Sia-sia Malaysia-Indonesia

Oleh Umar Abdullah

Cover Majalah TEMPO

Sabtu pagi 4 September 2010 yang lalu saya terlibat obrolan sersan (serius tapi santai) dengan Pak Haji (begitu kami memanggilnya). Obrolan terjadi sambil menunggu Ustadz Abdurrahman datang mengisi pengajian Tafsir al-Qur`an.

Pak Haji membuka obrolan dengan semangat menggebu-ngebu, “Kita ganyang saja Malaysia!”

Wuiss ada apa ini pagi-pagi Pak Haji sudah bersemangat 45 begitu. Perlu diketahui Pak Haji ini veteran perang kemerdekaan. Umurnya sudah 90 tahun lebih. Walau asalnya dari Kuningan, beliau fasih bicara bahasa Jawa. Saat perang gerilya, beliau ikut perang di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Sorot matanya masih tajam. Jalannya masih tegap dan lincah. Shalat Tahajjud hampir tak pernah lewat. Subhanallah!

Pak Haji melanjutkan kegeramannya, ”Dimana harga diri kita! Kedaulatan kita dikoyak-koyak! Seenaknya saja Malaysia masuk wilayah kita. Perang saja dengan Malaysia!”

Saya sebenarnya nggak enak meng-cut semangat yang berapi-api itu. Tapi karena saya khawatir semangat itu disalurkan pada arah yang salah. Mau nggak mau saya harus kesampingkan rasa ewuh pakewuh ke orang yang umurnya seumur kakek saya (kalau masih hidup) itu.

”Pak Haji, kalau kita perang lawan Malaysia. Kita akan membunuh saudara-saudara kita sendiri. Apa hukumnya kalau kita membunuh orang Islam juga?” kata saya nekat meng-cut.

Pak Haji terdiam.

”Apa kita dapat pahala dengan membunuh orang Islam? Saling berbunuhan dengan sesama muslim? Kalau kita yang mati, apa kita mati syahid?” Pertanyaan saya mulai mencecar.

Pak Haji terdiam. Entah apa yang dipikirkannya.

”Mending kita perang lawan Amerika. Mereka berkali-kali masuk wilayah kita tanpa izin. Nggak sekedar tanpa izin, mereka juga mengancam tentara kita!” Saya mulai membuka fakta.

”Yang bener lu?” Pak Haji membuka suara dengan logat betawi.

”Pak Haji, Amerika Serikat itu pernah mengirim pesawat tempurnya di atas Laut Jawa. Entah untuk misi apa. Yang jelas tanpa izin pemerintah Indonesia. Lalu TNI AU kita mengirim F16 dari Madiun untuk mengusir pesawat tempur AS tersebut. Apa yang terjadi? Bukannya pesawat tempur AS yang terusir, pesawat F16 kita yang dikunci oleh pesawat tempur mereka. Tinggal ditembak, habis deh riwayat pesawat F16 kita. Ya wajar, wong kita beli F16 dari mereka juga, pasti mereka tahu cara mudah mengunci pesawat yang diproduksinya,” saya mulai merinci.

”Ah masak?” Pak Haji mulai tercengang.

”Bener, Pak Haji. Itu baru pesawat. Belum lagi yang namanya kapal-kapal Amerika. Bahkan Kapal Induk mereka seenaknya melintasi perairan Indonesia. Alasannya mereka melewati zona bebas internasional. Lihat itu, ketika ada acara di Banda kemarin, kapal-kapal siapa paling cepat datang? Amerika kan! Kenapa? Karena merekalah yang paling dekat dengan Banda dan sedang mondar-mandir di perairan kita!” Cecaran saya belum berhenti.

Pak Haji terdiam lagi.

”Lebih baik kita perang lawan Amerika! Jihad melawan Amerika! Sudahlah negara kafir, kurang ajar lagi! Kalau perang, kita dapat pahala. Kalau mati, kita mati syahid! Berani nggak Pak Haji lawan Amerika?!” tanya saya.

”Ya berani, ngapain takut,” jawab Pak Haji.

”Kita jangan mudah diprovokasi untuk berperang dengan saudara sendiri. Nelayan-nelayan Malaysia memang sering masuk ke Indonesia. Itu sejak jaman dulu. Nelayan-nelayan Indonesia pun sering masuk ke wilayah Malaysia. Mereka satu saudara. Apa salahnya mencari makan di tempat saudaranya?”

Pak Haji diam.

“Pak Haji. Coba pikir. Apa sih yang jadi pangkal persoalan? Adanya perbatasan-perbatasan negara itu kan?” tanya saya mengajak berpikir.

”Ya iyalah,” jawab Pak Haji.

”Nah, kalau pangkalnya adalah adanya perbatasan-perbatasan itu. Solusinya gampang. Hilangkan batas-batas itu!! Hilangkan perbatasan antara kita dengan Malaysia. Gabungkan saja jadi satu negara! Tidak hanya dengan Malaysia, tapi juga dengan Mindanau, Amanullah (Manila), Sulu, Brunai, Sabah, Serawak, Champa (di Kamboja), dan Pattani (di selatan Thailand). Sehingga Nusantara ini menjadi satu kesatuan! Sehingga orang Indonesia cari kerja ke Malaysia, ke Brunai nggak perlu izin. Nelayan Malaysia, Nelayan Mindanau bisa cari ikan ke perairan Sumatra, perairan Jawa, perairan Sulawesi dengan bebas, tak perlu takut ditangkap orang Indonesia!”

”Ya memang harusnya begitu,” Pak Haji mulai setuju.

Pak Haji menoleh ke arah jendela masjid. Saya juga. Terlihat Ustadz Abdurrahman al-Baghdadi sedang berjalan menuju masjid tempat kami belajar Tafsir al-Qur`an bersama beliau. Obrolan sersan dengan Pak Haji kami hentikan. Al-Qur`an saya keluarkan dari tas ransel. Kitab yang menjadi tempat kembali kaum muslimin ketika mereka berselisih bahkan bertikai. Kitab yang pemikiran dan hukum-hukum yang ada di dalamnya harus diterapkan oleh laki-laki agung yang akan memimpin nusantara dan negeri-negeri Islam lainnya.

Obrolan dengan Pak Haji memang sudah berhenti. Tapi bayangan bersatunya kembali umat Islam masih menari-nari di pelupuk mata. Terbayang batas-batas Nusantara dengan negeri-negeri Islam lainnya hilang sudah. Bepergian, bekerja, mencari ilmu ke India, Pakistan, Afghanistan, Iran, negara-negara di Timur Tengah, Balkan, Laut Tengah, Afrika Utara hingga pantai barat Afrika, bebas. Berhaji tak perlu paspor. Belajar di Mekkah dan Medinah bertahun-tahun tak perlu visa. Karena sudah Satu Umat! Satu Negara! One Ummah! One Daulah![]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *