“Ah, payah. Masak aku disuruh ngeronda sih?” Ogi ngomel saat ia diminta sama Pak RT untuk meronda malam ini. Emang sih, Pak RT nggak ngomong langsung sama Ogi. Lagipula, yang diminta ngeronda adalah papanya. Cuma, karena papanya lagi keluar kota, padahal malam itu giliran papanya untuk ngeronda, ya, terpaksa Ogi kudu menggantikan peran papanya sesuai aturan yang berlaku.
Ogi juga kesel banget. Sebab, jatah tidurnya keganggu gara-gara harus melotot tengah malam hingga menjelang subuh. Ogi dan beberapa warga sekitar yang kebetulan dapat giliran ronda kudu rela mengorbankan jatah tidurnya di malam itu. Untuk jaga-jaga dari segala kemungkinan yang tak diinginkan. Emang sih, biasanya tugas ronda cukup dibebankan kepada beberapa satpam kompleknya. Tapi, karena gangguan keamanan semakin tak terkendali, maka petugas satpam kudu dibantu warga komplek dalam mengantisipasi berbagai tindakan kejahatan di malam hari.
Omong-omong, belakangan ini memang di komplek perumahan dan juga di sekitar perumahan tempat tinggal Ogi itu sudah banyak maling yang nyusup. Sepeda motor yang diparkir di depan rumah aja, langsung diembat sang maling. Rumah kosong di siang haripun nggak lepas dari sasaran maling. Disatroni, dan langsung digasak seluruh harta benda berharga yang ada. Itu sebabnya, satpam yang berjumlah lima orang pun dalam komplek itu, nggak cukup untuk mengamankan warganya. Hingga keluarlah surat perintah dari Pak RT setempat untuk mengadakan jaga malam. Semua warga yang masih seger-buger, apalagi yang jago ilmu kanuragan, diharapkan bisa ikut ambil bagian dalam mengamankan lingkungan sekitar.
“Gi, sudahlah, mama mengijinkan kok kalo kamu ikutan ngeronda malam ini. Besok kan libur sekolah,” kata mamanya malam itu.
“Tapi Ma, Ogi males kalo harus bergabung dengan bapak-bapak dan pemuda yang biasa ngeronda itu,” Ogi ngasih alasan.
“Memangnya kenapa?”
“Jaga malam sih iya. Tapi main kartunya juga kuat,” Ogi mencibir.
“Kamu tahu dari mana?”
“Pak Arman yang satpam itu kan bilang juga Ma,” jelas Ogi.
“Tapi Gi, mending ikut aja deh. Soalnya mama malu nanti sama Pak RT,” desak mamanya.
“Oke deh, tapi gimana kalo nanti anak semata wayangmu pulang tinggal nama?” Ogi rada kesel.
“Ah, kamu mikirnya yang nggak-nggak aja, Gi,” ujar mamanya sambil meletakkan buku di rak milik papanya.
“Bener Ma. Ogi nggak bohong. Mama kan udah denger, kalo maling sekarang lebih nekat. Minggu kemarin di kampung sebelah ada orang yang kecurian. Eh, begitu malingnya ketahuan, terus diteriakkin, malah balik menyerang. Dikejar oleh empat orang pun, yang ngejarnya malah balik lagi. Tahu nggak kenapa Ma? Malingnya cuma dua orang, tapi yang satu bawa samurai dan satunya lagi bawa pistol. Coba, mana bisa melawan kita?” jelas Ogi.
“Tapi kan kalo rame-rame, maling juga mikir-mikir lagi, Gi,” mamanya ngasih pendapat.
“Itu kalo warganya mau semua turun. Lha kalo cuma lima orang atau sepuluh orang. Masih ngeri juga Ma,” Ogi masih keukeuh.
“Tapi masak kita mau ngalah sih Gi. Kalo kita pada takut, maling makin seneng aja untuk beroperasi,” mamanya juga nggak mau kalah.
“Ogi menyayangkan banget, kenapa polisi cuma jaga-jaga di kantornya aja. Nerima laporan. Nggak keliling ke setiap kampung. Polisi kan punya senjata. Maling takut tuh Ma, kalo ngelihat polisi,”
“Polisi juga jumlahnya terbatas, Gi,” mamanya ngasih alasan.
