Barang Gadaian Rusak, Siapa Menanggung?

Tanya:

Asslmwrwb. Bila kita menggade suatu barang lalu tanpa sengaja kita merusaknya, apakah kita berhak memperbaiki? Sementara biayanya lebih besar daripada uang gadean,.  dari “.syariefudin , sumedang jabar (+628135604xxx)

Jawab:

‘alaikumussalam wr wb

Gadai atau اَلرَّهْنُ dalam bahasa Arab, secara syara’ definisinya adalah :

اَلْمَالُ الَّذِيْ يُجْعَلُ وَثِيْقَةً بِالدَّيْنِ لِيُسْتَوْفَى مِنْ ثَمَنِهِ اَنْ تُعْذَرَ اِسْتِيْفَاؤُهُ مِمَّنْ هُوَ عَلَيْهِ

Harta yang dijadikan jaminan untuk utang yang akan dipenuhi harganya namun pembayarannya tersebut ditunda oleh orang yang berhutang.

Tentu saja, gadai adalah muamalah yang dibolehkan oleh Islam dan dalilnya adalah Al-Quran serta As-Sunnah:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ (البقرة : 283

Dan jika kalian dalam perjalanan lalu kalian tidak mendapati seorang penulis maka lakukan hutang pihutang itu dengan menyerahkan barang jaminan

Penyebutan “sedang dalam perjalanan” (عَلَى سَفَرٍ) bukan merupakan pembatas (قَيَّدًا) yang menun-jukkan bahwa hukum ini hanya berlaku bagi para musafir, melainkan menunjukkan  penjelasan tentang realitas keadaan yang tengah terjadi atau sedang dialami (بَيَانُ وَاقِعَةِ حَالٍ). Sehingga hukum tersebut berlaku bagi musafir dan juga bagi muqimin dan hal ini ditunjukkan oleh perbuatan Ra-sulullah saw sendiri :

عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَقَدْ رَهَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعَهُ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِالْمَدِينَةِ فَأَخَذَ لِأَهْلِهِ مِنْهُ شَعِيرًا (رواه ابن ماجه

Dari Anas berkata : sungguh Rasulullah saw telah menggadaikan baju perang beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, lalu beliau mengambil gandum dari dia bagi keluarganya (HR Ibnu Majah)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ دِرْعَهُ لَمَرْهُونَةٌ عِنْدَ رَجُلٍ مِنْ الْيَهُودِ بِثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ (رواه الدارمي

Dari Ibni Abbas berkata : Rasulullah saw telah diwafatkan dan sungguh baju perang beliau digadaikan kepada seorang pria Yahudi dengan tiga puluh sha’ gandum (HR ad-Darami)

Jadi Rasulullah saw adalah sebagai pihak yang menggadaikan (اَلرَّاهِنُ), pria Yahudi adalah seba-gai penggadai (اَلْمُرْتَهِنُ) dan baju perang beliau adalah barang gadaian (اَلْعَيْنُ الْمَرْهُوْنَةُ). Lalu boleh-kah si panggadai menggunakan atau memanfaatkan barang gadaian yang ada di tangannya terse-but (رِهَانٌ مَقْبُوْضَةٌ)?

Manfaat suatu benda (مَنْفَعَةُ الْعَيْنِ) adalah milik si pemilik benda dan dia boleh memberikan manfaat benda itu kepada siapa pun seperti halnya dia juga boleh memberikan bendanya kepada siapa pun. Pemilik benda pun boleh memberikan izin kepada siapa saja untuk memanfaatkan benda yang dimilikinya. Hanya saja berkenaan dengan izin pihak yang menggadaikan kepada pihak penggadai untuk memanfaatkan barang gadaian yang ada di tangan pihak penggadai, adalah berbeda hukumnya dengan izin kepada orang lain. Rinciannya adalah :

