Kastanisasi Pendidikan

www.photobucket.com

Kasihan anak-anak Indonesia sekarang. Memang bukan masa yang teramat indah bila dibandingkan dengan setelah mengetahui bagaimana kekhilafahan menjamin pendidikan rakyatnya, tetapi setidaknya masa SMP saya tidak semenyedihkan anak-anak sekarang. Setiap murid masih bisa duduk di bangku yang seragam, mengecap fasilitas laboratorium bersama, berjalan-jalan untuk studi sekolah di tempat yang sama. Ternyata ini tidak bisa dirasakan semua murid sekarang.

Meski banyak dibantah para penyelenggara pendidikan dan negara, tetapi fakta kastanisasi pendidikan semakin terasa. Harian Kompas (Kamis, 3 Juni 2010) memberitakan kondisi sekolah internasional dengan sekolah regular yang amat mencolok.

Di SMP 19 Jakarta, misalnya, kursi yang digunakan siswa kelas reguler hanyalah kursi kayu yang keras. Sementara siswa internasional duduk nyaman di kursi plastik dengan rangka stainless steel dan meja terpisah. Saya pernah mendengar pembedaan (bukan perbedaan, untuk menekankan kesengajaan membedakan) juga pada ruangan berpenyejuk udara dengan yang cukup berjendela di tengah udara Jakarta yang panas. Tidak hanya itu, siswa kelas internasional juga memiliki ruang khusus yang digunakan sebagai klinik, berikut dokter umum dan dokter spesialis gigi, yang siap sedia memeriksa setiap senin hingga kamis. Soal kunjungan kegiatan juga belum tentu dinikmati siswa sekolah reguler, karena mereka harus membayar kalau mau ikut kegiatan. Belum lagi guru-guru siswa kelas internasional adalah tenaga ahli atau guru outsourcing, yang konon ahli mengajar dengan dua bahasa, tentunya Inggris dan Indonesia.

Soal biaya, nah di sanalah masalahnya. Biaya masuk di sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) atau SBI (Sekolah berstandar Internasional) ini memang tarifnya juga internasional. Biaya masuknya Rp 8 juta- Rp 10 juta, sementara biaya bulanan Rp 450.000 hingga Rp 850.000.

Di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang sangat sulit seperti sekarang ini, tentu sekolah-sekolah ini hanyalah memunculkan kalangan elit saja. Wajar kalau banyak pengamat pendidikan menyebut, perilaku pemerintah Indonesia sekarang  seperti pemerintah Kolonial Belanda. Masyarakat terpilah menjadi ningrat dan kebanyakan, kaya dan miskin. Yang kaya diperlakukan baik, yang miskin diabaikan. Lama-kelamaan yang miskin akan tersingkir juga.

Kini sejumlah sekolah mulai menghapuskan kelas reguler. Kenyataannya RSBI dan SBI memang menguntungkan para penyelenggara pendidikan yang mencintai uang.

Bicara soal berita Kompas, saya mengenang keindahan belajar di sebuah SMP yang disebut dalam berita tadi. Letaknya di jalan Bumi, bilangan Kebayoran Baru, Jakarta.

Semua sudut bisa dirasakan. Tidak ada perasaan terbedakan. Kami mengagumi mereka-mereka yang berprestasi. Teman-teman kami, banyak yang tinggal di pelosok-pelosok kumuh Jakarta. Para juara kelas putra seorang tambal ban dan putra pejabat eselon satu duduk bersama.

Tak ada beda kawasan perumahan pondok indah, permata hijau, dan wilayah kumuh belakang gedung-gedung bertingkat. Semua murid bisa saling menyapa, duduk bersama dan menikmati keindahan bersekolah. Para guru menikmati mengajar dan selalu memacu para siswa untuk berprestasi.

Kini semua sudah tidak dirasakan lagi. Pemerintah telah membangun kastanisasi di antara kami. Saya tidak bisa membayangkan sosok yang menyebabkan kesalahan-kesalahan ini terjadi. Apakah dia sedang merenungi kesalahan kebijakannya? Atau tertawa puas melihat pendidikan Indonesia di ambang kehancuran! (Lathifah Musa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *