus menjawab tantangan terhadap isu-isu global seperti pengentasan kemiskinan dan perubahan iklim.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri RI, Dr. R.M. Marty M. Natalegawa juga meluncurkan buku yang berjudul “Insight Indonesia: The Perspective of Americans”. Buku ini berisi kumpulan tulisan dari para tokoh-tokoh terkemuka Amerika mengenai Indonesia, antara lain Mantan Menlu AS Henry Kissinger dan beberapa anggota Kongres AS lainnya.*

Dialog Antar Agama Bukan Paradigma Baru

Dialog antaragama bukanlah paradigma baru. Penyebutan New Interfaith Paradigm barangkali untuk menjadikan paradigma ini diadopsi oleh umat muslim sebagai cara pandang baru dalam beragama. Padahal bila ditelusuri asal muasal dialog antaragama, istilah ini menjadi rancangan dan semangat Barat untuk mempromosikan cara hidup sekuler kepada ke negara-negara lain.

Untuk membendung kebangkitan agama, khususnya Islam sebagai sebuah ideologi, berbagai pertemuan dan konferensi digelar untuk menjembatani misionaris dari berbagai universitas di Inggris, Swiss, Amerika, Italia, Polandia, Spanyol, Turki dll). Tahun 1936 diadakan Konferensi Agama-agama sedunia sebelum terjadi perang dunia II. Pada Tahun 1964 Paus Paulus VI menulis sebuah risalah yang menyerukan dialog antar agama-agama. Kemudian pada tahun 1969 Vatikan menerbitkan buku yang berjudul “Alasan Dialog Antar Kaum Muslim dan Kaum Kristiani”. Sepanjang dasawarsa 70-an dan 80-an abad ini, telah diadakan lebih dari 13 pertemuan dan konferensi untuk dialog antar agama dan antar peradaban. (www.hizbut-tahrir.or.id;Dialog Antaragama)

Kemenangan Kapitalisme, tidak akan berhasil hanya dengan memaksakan arogansi dan tindak kekerasan sebagaimana yang diterapkan AS di Afghanistan dan Irak. Akan lebih mudah dan murah bila mereka berhasil memenangkan pertarungan ideologinya. Dengan demikian dialog antaragama menjadi salah satu taktik Barat untuk menguasai umat Islam dan negeri-negeri kaum muslimin.

Sekalipun diistilahkan dengan interfaith, namun kenyataannya dialog yang diadakan hanya untuk mereduksi dan memangkas sebagian ajaran Islam untuk dikompromikan dengan agama lain; menyamakan dan menyejajarkan Islam dengan agama lain; atau bahkan memberikan pengakuan akan kebenaran agama lain. Dialog antaragama memberi peluang kelompok-kelompok yang justru ingin merusak agama Islam, sebagaimana alasan pembelaan terhadap Ahmadiyah.

Dalam dialog antaragama umumnya mengecam kekerasan dan terorisme yang dianggap sebagai musuh peradaban. Namun istilah  definisi terorisme hanya ditujukan kepada setiap individu, gerakan, atau negara yang menentang hegemoni Barat beserta ideologinya. Akhirnya stigmatisasi terorisme lebih dialamatkan gerakan-gerakan Islam ideologis yang bertujuan menegakkan syariah dan khilafah, tanpa kekerasan. Karena hal inilah yang akan mengancam hegemoni AS di muka bumi ini.

Implementasi Dialog Antar Agama

Global Peace Leadership Conference yang bertema besar One Family Under God: New Interfaith Paradigm for the 21 Century, sebagai salah satu ajang Global Peace Festival telah merinci persoalan-persoalan yang menghalangi upaya-upaya dialog antaragama menjadi tujuh sub topik yang akan dibahas dalam sesi-sesi dialog, antara lain:

1. Universal Principles as The Basis of National Cohesion. Dua studi kasus yang akan diperbincangkan adalah Amerika Serikat dengan fokus ‘self evicent truths’ dan mottonya ‘e pluribus unum’ (out of many, one) dan Indonesia yang memiliki motto Bhinneka Tunggal Ika dengan dasar negara Pancasila.

2. Addressing The Roots of Identity-Based Conflict, yang membahas kecenderungan alamiah bagi manusia untuk mencari identitas bersama seperti kebangsaa, etis, kesukuan, agama dll, yang dalam banyak kasus bisa menjadi sumber konflik.

3. Building Lasting Interfaith Partnerships: Issues of Faith and Action. Dialog antar agama merupakan upaya esensial untuk tindakan bersama dari budaya yang berbeda, tetapi disisi lain, ini bisa dilihat sebagai ancaman dari posisi dan peran unik atas kepercayaan dan agama tertentu.

4.The Family as Universal Institution: Family Values as The Common Ground for Interfaith Partnership and Action. Masyarakat adalah unit paling fundamental dari seluruh masyarakat, dan ‘sekolah’ untuk transisi pandangan dan nilai yang dibutuhkan sebagai warga negara yang baik. Sesi ini berusaha merumuskan bagaiman memperkuat dan melindungi nilai keluarga tradisional, khususnya ketika berhadapan dengan nilai-nilai sekuler.

5.The Call to Service: Faith Leadership and Creating a Culture of Service. Memberi pelayanan kepada yang lain merupakan potensi untuk belajar bagi perkembangan pribadi, baik bagi yang dilayani maupun yang melayani. Pemimpin agama memiliki peran signifikan untuk mendorong dan memberi bimbingan sikap hidup melayani dan membantu orang lain.

6. Reaching Beyond our Differences: Enganging Youth in Interfaith Action. Masa depan desa dunia akan cerah jika para pemudanya memiliki ikatan persahabatan yang kuat, melintasi batasan agama, etnis dan status sosial.

7.Interfaith Collaboration toward Solving Problems. Sesi ini akan menguji praktek-praktek terbaik dari berbagai studi kasus dalam inisiatif antaragama, termasuk yang dilakukan di Mindanao, Kenya, Indonesia dan lainnya.(www.NU-online)

Bila paradigma new interfaith ini bisa tersosialisasi dengan baik di Indonesia sebagai negara muslim terbesar, melalui tokoh-tokoh muslim bermassa besar, maka tahap pertama keberhasilan AS adalah menjadikan Indonesia sebagai negeri muslim moderat terbesar yang tunduk pada kebijakan-kebijakan AS baik dari sisi eksploitasi kekayaan sumber daya alam ataupun pemanfaatan sumberdaya manusia. Selanjutnya pada tahap kedua, AS berhasil menjadikan Indonesia sebagai profil negara Islam moderat di wilayah Asia Pasifik. Dengan demikian Indonesia bisa menjadi contoh bagi negeri-negeri muslim yang lain untuk menjadikan kebijakan mereka sejalan dengan keinginan AS.

Salah satu kelebihan Indonesia adalah kedekatannya dengan negara-negara muslim di Timur Tengah yang notabene mayoritas rakyatnya membenci AS atas arogansi kebijakannya yang membantai dan menindas muslim-muslim di Afghanistan dan Iraq. Dengan kesepakatan yang terjalin antar Indonesia-AS, maka AS berpeluang menjadikan Indonesia sebagai perpanjangan tangan untuk melakukan pendekatan kepentingannya kepada rakyat negara-negara muslim ini.

Ancaman Masa Depan Dialog Antaragama

Negara muslim tanpa identitas Islam adalah tujuan yang diinginkan dalam strategi dialog antaragama. Hal ini akan membawa negeri-negeri muslim pada keterpurukan yang lebih dalam.

Pertama, karena akan mengikis identitas muslim yang menganut aqidah Islam. Islam memiliki sikap yang jelas dan tegas, bahwa hanya Islamlah aqidah yang benar. Al-Quran menyatakan bahwa Islam adalah dien yang berasal dari Allah SWT (QS Ali Imran [3] [3]: 19). Kebenaran hanya datang dari Allah SWT (QS Ali Imran [3]: 60). Allah SWT, Sang Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan ini, menyatakan bahwa hanya Islam yang diridhaiNya sebagai dien yang dipeluk dan diikuti manusia (QS al-Maidah [5]: 3). Dien inilah yang diperintahkan untuk diikuti seluruh manusia sejak diutusnya Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul (QS Saba’ [34]: 28). Perintah itu juga mencakup kalangan Ahli Kitab, yakni pemeluk agama Yahudi dan agama Nasrani (QS al-Maidah [5]: 19). Baik ahli Kitab maupun kaum musyrikin diperintahkan untuk meninggalkan aqidah mereka dan mengimani Islam (QS Ali Imran [3]: 20).  Dan setiap orang yang  sudah beriman, mereka diwanti-wanti agar tetap teguh memegang Islam hingga maut menjemput (QS Ali Imran [3]: 102).(www.hizbut-tahrir.or.id; Dialog Antaragama).

