Tanya:
Assalaamu’alaikum wrwb. Gimana ya solusinya, ana dijodohin sama ortu. Padahal ana lagi kuliah dan baru semester 2. Ana nggak diberi pilihan dan mama memberitahu kepada ana setelah mnyetujui perjodohan dengan keluarga laki-laki. Beliau memberi tahu ana untuk menerima perjodohan itu. Yang paling berat banget buat ana calonnya adalah mantan suami dari kakak kandung ana sendiri. Mama maksaiin banget. Niat mama mau ngejodohin ana sejak kakak perempuan ana meninggal karna melahirkan. Mungkin karna suami kakak ana juga baik dan perhatian ama keluarga terutama berkesan banget bagi ortu. Mama juga banyak dengar kesan baik dari masyarakat. Mama nggak mau ngelepasin dia buat orang lain. Makanya, mama berkeras ngejodohin ana ma dia. Ana udah coba ngomong sama mama tapi percuma. Mama nggak dengerin dan ana juga nggak mau gara-gara ana mama jadi sakit. Soalnya mama tuh karakternya keras dan bisa mengganggu kesehatanya. Kalau ana nolak dan nekat takutnya ana durhaka dan takut terjadi apa-apa sama beliau. Ana harus gimana sedangkan ana masih belum siap karena masih terbatasnya ilmu dan pengalaman dan ana masih ingin lanjutin kuliah? (Nova, via e-mail)
Jawab:
‘Alaykum salam wa rahmatullah wa barakatuh
Ukhti yang sedang resah, memang hidup ini terasa berat manakala kita disodorkan apalagi dipaksa untuk mengerjakan sesuatu yang kita belum siap untuk menjalaninya. Seperti yang ukhti alami ini, sedang asyik-asyiknya kuliah, tiba-tiba diminta untuk menikah, dan yang menjadi calon suami adalah mantan kakak ipar sendiri (kita katakan ‘mantan’ karena hubungan keiparannya sudah putus semenjak kakak ukhti meninggal).
Menilik dari curhat ukhti di sini, saya menangkap yang menjadi ganjalan adalah perasaan ‘tidak siap’ dan ‘ingin kuliah’. Ukhti yang dimuliakan Allah, soal siap atau tidak siap, bukanlah sesuatu yang menjadi syarat dalam pernikahan. Apalagi bila kita mengikuti perasaan hati, maka sepertinya tidak akan pernah siap sampai kapanpun. Pernikahan itu harus dipelajari seiring perjalanan waktu, sehingga setiap saat akan senantiasa ada perubahan yang positif dalam rumah tangga. Jadi, bukan siap atau tidak siap sebelum menikah.
Adapun persoalan kuliah, bukankah tidak ada masalah? Saya sering melihat mahasiswi yang tetap berkuliah setelah menikah, bahkan datang ke kampus dengan perut sudah ‘membuncit’ karena hamil. Mereka tetap bisa menjalankan aktivitas kuliahnya. Apalagi bila disampaikan kepada keluarga dan calon suami dengan alasan yang tepat, maka tidak ada persoalan untuk menghalangi perkuliahan.
Apa yang Mama ukhti lakukan adalah sesuatu yang bisa diterima. Seperti yang ukhti katakan sendiri, mantan kakak ipar ukhti orangnya perhatian pada keluarga, dikenal baik oleh masyarakat. Bukankah itu tipe suami idaman?
Saya tidak akan mendorong ukhti untuk menikah, karena semua adalah hak ukhti. Tapi, saya hanya ingin katakan, bahwa Mama tidak punya niat buruk, apalagi calon yang disodorkan juga calon yang baik di mata keluarga dan tetangga.
Cobalah ukhti merenung, bukankan berumah tangga kita berharap mendapat pasangan yang baik dan sayang pada keluarga? Bukankah menikah merupakan ladang amal soleh? Segeralah beristikharah, pikirkan dengan matang sesuai ajaran Islam, bukan mengikuti keinginan hati yang meledak-ledak karena ingin menggapai impian, yang faktanya impian itu masih bisa kita raih pula. Semoga jelas ya ukhti. [M. Iwan Januar]