Hukum Mengambil Bunga Bank

Tanya:

Foto dari: www.republika.co.id

Assalamu’alaikum. Ustadz saya hamba ALLAH di Manyaran. Mau tanya gimana hukum mengambil tambahan uang di bank? Apakah itu termasuk riba? Karna niat kita nabung di bank itu biar aman. Apakah benar di bank syari’ah tdak da ribanya? Dan mhon diterangkn prinsip bagi hasil di bank syari’ah! Karna da sebagian kaum muslimin yg mengatkn sistem bagi hasil itu juga hakikatnya sama dengan riba. Jazakallooh (dari +628773633XXXX)

Jawaban:

Suku bunga bank baik yang diberlakukan untuk simpanan maupun pinjaman, tidak diragukan lagi adalah realitas riba dalam konsepsi Islam sehingga hukumnya haram, terlepas dari besar maupun kecilnya rate of interest tersebut. Jadi pendapat yang menyatakan bahwa bunga atau riba yang diharamkan adalah bunga majemuk alias berlipat ganda (أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً), tentu saja salah sebab:

  1. ayat yang menunjukkan realitas riba majemuk yakni :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (آل عمران : 130

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS Ali Imraan [3]: 130)

adalah مَنْسُوْخًا (telah dihapus ketentuan hukumnya) oleh ayat :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة : 275

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. “ (QS al-Baqarah [2]: 275)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (البقرة : 278

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. “ (QS al-Baqarah [2]: 278)

  1. pernyataan Allah SWT وَحَرَّمَ الرِّبَا maupun وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا memastikan bahwa riba yang diharamkan oleh Allah SWT bersifat mutlak sehingga berlaku kaidah :

اَلْمُطْلَقُ يَبْقَى عَلَى إِطْلاَقِهِ مَالَمْ يَرِد دَلِيْلُ تَقْيِيْدِهِ

Haramnya riba secara mutlak ini bersifat tetap tidak tergantung kepada tujuan dari menyimpan di bank, misalnya demi keamanan harta (uang) itu sendiri maupun lainnya. Jadi adalah haram bagi umat Islam mengambil uang tambahan yakni bunga yang diberikan oleh pihak bank atas uang simpanan nasabah.

Perbankan yang sudah menempelkan label syariah di belakang nama mereka termasuk BMI yang mengklaim diri sebagai “pertama murni syariah” faktanya memang tidak memberlakukan ketentuan suku bunga baik bagi simpanan maupun bagi pinjaman. Lalu supaya perbankan syariah tersebut dapat tetap bertahan atau bahkan meraih keuntungan, maka mereka memberlakukan sejumlah aktivitas berbasis syariah, misalnya mudharabah. Apakah aktivitas mudharabah yang dipraktikkan di perbankan syariah tersebut 100 persen benar menurut Islam?

Syirkah mudharabah adalah bentuk kerjasama bagi hasil yang melibatkan pemilik dana yakni rabbul maal alias investor sebagai pihak I dan pengelola alias mudharib sebagai pihak II. Lazimnya, pihak mudharib mengajukan proposal aktivitas usaha kepada pihak investor, lalu jika investor setuju dengan usulan pihak mudharib maka ketentuan berikutnya adalah dilakukan aqad tentang :

  1. penentuan bagi hasil antara pihak investor dan mudharib jika aktivitas usaha meraih keuntungan. Islam tidak memastikan berapa persentase di antara mereka berdua, melainkan sepenuhnya diserahkan kepada kesepakatan keduanya.
  2. penentuan penanggungan kerugian, ketika usaha ternyata rugi atau bahkan gagal. Jika kerugian atau kegagalan itu adalah akibat kesalahan pihak mudharib misal manajemen yang salah, lalai dan lainnya, maka kerugian akibat ruginya usaha maupun kegagalan itu wajib ditanggung oleh mudharib. Jika kerugian atau kegagalan itu adalah bukan akibat kesalahan pihak mudharib, melainkan adanya bencana alam, kerusuhan, kebakaran, pencurian dan lainnya yang di luar kendali manajemen, maka kerugian akibat ruginya usaha maupun kegagalan itu sepenuhnya kembali kepada pihak pemilik harta yakni investor dan pihak mudharib sama sekali tidak memiliki kewajiban apa pun sehubungan dengan kerugian atau kegagalan tersebut.

Jadi sangat nampak bahwa dalam syirkah mudharabah terjadi keterlibatan secara langsung antara pihak investor dan mudharaib serta tanpa mediator alias perantara, yakni tidak ada pihak ketiga yang melakukan mediasi di antara investor dengan mudharib. Inilah realitas syirkah mudharabah dalam Islam. Lalu bagaimana realitas praktis syirkah mudharabah yang berlangsung di perbankan syariah?

Ada kesalahan fatal yang dilakukan oleh perbankan syariah penyelenggara syirkah mudharabah yakni mereka memposisikan diri sebagai pihak ketiga yang melakukan mediasi antara calon investor yakni para nasabah perbankan tersebut dengan calon mudharib, bahkan aqad kesepakatan yang terjadi pun ternyata adalah antara pihak perbankan dengan mudharib dan bukan antara nasabah yakni investor dengan mudharib. Tentu saja ini adalah penyimpangan mendasar dari realitas syirkah mudharabah dalam Islam. Lalu ketika sudah terjadi kesepakatan dengan calon mudharib dan usaha yang dilakukan oleh mudharib meraih untung maka ternyata keuntungan tersebut dibagi antara pihak perbankan dengan mudharib. Sementara itu, pihak nasabah yang merupakan investor sesungguhnya hanya kebagian sekian persen dari pihak perbankan yang diklaim oleh sebagai hasil dari kerjasama bagi hasil alias syirkah mudharabah. Jadi, praktik syirkah mudharabah di perbankan syariah adalah haram diikuti oleh umat Islam karena menyimpang secara mendasar dari realitas syirkah mudharabah dalam Islam.

Wal hasil, tudingan sebagian umat Islam bahwa syirkah mudharabah yang diberlakukan di perbankan syariah adalah sama saja dengan riba, tentu saja keliru alias salah sebab memang tidak sama. Namun sayang sekali praktik syirkah mudharabah di perbankan tersebut ternyata juga menyalahi realitas syirkah mudharabah dalam Islam, sehingga tetap juga haram diikuti oleh umat Islam. [Ust. Ir. Abdul Halim]