Oleh Umar Abdullah
Tanggal 15 Juni 2009 alhamdulillah akhirnya kami bisa membeli rumah bekas di Bogor. Di sisi kiri rumah tersebut tumbuh rumpun pisang. Ketika rumah akan direnovasi, saya tebangi rumpun pisang tersebut dan tersisa satu anakan pisang. Karena kami belum punya uang untuk membangun sisi kiri rumah, kami biarkan tanaman pisang tersebut tetap hidup.
Tak disangka, anakan itu tambah besar. Padahal tanah tempat ia berpijak dan mencari makan adalah bekas puing-puing dan sedikit tanahnya. Saya mencoba mengerti mengapa hal itu terjadi. Mungkin karena perakaran pisang yang dangkal sehingga ia tidak memerlukan tanah yang dalam. Begitu kira-kira pikiran saya yang pernah mengenyam ilmu pertanian.
Satu hal yang kurang saya perhatikan waktu itu adalah ternyata istri saya setiap hari menyiraminya dengan air bekas pesusan beras, ikan, udang, dan daging. Akibatnya, tambah hari anakan itu tambah besar, tumbuh dan berkembang. Daun-daunnya mulai membuka satu persatu. Daunnya pun tebal berwana hijau gelap tanda gizinya cukup.
Ketika daun-daunnya mulai banyak, istri saya mengambilnya untuk dibuat pembungkus pepes (orang Surabaya menyebutnya brengkes). Pepes ikan, pepes ayam, semua pakai bungkus daun pisang. Tiap empat hari satu daun pisang terpotong jadi bungkus pepes. Sebagai orang pertanian (narsis dikit lah), saya kasihan melihat anakan yang mulai remaja itu daunnya tinggal sedikit.
Tapi pisang remaja ini terus tumbuh dan menjulang ke atas. Kami pun mulai kesulitan menjangkau daun-daunnya. Batangnya (sebenarnya ini tumpukan batang daun) kelihatan kokoh, besar dan kekar. Dan akhirnya tak satupun daun bisa kami ambil untuk bungkus pepes.
Mulailah ia kelihatan sebagai pohon pisang yang sebenarnya. Badannya tinggi. Beberapa daunnya menyundul atap rumah kami. Istri saya pun tetap setia menyiraminya dengan air pesusan beras, air cucian ikan, udang, dan daging.
Suatu saat istri saya bertanya, ”Kapan ia berbuah?” Saya bilang, “Tunggu kalau sudah muncul daun bendera.” ”Bagaimana bentuk daun bendera?” tanyanya lagi. ”Ya seperti bendera kecil, tiangnya kecil lalu ada daun kecil yang terbuka tegak ke langit, ” begitu penjelasannya saya. Lumayan, ada gunanya saya dulu Praktek Lapang di sebuah perkebunan pisang di Jawa Timur.
Setiap hari istri saya memperhatikan pohon itu. Dicarinya mana daun bendera. Dan tebakannya selalu keliru. Setiap ada daun bergulung muncul dari puncak batang disangkanya daun bendera. Padahal itu daun biasa. Maklum dia dibesarkan di Jakarta dan belum pernah memperhatikan dan merawat tumbuh kembang pisang. Hari-harinya habis dipakai untuk mengamati manusia dan problematikanya, juga merawat bayi kami yang baru berumur satu tahun, plus mendidik tiga kakaknya sudah TK dan SD. Pengamatan pohon pisang, ya baru kali ini.
Suatu pagi saya melihat daun bendera muncul di puncak batang pohon pisang. Saya beritahu ke istri itulah daun bendera. Begitu gembiranya dia.”Kapan buahnya muncul?” tanyanya. Saya bilang, ”Tunggu saja beberapa hari lagi akan muncul jantung pisangnya (orang Jawa menyebutnya Onthong). Insya Allah.”
Alhamdulillah, benar, kira-kira dua hari setelah itu jantung pisang nongol dari puncak batang. Jantungnya buuesar banget. Istri saya bersorak gembira. Tanaman yang ia rawat mulai berbuah!
Hari-hari berikutnya jantung warna ungu itu mulai merekah. Satu persatu kelopaknya membuka dan nampak susunan sisir-sisir buah pisang hijau merona segar. Akhirnya semua kelopak pun luruh. Begitu pula sisa-sisa bunga pisang.
Ketika jantung pisang sudah kecil karena tinggal kelopak yang tidak ada sisir pisangnya, oleh pembantu, jantung yang kecil ini pun dipotong. Alhamdulillah jumlah sisir yang jadi ada tujuh sisir.
Istri saya semakin rajin menyiraminya. Dan buah pun mulai mengisi dagingnya.
Bulan September 2010 sisir-sisir pisang mulai berisi. Tandan pisang pun mulai berat. Tubuh pohon pisang mulai miring karenanya. Mulailah kami sangga dengan tangga bambu sebelum pohon itu ambruk.
Akhir Oktober 2010 sisir-sisir pisang sudah terlihat matang (orang pertanian bilang ”mature”). Jari-jari pisangnya sudah memanjang membulat. Istri saya bertanya, “Kapan dipanen?” Saya jawab, “Kalau targetnya dimakan sebagai pisang segar, tunggu ada satu jari pisang yang berwarna kuning muda. Itu tandanya kematangannya sudah maksimal.” Kata saya berlagak seperti dosen pertanian.
Sabtu siang, 6 November 2010, istri saya memanggil-manggil saya. Dengan sedikit kegirangan dia bilang, ”Bi.. bi.. sudah ada buah yang pecah kulitnya!” Alhamdulillah akhirnya sudah maksimal kematangan buah pisang tanaman kami. Walau teori saya keliru (kan tadi saya bilang kalau ada jari pisang yang menguning. Ternyata bukan menguning, tapi merekah pecah kulit buahnya. He..he.. salah nih ye..) saya juga ikut senang. Buahnya besar-besar, montok, dan panjang-panjang. Saya bilang ke istri, ”Subhanallah. Ummi telah berhasil merawat tanaman ini. Tanaman ini tumbuh seorang diri di tanah bekas puing. Ummi sirami dengan air pesusan beras, cucian ikan, udang dan daging. Dia pun tumbuh. Setelah tumbuh daunnya Ummi potong untuk bungkus pepes. Dia masih tetap tumbuh dan berbuah lebat. Ya, siapapun, jika ia disayang ia akan tumbuh dan berkembang. AllaaHumma baariklanaa fii tsamarinaa wa baariklanaa fii madiinatinaa wa baariklanaa fii shaa’inaa wa baariklanaa fii muddinaa (Ya Allah berkahilah untuk kami buah-buahan kami, berkahilah untuk kami kota kami, berkahilah untuk kami takaran kami, dan berkahilah untuk kami timbangan kami). Amin”
Esok paginya, Ahad 7 November 2010 tandan pisang yang montok itu saya panen. Saya potong sisir per sisir. Dua hari diperam kulit buah sudah menguning. Lima sisir kami bagi ke tetangga (semoga ini tidak riya’) karena begitulah Rasulullah saw mengajarkannya. Dua sisir kami makan. Tak lupa kami berdoa lagi seperti doa di atas. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah.
Irhamnaa ya Allah ya Arhamar raahimiin. Sayangi juga kami wahai Allah wahai Yang Maha Pengasih di antara Yang Penyayang… agar kami dapat tumbuh dan berkembang. Amin.[]