“Kalo memang terbatas, ya ditambah dong,” Ogi nggak kalah set.
“Sudahlah ngomong sama kamu nggak selesai-selesai,” gerutu mamanya.
“Aduh mamaku sayang. Bukan maksud Ogi membikin ruwet masalah. Tapi Ogi cuma ngasih wacana aja, bahwa kemanan itu tanggung jawab pemerintah, bukan warga,” terang Ogi.
“Tapi kita juga harus jaga-jaga diri, Gi,”
“Betul, kita nggak bisa sepenuhnya mengandalkan sama pemerintah. Tapi kan tanggung jawab utama adalah pemerintah. Buat apa ada polisi. Tul nggak Ma?” Ogi mencoba meyakinkan mamanya.
“Wah, sejak kapan nih anak mama bisa ngoceh soal politik?” mamanya seolah nggak yakin sambil senyum-senyum.
“He..he..he.. ngoceh soal politik bukan monopoli politikus aja Ma. Warga biasa juga bisa dan dituntut untuk bisa mikirin umat ini. Itu juga namanya berpolitik Ma,” jelas Ogi.
“Mama ngerti kok Gi, urusan ini memang tanggung jawab pemerintah. Tapi, dalam kondisi seperti ini, kita ngalah dulu deh Gi,”
“Jadi Mama nyuruh Ogi tetep ikut ngeronda malam ini?” Ogi menatap lekat wajah mamanya.
Mamanya juga menganggukkan kepala. Sorot matanya tampak penuh harap.
“Iya deh. Tapi ini yang pertama dan terakhir ya?” Ogi mengalah, tapi sambil ngancem.
“Moga-moga aja papamu nggak ijin lagi minggu depan,” harap mamanya.
Ogi kemudian masuk ke kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul sembilan malam. Berarti masih ada waktu untuk istirahat menjelang tengah malam. Tadinya, Ogi mau tiduran dulu. Tapi khawatir malah nggak bangun pas tengah malam. Jadi, daripada menanggung risiko diomelin sama mamanya gara-gara nggak ikut ngeronda, akhirnya Ogi memilih melek terus sampe menjelang tengah malam.
Sambil mengisi waktu luang, Ogi menyalakan komputernya. Beberapa tugas dari gurunya dan dari anak-anak Rohis tampak menumpuk di meja belajarnya. Memang, sejak Ogi mulai aktif bareng anak-anak Rohis, Ogi jadi banyak bergaul dengan buku-buku keislaman. Dulu, komik dan novel karya penulis mancanegara yang paling getol dibaca Ogi. Sekarang juga masih, tapi frekuensinya nggak sesering dulu.
“surfing dulu ah.. sekalian buka e-mail” pikir Ogi sambil menyalakan modem dan mengklik icon untuk konek ke internet. Suara handshake modemnya terdengar berisik. Program Microsoft Outlook-nya dibuka. Siap-siap men-download e-mail yang masuk. Kali aja ada kabar baru dan diskusi baru dari kawan-kawan milisnya.
Ogi sempat kecanduan internet. Awal-awal Ogi ngebet sama dunia maya ini, mimpi-mimpinya aja sampe berformat HTML (idih, emangnya tampilan webpage?). Nggak bohong, pernah Ogi cerita ke Jamil, sejak kecanduan internet, yang kepikiran selalu saja icon-icon dan istilah di jaringan maya itu. Pernah suatu ketika, Ogi lagi jalan-jalan sama Papanya. Karena kebetulan papanya lengah, eh, mobilnya nyerempet angkot. Aduh, tahu sendiri kan, supir angkot lebih galak dari supir lainnya. Ogi sempet-sempatnya kepikiran mau nyari tombol “BACK” supaya kejadian tadi bisa di-undo (hi..hi..hi..). Malah lebih gokil lagi, bel di rumahnya sampe ditulisin “CLICK HERE”. Dasar!