Kedua, atas nama perdamaian dunia, menanggalkan identitas sebagai umat terbaik yang senantiasa berdakwah dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini juga menjurus pada toleransi terhadap penyimpangan-penyimpangan aqidah dalam bentuk apapun. Bahkan terhadap upaya-upaya untuk menyesatkan aqidah umat Islam dengan mengatasnamakan Islam, sebagaimana kelompok-kelompok semacam Ahmadiyah.

Ketiga, berkompromi terhadap kebathilan liberalisme yang menjadi karakter negara-negara Barat. Sekalipun mayoritas negara Barat menganut Kristen, namun sesungguhnya mereka telah bertoleransi terhadap kerusakan-kerusakan perilaku seperti semacam perzinahan, homoseksual,  dan lesbianisme, sebagaimana kebijakan-kebijakan Vatikan yang membiarkan uskup dan pastor-pastor berorientasi gay. Lemahnya karakter amar ma’ruf nahi munkar pada tubuh umat akan membawa kaum muslimin semakin terpuruk dalam kehancuran. Rasulullah Saw bersabda: “Demi diriku yang ada di tanganNya; (pilihlah) apakah kamu menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemunkaran, ataukah Allah SWT akan menurunkan kepadamu siksaan yang apabila kamu berdoa kepada-Nya, maka Allah SWT tidak akan memperkenankan doamu.” (HR Turmudzi dari Hudzaifah bin Yaman).

Keempat, menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang sesungguhnya, dengan semakin mengokohkan stiqmatisasi teroris pada umat Islam yang memiliki kesadaran murni untuk menerapkan al Qur’an dan as Sunnah dalam kehidupannya. Seolah-olah Islam bersifat memaksakan agama. Padahal Allah SWT telah melarang tindakan tersebut (QS al-Baqarah [2]: 256). Di dalam sistem Islam, jika umat agama lain menolak masuk Islam, mereka diberi kesempatan menjadi kafir dzimmi dalam naungan Daulah Islamiyyah. Harta mereka haram diambil dan darah mereka haram ditumpahkan  kecuali dengan cara yang haq. Mereka juga tidak boleh diganggu dan diperlakukan tidak adil lantaran tidak memeluk Islam.

Kelima, membangun persepsi negatif di kalangan umat Islam sendiri, bahwa penerapan syariat Islam akan memunculkan konflik dan masalah di tengah manusia.  Padahal sumber masalah adalah karena diterapkannya sistem Kapitalisme Liberal. Sistem ini telah menyengsarakan manusia dan merusak fitrah kemanusiaan. Allah SWT sebagai Pencipta manusia sesungguhnya telah menurunkan aturan yang menjaga manusia pada fitrahnya yang murni dan alami.

Aturan-aturan Allah SWT bila diterapkan akan membawa manusia pada kehidupan yang mulia, tentram, bahagia dan sejahtera. Kerusakan akhlak yang terjadi saat ini di kalangan pemuda-pemudi, adalah buah dari kehidupan liberal yang berujung pada rusaknya kehidupan dan jiwa. Fenomena gay-lesbi di kalangan anak muda menunjukkan penyimpangan naluri yang cukup parah. Peningkatan kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas dilakukan oleh perempuan sebagaimana dilansir oleh Komnas Perlindungan Anak  menunjukkan penyimpangan naluri keibuan pada kaum ibu saat ini. Islam dengan aturannya yang seringkali dituduhkan bar-bar ini, sesungguhnya telah menjaga naluri manusia dengan sangat baik, di saat sistem kehidupan lain merusaknya.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *