Oleh Umar Abdullah
Hari Rabu ini (8 September 2010 M) adalah tanggal 29 Ramadhan 1431 H. Artinya pada petang harinya, tepatnya saat Maghrib (matahari terbenam) adalah saat dilakukan Ru’yatul Hilal bulan Syawwal untuk menentukan apakah hari Kamis sudah masuk 1 Syawwal atau masih 30 Ramadhan.
Menurut perhitungan (hisab) Muhammadiyah, Ijtima’/ Konjungsi (posisi bulan tepat di antara matahari dan bumi) terjadi pada hari Rabu ini jam 17.31.01 WIB sehingga pada saat matahari terbenam di Yogyakarta tinggi bulan masih minus 2 derajat 8 menit 16 detik. Artinya, menurut perhitungan tersebut, hilal bulan Syawwal belum wujud (belum ada) alias mustahil terlihat di batas langit Yogyakarta.
Hilal Syawwal baru mudah dilihat sekitar 8 jam setelah ijtima’ di negeri-negeri waktu yang berbeda 8 jam sebelah barat Yogyakarta, yakni di negeri-negeri di pantai barat Afrika seperti Maroko, Sahara, Mauritania, Senegal, Gambia, Guinea, dan Liberia. Saat itu di Yogyakarta waktu sudah menunjukkan sekitar jam 01.31.01 WIB (setengah dua pagi).
RU’YATUL HILAL TETAP HARUS DILAKUKAN
Apakah Ru’yatul Hilal Syawwal tetap harus dilakukan di Indonesia? Jawabannya, tetap. Karena begitulah perintah Allah dan Rasul-Nya jika kita sudah sampai di tanggal 29 Ramadhan. Kita diperintahkan untuk melakukan Ru’yatul Hilal (melihat bulan sabit awal bulan dengan mata telanjang) bulan Syawwal, tanpa memperhatikan lagi apakah menurut perhitungan hilal bisa terlihat atau tidak. Dan itu dilaksanakan oleh para sahabat nabi.
Dari Abu Umair bin Anas bin Malik ia berkata, “Paman-pamanku dari kalangan Anshar telah memberikan kabar kepadaku –mereka adalah para sahabat Rasulullah saw—mereka berkata:
Ughmiya ‘alaynaa Hilaalu syawwaalin fa ashbahnaa shiyaaman. Fa jaa`a rakbun min akhirin naHaari fa syaHiduu ‘indan nabiyyi (saw) annaHum ra`aul Hilaala bil amsi. Fa amaraHum rasuulullaaHi (saw) an yufthiruu wa an yakhrujuu ilaa ‘iidiHim minal ghadi
Artinya:
Hilal Syawwal terhalang dari pandangan kami sehingga keesokan paginya kami tetap berpuasa. Lalu datanglah kafilah di penghujung siang. Kemudian mereka bersaksi di hadapan Nabi saw bahwa mereka melihat hilal kemarin. Lalu Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim berbuka dan keluar untuk merayakan hari raya mereka esok hari (HR. Ibnu Majah, Ahmad, an-Nasa`i, Ibnu Hibban, dan at-Thahawi)
Apakah mungkin pada Maghrib malam Kamis Hilal Syawwal bisa terlihat? Secara perhitungan (hisab) manusia hal itu memang tidak mungkin (impossible). Tapi taqdir Allah siapa yang tahu? Siapa yang bisa menjamin bahwa hilal PASTI TIDAK TERLIHAT?
Jadi, lakukan saja Ru’yatul Hilal Syawwal pada Maghrib malam Kamis. Jika Hilal terlihat, maka hari Kamis dipastikan 1 Syawwal. Namun jika tidak terlihat, maka hari Kamis adalah 30 Ramadhan dan baru hari Jumat masuk 1 Syawwal.
BAGAIMANA JIKA DI NEGERI LAIN HILAL TERLIHAT?
Lalu bagaimana jika di Mekkah terlihat hilal Syawwal? Padahal jarak waktu Mekah dengan Yogyakarta hanya 4 jam, bukan 7 jam. Apakah para ahli hisab akan menolak kesaksian seorang muslim yang adil yang telah melihat hilal Syawwal? Tentu saja para ahli hisab itu tidak boleh menolaknya. Karena hisab (perhitungan) hanya membantu, sementara ru’yatul hilal adalah penentu. Perhitungan manusia bisa keliru, namun penglihatan mata telanjang seorang apalagi beberapa muslim yang adil memastikan hilal terlihat atau tidak.
Pertanyaan lain, apakah jika yang melihat adalah muslim di Maroko, maka kesaksian itu berlaku juga untuk muslim di Indonesia? Tentu saja berlaku. Karena letak Indonesia dengan Maroko sebenarnya berada dalam satu malam yang sama. Bedanya cuma 7 jam. Bukan beda hari.
Memang betul, dulu di masa sahabat di abad pertama hijriyah (abad ke-7 M), belum diketahui bahwa bumi ini berada dalam satu mathla’ (tempat terbitnya bulan). Mereka mengganggap bahwa Madinah dengan Damaskus berada dalam mathla’ yang berbeda. Sehingga ketika kaum muslimin di Damaskus memulai awal Ramadhan pada hari Jumat, kaum muslimin di Madinah tetap memulai awal Ramadhannya pada hari Sabtu. Contohnya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib. Namun saat ini kita tahu bahwa Madinah dan Damaskus terletak pada waktu yang sama. Cuma beda sekitar 20 menit. Misal di Damaskus jam 18.00, di Madinah jam 18.20.
Selain persoalan mathla’, hal lain yang menghalangi penerimaan kesaksian ru’yatul hilal dari negeri di luar Indonesia adalah hilangnya rasa bahwa kita adalah satu umat. Kita yang di Indonesia tidak merasa satu umat dengan kaum muslimin di Maroko.
Padahal jika kita membuka lembaran sejarah umat ini, kita akan meneteskan air mata. Umat ini pernah berada dalam negara yang satu, yaitu Negara Islam (Daulah Islamiyah). Di masa pemerintahan Rasulullah saw negara Islam sudah seJazirah Arab. Di akhir masa al-Khulafaur Rasyidun negara Islam terbentang dari Afrika Utara hingga Sindu di India. Di akhir masa Khilafah Bani Umayyah negara Islam di sebelah barat terbentang mencapai Spanyol dan Portugal hingga Selatan Perancis. Di masa Khilafah Bani Abbasiyah negara Islam sempat terpecah belah, namun di masa Khilafah Bani Utsmaniyah, khususnya pada pemerintahan Sultan Sulaiman al-Qanuni Negara Islam terbentang dari Afrika Utara, Laut Tengah, Eropa Timur, Rusia Selatan, Timur Tengah, Persia, hingga India dan Nusantara. Kemudian di akhir masa Khilafah Utsmaniyah, para Kapitalis penjajah Eropa Barat memerangi kesultanan-kesultanan di Nusantara. Malaya dijajah Portugis kemudian Inggris; Brunai dijajah Inggris, Sumatra, Jawa, Nusa Tengara, Kalimantan, dan Sulawesi dijajah Belanda; Timor dan Maluku dijajah Portugis; dan Mindanau dijajah Spanyol. Setelah Negara Islam runtuh tahun 1924 M, dimunculkan negara-negara kebangsaan dari Afrika hingga Nusantara. Di Nusantara umat yang semula satu dipisah-pisah berdasarkan siapa penjajahnya.
Sudah saatnya kita kembalikan rasa satu umat. Rasa ini yang insya Allah akan mendorong kita untuk hidup dalam satu negara lagi, yaitu Negara Islam yang umatnya ada yang berkulit hitam, putih, kemerahan, kuning, dan sawo matang. Sehingga jika hilal terlihat di Maroko, maka kita merasa bahwa yang melihat adalah saudara kita juga, umat Islam juga. Sehingga kesaksiannya berlaku juga buat kita yang ada di Indonesia.
KAMIS TETAP PUASA?
Jika sebelum sahur Kamis Shubuh belum ada berita hilal terlihat, maka kita tetap berniat puasa dengan niat puasa tanggal 30 Ramadhan. Kita tetap bersahur dan tetap berpuasa hingga Maghrib.
Namun jika di Kamis pagi waktu Dhuha, kita menerima berita terlihatnya hilal di salah satu negeri Islam, maka kita wajib berbuka. Karena pagi itu sudah masuk 1 Syawwal, artinya kita sudah berIdul Fithri dan tidak boleh berpuasa.
Dari Rib’i dari salah seorag sahabat nabi saw:
Annan nabiyya (saw) ashbaha shaa`iman litamaamits tsalaatsiina min ramadhaana fa jaa`a a’raabiyyaani fa syaHidaa an laa ilaaHa illallaaHu wa annaHumaa aHallaaHu bil amsi fa amaraHum fa aftharuu
Artinya:
Bahwasanya Nabi saw berpuasa di suatu pagi untuk menggenapkan Ramadhan menjadi tiga puluh hari. Lalu datanglah dua orang Arab dusun. Keduanya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwasanya keduanya telah melihat hilal kemarin. Maka beliau saw memerintahkan kaum Muslimin (untuk berbuka) lalu mereka pun berbuka. (HR. Daruquthni)
Dan kita segera mengerjakan Shalat Id pada waktu Dhuha tersebut.
Tetapi jika kita menerima berita terlihatnya hilal tersebut setelah masuk waktu Dhuhur (alias matahari sudah tergelincir ke arah barat), maka kita wajib berbuka namun Shalat Id dilaksanakan esok paginya (Lihat hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umair bin Anas bin Malik di atas).
BERITA RU`YATUL HILAL
Nah, tinggal satu persoalan lagi. Dimana kita mendapatkan berita Ru’yatul Hilal Syawwal? Insya Allah www.mediaislamnet.com akan ikut memberitakan berita Ru’yatul Hilal baik dari Indonesia maupun dari negeri-negeri Islam lainnya.
Sumber:
Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur`an dan Hadits. Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor. 2010.
Kalender Departemen Agama
Hisab Muhammadiyah
Atlas Indonesia dan Dunia. CV. Indo Buwana. Jakarta. 2005
www.icoproject.org (situs Islamic Crescents Observation Project)