Ogi lalu sibuk ngecek e-mail yang masuk dan membuka berberapa situs berita di internet. Ada satu e-mail dari seorang teman mailing list yang mengirimkan berita tentang kejahatan di ibukota. Ogi bergidik bacanya. Diceritakan bahwa angka kejahatan di ibukota kian meningkat. Siang tadi, seorang nasabah yang baru saja mengambil uang dari bank tewas ditembak. Seratus juta rupiah uang gaji karyawan raib dibawa si perampok yang mengendari sepeda motor. Di wilayah lain, dalam berita itu, seorang penodong nekat mendorong korbanya dari atas kereta api yang sedang melaju kencang karena si korban melawan. Di tempat lainnya lagi, ada kasus perampokan disertai pembunuhan di sebuah rumah mewah.
“Ini negara macam apa? Setiap hari kok kejadian ngeri dan menyeramkan senantiasa hadir. Duh, betapa mahalnya rasa aman,” Ogi membatin.
“Ah, benar kata Bang Arif. Kemarin sore dia menerangkan kalo negara yang tidak berlandaskan syariat Islam selalu saja bermasalah. Selalu kacau-balau. Tingkat korupsi termasuk di jajaran sepuluh besar, ekonomi makin morat-marit. Biaya pendidikan mahal…” Ogi ngomong sendiri. Kesal.
Setelah puas surfing di berbagai situs favoritnya dan men-download semua e-mail yang masuk. Ogi men-diskonek internetnya.
Mulailah Ogi mengecek e-mail secara keseluruhan, satu persatu. Dibukanya REPLY e-mail dari kawan milis yang lain mengomentari informasi sebelumnya.
“Nah, coba pengen tahu nih komentar Mas Bagus soal ini. Biasanya doi paling kenceng dan tajam analisanya kalo berkomentar,” pikirnya sambil mengklik pesan tersebut dan segera membacanya.
“Saya pikir tingkat kejahatan di negeri ini akan semakin meningkat tajam di tahun-tahun ke depan. Kenapa ini bisa terjadi? Karena kita masih menggunakan hukum rimba. Yang kuat yang pasti menang, dan yang lemah selalu menjadi pecundang dan korban. Hukum yang diberlakukan juga tidak adil. Tidak memberikan rasa aman kepada masyarakat. Lihat saja bagaimana komplotan “Kapak Merah” selalu berhasil dalam setiap misinya. Mereka selalu sukses merampok di setiap perempatan lampu merah. Handphone milik pengemudi lenyap, kaca spion mobil mewah raib. Tapi anehnya polisi selalu tak di tempat saat kejadian. Ini sungguh mengerikan.”
“Wah, canggih juga nih komentar Mas Bagus,” ucap Ogi takjub sambil melanjutkan baca isi e-email tersebut…
“Tingkat kejahatan yang terus meroket tajam, sementara kinerja kepolisian yang kendor semakin membuat masyarakat tak percaya lagi dengan aparat penegak hukum tersebut. Maka, sangat wajar jika ada warga yang tega menyiksa maling yang tertangkap basah. Dicincang rame-rame dan kemudian dibakar. Warga puas. Sebab, paling tidak satu maling telah koit. Tapi… cukup efektifkah langkah ini? Ini yang jadi persoalan. Sebab, tidak akan ada kata akhir bagi seorang maling. Paling-paling kalo doi tahu ada aktivis sesama maling ketangkap dan dibunuh, doi akan bilang, “Ah, itu kan lagi apes aja. Lagi sial”. Begitu kira-kira komentarnya. Jadi jelas, ini membutuhkan perangkat hukum yang handal. Hukum sekarang, kapitalisme, sudah jelas tidak becus mengatur kehidupan. Komunisme dan sosialisme sudah juga terbukti gagal menata kehidupan. Cuma Islam yang bisa mengantarkan kedamaian umat manusia di dunia ini. Islam, yang dipahami sebagai akidah dan syariat. Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara. Jadi, mari satukan pikiran dan perasaan kita untuk mewujudkan tegaknya kembali Islam di muka bumi ini…Wassalam, Bagus,”
“Nah, ini yang aku cari. Komentar mantap begini yang bisa mencerahkan pemikiran umat. Aku forward ke milis lain ah..” ujarnya.
Seluruh e-mail yang di-download hampir semuanya selesai dibaca. Ogi kemudian merebahkan dirinya di sandaran kursi. Ia merenung memikirkan kondisi negeri ini. Dimana angka kejahatannya sudah menggunung, ekonomi morat-marit, politik makin kusut, biaya pendidikan kian mahal, seks bebas, pelacuran, tawuran, narkoba dan seabrek masalah sosial lainnya mendera negeri ini. Bahkan kian mengkhawatirkan banget.
Lagi ngelamun begitu, di luar terdengar orang mukulin tiang listrik. Ogi kaget. Buru-buru melihat jam dinding di kamarnya. Sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ogi cepat men-shut down komputernya. Lalu pergi sebentar ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Biar seger.
Di luar terdengar orang yang mengobrol. Itu tandanya yang mau ngeronda udah pada datang. Ogi melihat kamar mamanya. Sudah gelap. Ogi segera menuju pintu depan. Dibukanya dan keluar. Lalu menutup dan mengunci pintu depannya. Ogi pun udah siap dengan jaket tebal melindungi tubuhnya. Nggak lupa senter kecil ia selipkan di saku jaketnya.
“Gantiin papamu ngeronda Gi,” tanya Pak Burhan yang juga giliran ronda malam itu.
“Betul Pak, Papa lagi ada tugas ke luar kota,” timpal Ogi.
“Berapa orang yang mau ngeronda malam ini, Pak?” Ogi basa-basi.
“Kira-kira sepuluh orang, Gi. Satpam bertiga. Jadi tiga belas,” Pak Burhan merinci.
Keduanya lalu jalan menuju pos ronda. Di situ sudah ada lima warga yang lagi asyik ngobrol. Di depannya sudah terhidang kopi panas lengkap dengan pisang goreng yang masih ngebul. Ogi tertarik juga ngelihat hidangan itu. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik yang dipukul. Makin menambah ramai suasana. Ogi ikut gabung dengan kelompok pemuda. Maklum, kalo gabung dengan bapak-bapak, obrolannya lain. Angin malam makin terasa dingin memukul-mukul tubuh para peronda. Hingga mereka makin melilitkan kain sarung ke tubuhnya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi.
Lagi asyik jalan mengontrol kondisi lingkungan sekitar. Di RT sebelah. Di luar komplek. Terdengar teriakan “Maling…Maling…Maling….!” Kontan saja, Ogi dan bapak-bapak yang lagi patroli kaget dan terus siap-siap. Sebagian dari bapak-bapak yang terlihat kalem, kini mulai berwajah garang. Pak Burhan sudah siap dengan samurainya. Pak Budi, sudah mengenggam erat goloknya. Sebagian yang lain sudah siap dengan balok kayu dan celuritnya. Baja-baja tajam itu berkilauan disorot rembulan. Sungguh pemandangan yang mengerikan bagi Ogi. Sumpah, baru sekarang Ogi ikut dalam arena berdarah-darah itu. Ogi cemas. Wajahnya pias bak kapas.
“Pak, ini bukan untuk perang kan Pak?” Ogi memberanikan diri bertanya kepada bapak-bapak itu.
“Maling harus dikasih pelajaran. Biar tahu rasa. Dan biar maling lain kapok untuk berbuat yang sama,” kata Pak Burhan.
Ogi makin ngeri aja. Ogi tahu, ini pertanda nggak baik. Tapi Ogi nggak enak untuk komentarin lebih jauh. Ogi lalu ikut berlari dengan beberapa pemuda ke arah datangnya suara. Napasnya tersengal. Selain nggak biasa lari cepat, juga karena berkecamuk berbagai perasaan dalam diri Ogi. Haruskah terjadi kekerasan? Haruskah ada darah yang mengalir? Haruskah hukum ini mengambil korban lebih banyak lagi? Semua perasaan bercampur jadi satu. Ogi was-was, cemas, dan juga takut.
Saat datang ke lokasi teriakan. Tampak seorang bapak setengah baya yang luka di kepalanya. Darahnya mengucur sampai membasahi pakaiannya. Dengan terbata ia menyampaikan bahwa dirinya adalah korban pencurian. Sepeda motornya hilang dibawa kabur sang pencuri. Tanpa banyak bicara lagi, peronda dan beberapa warga yang mengetahui langsung mengejar. Ogi juga kepaksa ikutan mengejar. Karena suasana pengejaran sangat gaduh, akhirnya membangunkan warga sekitarnya. Akhirnya, massa yang berkumpul kian banyak jumlahnya. Kentongan dipukul serentak. Disambut oleh massa yang berasal di RT lainnya.
