Oleh: M. Iwan Januar
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.”(QS. al-An’am: 34).
Seandainya boleh memilih, tentunya para pengemban dakwah lebih suka memilih jalan dakwah yang damai, tanpa harus menerima cacian, intimidasi bahkan kekerasan fisik. Tapi jalan dakwah bukanlah jalan pengandaian, meski berharap kebaikan adalah kemestian.
Manakala bicara kebaikan, nyatanya hanya Allah yang Mahatahu, apa yang terbaik bagi hamba-hambaNya. Manusia sering salah menduga mana yang khair (baik) dan mana yang syar (buruk), karena hawa nafsu memang lebih memilih jalan yang nikmat dan mudah. Padahal seringkali pandangan itu adalah fatamorgana. Disangka nikmat padahal tak ada nilainya di hadapan Allah. Tapi yang disangka menyusahkan sebenarnya berujung pada kebahagiaan. Allah menegaskan hanya Dia yang Mahatahu segala hal.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. al-Baqarah: 216).
Ketika Nabi saw. dan kaum muslimin yang berdakwah merasakan perihnya meniti jalan dakwah, Allah dengan kuasaNya menerangkan kepada mereka bahwa demikianlah jalan dakwah. Bukan hanya Rasulullah saw. dan para sahabat radliallahu ‘anhum yang merasakan demikian, tapi semua nabi dan rasul yang mulia (dan kian dimuliakan Allah) juga mengalaminya.
“Dan jika mereka (orang-orang musyrik) mendustakan kamu, maka sesungguhnya telah mendustakan juga sebelum mereka kaum Nuh, `Aad dan Tsamud.”(QS. Hajj: 42).
Sunnatullah keberhasilan memang harus ditempuh dengan berpayah-payah. Pepatah Barat mengajarkan ‘no pain, no gain’. Kita juga diajarkan pepatah lama ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’. Kemenangan dakwah juga tidak bisa dijemput dengan tawa berderai, tanpa tetesan air mata dan cucuran keringat, bahkan terkadang darah.
Biasanya kaum kuffar dan antek-anteknya melakukan dua strategi untuk menjatuhkan dakwah Islam; menjauhkan umat dari para dai dan menjatuhkan mental para pengemban dakwah itu sendiri.
Kaum kafir Quraisy bersepakat memberikan tuduhan, cap jelek, dan stigma terhadap Rasulullah saw. dan kaum muslimin. Nabi Muhammad dilabeli orang gila dan penyihir. Biasanya Abu Lahab mendatangi kabilah-kabilah yang akan masuk ke Mekkah, mewanti-wanti mereka agar tidak mendengarkan ayat-ayat al-Quran yang dibaca Rasulullah. Ia menamainya sebagai mantra sihir yang bisa memutuskan hubungan seseorang dari keluarganya dan dari kaumnya. Tujuannya adalah membuat umat manusia agar menjauh dari para pengemban agama ini.
Adapun untuk menjatuhkan mental kaum muslimin, kaum kafir Quraisy memboikot total semua hubungan – ekonomi dan sosial – dengan Rasulullah saw. dan para sahabat. Mengucilkan mereka di syi’ib Bani Abdul Muthalib yang gersang. Termasuk menyiksa para dai yang mulia. Jatuhlah Sumayyah dan Yassir sebagai syudaha awal di jalan dakwah.
Cara-cara seperti itu adalah cara klasik yang juga dipakai oleh kaum kuffar dan para antek mereka hari ini. Dengan target sama; menjauhkan umat dari pengemban dakwah dan menjatuhkan mental para dai. Dimulai dari ide dakwah Islam yang diemban agar tidak dipeluk oleh umat. Ada tudingan bahwa gagasan penegakkan syariat dan khilafah itu utopia dan romantisme sejarah. Ada juga yang menuding bahwa penerapan syariat Islam itu membahayakan kesatuan bangsa.
Lalu tudingan pribadi dainya. Tuduhan Mu’tazilah, ahli bid’ah, teroris atau pendukung teroris, sampai dituduh berperilaku fasik. Semua bertujuan membuat umat agar tidak mendekat apalagi mendukung para dai.
Tentu saja tudingan itu terkadang menyesakkan dada dan mengundang keprihatinan. Bila di masa lampau berbagai makar keji itu datang dari kaum kafir, sekarang justru datang bertubi-tubi dari orang yang mengucapkan ‘laa ilaha ilallah’. Saudara seiman.
Tapi skenario Ilahi memang berulang. Di antara kaum muslimin juga terdapat orang-orang yang kecondongannya justru kepada musuh-musuh Allah. Entah karena kepentingan ekonomi, politik atau khawatir tersaingi. Pada intinya mereka merasa berat kembali berhukum dengan hukum Allah. Firman Allah:
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.”(QS. an-Nisaa: 61)
Jalan dakwah adalah jalan pertarungan yang membutuhkan ketahanan iman. Kaum kuffar terus menerus menghujani para dai dengan berbagai makar dan konspirasi di antara mereka, agar dakwah Islam ini limbung. Sebaliknya para pengemban dakwah harus bertahan sambil membongkar kebusukan ideologi yang diusung kaum kuffar dan para pengikut mereka.
Pada akhirnya, kemenangan yang dijanjikan Allah akan disongsong mereka yang sanggup mempertahankan kekuatan ruhiyah ini. Meskipun jalan yang ditempuh berat, berduri dan berliku. Tapi itulah jalan menuju kemenangan sejati.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.”(QS. ali-Imran: 142).[]