  1. jika transaksi gadai itu berhubungan dengan harga barang dagangan (ثَمَنُ بَيْعٍ) atau harga sewa rumah (اُجْرَةُ دَارٍ) atau lainnya selain hutang uang (اَلْقَرْضُ), maka boleh pihak penggadai me-manfaatkan barang gadaian atas izin pihak yang menggadaikan.
  2. jika transaksi gadai berhubungan dengan utang uang seperti seseorang meminjamkan uang kepada orang lain sebesar 1000 dinar untuk jangka waktu setahun lalu si pemberi pinjaman mengambil rumah si peminjam sebagai jaminan (اَلْعَيْنُ الْمَرْهُوْنَةُ), maka si penggadai (yang memberikan pinjaman uang) tidak boleh memanfaatkan benda gadaian (rumah si peminjam) walau diiizinkan oleh si peminjam uang. Hal ini berdasarkan nash yang berkenaan dengan larangan perbuatan tersebut:

عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ الرَّجُلُ مِنَّا يُقْرِضُ أَخَاهُ الْمَالَ فَيُهْدِي لَهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ (رواه ابن ماجه

Dari Yahya bin Abi Ishaq Al-Hunaiy berkata : saya bertanya kepada Anas bin Malik ten-tang seorang pria dari kami yang meminjamkan harta kepada saudaranya lalu dia (saudaranya) memberikan hadiah kepadanya. Dia (Anas bin Malik) berkata : Rasulullah saw berkata : jika salah seorang dari kalian memberikan pinjaman lalu si peminjam mem-berikan hadiah kepadanya atau mengajak dia menunggangi kendaraan si peminjam, maka jangan menunggangi kandaraannya itu dan jangan pula menerima hadiahnya itu, kecuali sudah biasa terjadi di antara keduanya sebelum transaksi pinjam tersebut (HR Ibnu Majah)

عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ أَلَا تَجِيءُ فَأُطْعِمَكَ سَوِيقًا وَتَمْرًا وَتَدْخُلَ فِي بَيْتٍ ثُمَّ قَالَ إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلَا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا (رواه البخاري

Dari Sa’iid bin Abi Burdah dari bapaknya : saya mendatangi Madinah lalu saya bertemu dengan Abdullah bin Salaam ra, maka dia berkata : oh ternyata kamu telah datang, mari saya akan menjamumu dengan sawiq dan kurma dan kamu bisa tinggal di suatu rumah. Kemudian dia berkata lagi : sungguh kamu tengah berada di negeri di mana riba sangat menyebar luas, jika kamu memiliki haq (piutang) atas seseorang lalu orang itu memberikan hadiah kepadamu berupa segenggam tibn atau segenggam gandum atau segenggam qat, maka janganlah kamu ambil hadiah itu, sebab itu adalah riba (HR Bukhari)

Kasus Syariefudin tentu saja termasuk transaksi gadai jenis kedua yakni barang gadaian yang ada di tangan Syariefudin adalah jaminan karena Syariefudin memberikan pinjaman uang kepada si pemilik barang, sehingga barang gadaian tersebut (اَلْعَيْنُ الْمَرْهُوْنَةُ) haram digunakan alias dimanfaatkan oleh Syariefudin walau diizinkan oleh si pemilik barang. Justru izin itulah yang semakin memastikan bahwa jika barang gadaian dimanfaatkan oleh si penggadai maka manfaat dari barang tersebut adalah masuk dalam realitas riba. Jadi pemanfaatan barang gadaiannya saja adalah haram dilakukan, apalagi hingga rusak terlepas apakah disengaja atau tidak.

Oleh karena itu, jalan keluarnya adalah  Syariefudin wajib : pertama, menghitung berapa nilai setara uang selama memanfaatkan barang gadaian tersebut kemudian nilainya itu (misal satu juta rupiah) wajib diserahkan kepada pemilik barang. Kedua, kerusakan barang gadaian wajib diperbaiki tanpa harus mempertimbangkan bahwa ongkos perbaikan lebih besar dari uang gadaiannya sendiri alias lebih besar dari uang yang dipinjamkan kepada si pemilik barang. [Ust. Ir. Abdul Halim]