Setelah sekitar sebulan yang lalu saya meminta Oleh Solihin untuk mampir ke Radio Omega FM di Bandarlampung, kini giliran saya menyambangi Radio Citra FM, radio mitra Media Islam Net di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Episode I: Pemgmbaraan Dimulai
Oleh: Umar Abdullah
Bogor masih pagi ketika kami memulai perjalanan hari Sabtu 29 Mei 2010. Sepeda motor mengantar saya, istri dan anak saya yang masih bayi memulai perjalanan. Baru berjalan tiga puluh meter saya teringat ada yang terlupa. Charger hp! Alat bantu komunikasi yang sangat penting dalam perjalanan jauh. Balik sebentar ke rumah, lalu melajulah kami ke Bogor Kota.
Setelah menitipkan sepeda motor di Parkir Bis Damri Bandara, kami masuk ke Terminal Baranangsiang. Tepat jam 07.00 bis MGI Jurusan Bogor-Bandung mulai menggerakkan rodanya. Keluar terminal, bis langsung masuk Tol Jagorawi, keluar Tol Jagorawi masuk Tol Cikunir, terus masuk Tol Cikampek, akhirnya masuk Tol Cipularang. Ya, sekarang jalur ke Bandung lebih cepat lewat Tol Cipularang daripada lewat Puncak.
Tepat jam 09.00 kami turun di Pintu Keluar Tol Pasir Koja. Kami tidak meneruskan perjalanan sampai Terminal Leuwipanjang di Bandung, karena tujuan kami memang bukan ke Bandung, tapi ke Sumedang. Dari sini kami naik Elep. Elep itu istilah orang Sunda untuk menyebut Colt L300. Ada dua elep yang ke Sumedang: Rukun Wargi dan Bohe Jaya. Kami naik Bohe Jaya. Oh ya, saya menyebut nama-nama bis, elep dan alat transportasi lainnya, bukan untuk promosi, tapi sekedar membagi informasi buat netter yang ingin melakukan perjalanan dari Bogor-Sumedang PP.
Di elep, perubahan suasana pun mulai terasa. Asap rokok memapar hidung setiap penumpang, termasuk bayi kami. Kesadaran tentang bahaya racun tembakau ternyata tak membuat para perokok menghentikan kebiasaannya. Beruntung sopir elep tidak lama ngetem. Ia segera melaju cepat, menghisap udara pagi Bandung bagian selatan, dan membersihkan asap rokok dari dalam mobil, dan masuk tol lagi.
Keluar tol mulailah elep memasuki ujung Kabupaten Sumedang, yakni Jatinangor. Di sisi kiri terlihat IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) berdiri megah. Teringat saya beberapa tahun lalu bagaimana terjadi premanisasi massal di kampus penghasil para lurah dan camat ini. Semoga sekarang sudah berubah.
Lewat IPDN, masuk kawasan Unpad (Universitas Padjadjaran), tempat beberapa temen sempat kuliah di sana. Kemudian masuk Tanjungsari, lalu Pamulihan. Jalan berlubang di sana sini membuat elep yang dikemudikan sopir tidak bisa melaju kencang. Belum lagi ada bekas longsor di sisi kiri jalan membuat bulu kuduk saya merinding. Gimana kalau tiba-tiba terjadi longsor susulan. Doa mohon keselamatan dari bencana meluncur deras dari bibir saya yang merasa makin kecil di hadapan kekuasaan Allah.
Lewat daerah rawan longsor, kami bertemu monumen Cadas Pangeran. Konon, monumen ini dibuat untuk memperingati keberanian seorang bangsawan Sumedang yang tegas terhadap Daendels, Gubernur Jenderal Belanda yang kafir dan sangat kejam. Sebuah sikap yang seharusnya ditiru putra putri bangsa ini terhadap negara-negara Kapitalis perampas SDA Indonesia.
Di Pamulihan suasana pedesaan terasa sekali. Jalan pegunungan yang berkelok-kelok dengan pemandangan yang indah menyejukkan mata. Belum lagi suasana di dalam elep yang mirip angkutan desa. Ada ibu separuh baya yang asyik nerima telepon di handphone-nya. Bicara dengan bahasa Sunda dengan volume suara yang keras. Seluruh penumpang dengar, termasuk tertawanya yang khas. Saya tertawa dalam hati ingat waktu tinggal di desa naik angkutan desa. Satu orang ngobrol untuk konsumsi semua penumpang. Semua orang boleh nanggepin. Obrolan sang ibu separuh baya sering terputus gara-gara tak ada sinyal. Ya iyalah wong nelponnya di antara bukit-bukit.
Alhamdulillah lubang jalanan mulai sedikit. Mobil yang kami tumpangi mulai masuk Sumedang Kota. Terlihat Kantor Polres, kantor-kantor pemerintahan, dan sekolah-sekolah. Dari sinilah saya bisa mengukur bahwa Kabupaten Sumedang terkategori kota kecil.
Terlihat Gunung Tampomas tegak berdiri di sisi kiri jalan. Teringat kembali memori saya tentang Kapal Tampomas II yang terbakar dan tenggelam di awal era 80-an. Kecelakaan laut yang fenomenal karena jatuh korban yang tidak sedikit dan sempat diabadikan oleh kamera. Iwan Fals pun membuat lagu untuk tragedi ini: ”Api menjalar dari sebuah kapal… Jerit ketakutan keras melebihi gemuruh gelombang yang datang… Sejuta lumba-lumba mengawasi cemas… Risau camar membawa kabar… Tampomas terbakar… Tampomas Dua tenggelam… Semoga tragedi tersebut menjadi peringatan sekaligus pelajaran buat kita semua.
Gunung Tampomas semakin terlihat saat kami memasuki Kecamatan Cimalaka, tempat kami menginap di Hotel Hegar Manah. (bersambung…)