“Wah, ini bisa kejadian nih,” ungkap salah seorang warga di situ yang kelihatannya geram.
“Kejadian apa maksudnya Pak?” Ogi memberanikan diri lagi bertanya.
“Ya, mungkin saja akan tertangkap dan kita hakimi ramai-ramai” jawab si bapak enteng banget.
“Kalo sudah ketangkep, mending kita serahkan saja kepada polisi. Aman,” Ogi ngasih saran.
“Percuma Dik, polisi kerjaannya molor melulu. Malah ada juga yang udah ketangkep malah dibebaskan kembali. Coba, siapa nyang kagak kesel. Jadi, lebih baik selesaikan dengan cara kita sendiri,” paparnya penuh amarah.
Ogi diam. Seribu macam perasaan bergolak dalam dirinya. Harus bagaimana. Tentu, karena Ogi berpikir, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Sambil menunggu cemas di sebuah gang bersama beberapa warga yang sudah siap tempur, tiba-tiba terdengar teriakan lagi, “Bakar! Bakar!”
“Wah, itu sudah ketangkep. Ayo kita ke sana!” seorang pemuda ceking sambil menghunus samurai bak Kenshin Himura segera berlari. Ogi dan beberapa warga lainnya kepaksa ikutan. begitu sampe di sana, tampak seseorang dengan wajah bertopeng, penuh luka tergolek tak berdaya. Dikelilingi puluhan warga yang sudah siap dengan berbagai senjata. Dalam kondisi seperti itu, Ogi nekat untuk bicara.
“Bapak-bapak semuanya. Tenang dan sabar. Kita nggak boleh gegabah bertindak,” Ogi menenangkan warga yang mulai beringas.
“Omong kosong! Kamu mau kalo ini terus kejadian? Dibiarin maling tambah ngelunjak!” seorang bapak dengan mata merah menyandang balok kayu menatap Ogi.
Ogi rada ngeper. Tapi tidak menyurutkan niatnya menenangkan massa.
“Betul Pak, kita juga kesal. Kita juga kecewa. Sebab, di negeri ini makin banyak saja kejahatan, sementara hukum tak pernah ditegakkan. Tapi tentunya kita juga nggak bisa main hakim sendiri Pak,” Ogi kembali mengingatkan.
“Bukan saatnya untuk berkhotbah di sini. Percuma! Ayo kawan-kawan kita bakar saja manusia keparat ini,” ucapnya sambil mengayunkan balok kayu yang dari tadi disandangnya. “Buk!”
Tampak orang itu menggeliat kesakitan. Nggak lama diikuti dengan timpukan batu dan kayu, juga sabetan pedang, samurai, dan celurit. Ogi bergidik. Ada pembantaian di sana. Ogi menyaksikan pemandangan itu. Seperti mimpi. Ogi lemas. Nggak berani menatap tubuh lemas tak berdaya itu. Mungkin orang itu sudah tewas. Ah, susah mengendalikan orang-orang yang sudah kalap dan gelap mata. Ogi berharap polisi segara datang. Tapi telat. Massa sudah begitu beringas dan tega menganiaya.
“Ayo mana bensinnya?” terdengar teriakan seorang bapak. Ogi kian pias. Ogi hapal betul dengan suaranya. Bapak yang tadi membawa balok kayu. Bapak yang tadi bersitegang dengan Ogi.
“Tapi sebentar. Biar nggak penasaran, gue pengen tahu dulu siapa manusia bertopeng ini. Manusia keparat,” bapak tadi berusaha membuka topeng orang tersebut disaksikan warga lainnya. Orang itu memang sudah tewas, dengan luka di sekujur tubuhnya. Darah mengalir deras keluar dari tubuhnya.
Begitu dibuka.. “Hah, nggak salah lihat nih gue…” bapak tadi kaget setengah hidup dan mendadak terkulai lemas. Warga sekitar juga kaget begitu melihat wajah yang sangat dikenalinya terbujur kaku. Rudi, anaknya Pak Sugeng, bapak yang tadi paling ganas ingin menghabisi kini terkulai lemas. Ogi juga kaget. Pemandangannya kini berubah jadi haru. Di situ ada korban. Di situ ada darah. Di situ, ada pembunuhan [cerpen ini pernah dimuat di Majalah Sobat Muda]