Episode 5: Kegetiran di Bis Antarkota
Oleh: Umar Abdullah
Ahad tanggal 30 Mei 2010. Pagi jam 09.00 hingga sore jam 15.00 istri saya, Lathifah Musa, dengan semangat membara memberi Trainning tentang Ibu Tangguh. Ya iya dong, masa’ ngisi tentang Ibu Tangguh, pengisinya Nggak Tangguh.
Sementara istri ngisi trainning, saya melanjutkan keluyuran cari informasi tentang Cimalaka dan masyarakatnya. Keluhan dan harapan mereka. Alhamdulillah saya merasakan dalam setiap perjalanan ada ilmu yang Allah berikan.
Sore jam 16.00 kami harus bergegas tinggalkan Cimalaka pulang ke Bogor. Posisi Cimalaka terletak di tengah-tengah jalan trans Cirebon-Majalengka-Cimalaka-Sumedang-Bandung. Memang sih banyak angkutan ke Bandung. Tapi karena saat itu libur panjang (Jumat Sabtu Ahad) banyak orang yang berwisata atau pulang kampung balik kerja ke Bandung. Konsekuensinya, kami kesulitan mendapat tumpangan yang kosong setidaknya untuk saya, istri dan bayi kami. Hampir satu jam kami menunggu di halte depan Yonif Prabu Kian Santang. Akhirnya dapat juga tumpangan bis Ekonomi Jurusan Cirebon-Sukabumi.
Wuih, bisnya penuh sesak dengan penumpang, pengamen, dan pengasong. Kami dapat tempat duduk di belakang persis di depan pintu bagian belakang. Konsekuensinya saya harus pasang badan melindungi bayi kami dari angin yang berhembus kuat dari pintu. Kami duduk di jok tambahan yang tidak dipasangi busanya, alias langsung duduk di besinya. Lumayan, bikin pantat harus geser sana geser sini karena kesakitan bergesekan dengan besi.
Duduk di belakang membuat saya bisa memperhatikan aktivitas para pengamen dan pengasong. Eit, pengasong Tahu Sumedang yang sempat kami potret waktu nunggu di halte ternyata ikut naik bis yang sama. Saya potret dia karena gayanya yang nyentrik. Keranjang bambu calon tempat tahu jualannya diletakkan bertumpuk-tumpuk di kepalanya sehingga mirip topi Panglima Polim. Pas dia naik sebenarnya sudah ada pengasong Tahu Sumedang yang lain. Tapi dia tetap menjajakan dagangannya. Saya lihat dagangannya tidak ada yang beli. Mungkin karena sudah ada pengasong lain yang sudah naik dan menjajakan dagangan yang sama. Tapi saya tidak melihat rasa sedih atau nada keluhan dari bibirnya.
Tak berapa lama, naik lagi pengasong Tahu Sumedang yang lain. Sama nasibnya, tak ada yang membeli tahunya. Akhirnya sepanjang perjalanan pengasong yang baru naik ini nggodain pengasong yang saya temui di halte tadi. Ya Allah, begitu tabah para pengasong ini mencari nafkah. Teringat sekitar sembilan tahun yang lalu saat saya pernah berjualan tas di kereta. Tak ada satu pun orang yang membeli. Kegetiran sempat merayapi hati. Ya, tak selamanya usaha itu mendatangkan hasil. Namun usaha harus terus berjalan. Mungkin rizkinya di tempat atau di waktu lainnya. Alhamdulillah tas-tas yang saya jajakan tadi akhirnya laku juga setelah turun dari kereta.
Selain pengasong, pengamen pun meramaikan bis ekonomi walau sudah ramai dengan penumpang yang berdiri. Berbekal ukulele, dia menyanyikan sebuah lagu berbahasa Sunda tentang pariwisata. Selesai bernyanyi, sang pengamen menjulurkan tangannya untuk meminta sedekah. Dari depan hingga belakang tak ada satu pun penumpang yang memberi. Alhamdulillah saat itu saya sedang pegang uang. Saya beri dia uang. (semoga ini bukan untuk riya’ atau untuk menyebut-nyebut pemberian, tapi sekedar untuk menceritakan sebuah fenomena). Dia sedikit lega walau nampak jelas rasa kecewa karena dalam satu perjalanan dia hanya mendapat sedekah dari satu orang. Tapi ia tak mengeluh.
Menjelang masuk Tanjung Sari, naik lagi pengamen lainnya. Kali ini rombongan dua orang. Satu pegang ukulele, satunya lagi pegang ketipung buatan sendiri. Mulailah mereka bernyanyi. Lagunya lho kok sama dengan lagu yang dinyanyikan pengamen sebelumnya. Usai bernyanyi, mereka menjulurkan tangan minta sedekah. Sayangnya dari depan hingga belakang tak ada yang memberi, termasuk saya. Berbeda dengan pengamen sebelumnya, pengamen yang ini memaki-maki penumpang. Saya termasuk yang cukup tersentak dengan makiannya. Ya Allah, beginikah sikap pengamen jika tak dapat sedekah?
Pikiran mulai berkecamuk, memikirkan cara agar para pengamen ini lebih mudah mendapat rizki walau dari sedekah. Mungkin lagu mereka perlu lebih bervariasi. Mungkin lagu mereka harus memberi pencerahan kepada para penumpang agar penumpang juga senang. Dan barangkali lagu yang mereka nyanyikan harus lebih update dengan kondisi yang terjadi. Misal saat terjadi penyerangan Zionis Israel terhadap relawan yang mau membawa bantuan ke Gaza, para pengamen menyanyikan lagu yang berkaitan dengan Gaza dan Jihad. Pikiran inilah yang menguatkan kembali rencana kami untuk membuatkan lagu-lagu bagi para pengamen jalanan. Lagu-lagu yang mencerahkan pemikiran sekaligus update dengan kondisi. Mudah-mudahan bisa membantu mereka. Amin yaa Allaah yaa Mujiibas saa`iliin. (Selesai)