Program: VOICE OF ISLAM | Rubrik: KONSULTASI SURAT | Narasumber: Ir. Lathifah Musa | Topik: ISTRI YANG TERUSIR
Assalaamu’alaikum wr wb. Ada seorang istri yang diusir oleh suaminya. Kemudian dia pergi bersama anak-anaknya pulang ke rumah orang tua istri. Suami tidak peduli hingga satu bulan lebih. Tetapi kemudian suami mengatakan istri harus pulang ke rumah, kalau masih ingin menjadi istri yang baik. Keluarga istri menolak, terutama orang tuanya, mengingat kejadian pernah diusirnya anak mereka dari rumah. Apakah yang harus dilakukan oleh istri, karena dia tidak ingin mendapat laknat Allah, tetapi trauma karena pernah diusir suami. Apakah dia harus pulang dalam ketakutannya? –penanya mewakili istri yang terusir.
‘Alaikumus salam wr wb.
Suami yang mengusir istrinya, apalagi sekaligus anak-anaknya, maka dia bukan suami yang baik. Bahkan kalau suami mengatakan “pergi saja ke rumah orang tuamu!” Dalam konteks mengusir, maka ini bisa menjadi indikasi cerai. Bahkan ini cara bercerai yang tidak baik. Dalam kasus penanya, tampaknya sudah jatuh cerai: indikasinya adalah (1) istri pergi dengan anak-anak karena diusir. Suami tidak peduli dan melepaskan tanggungjawab. Lamanya waktu satu bulan lebih. (2) Sekiranya suami hanya karena emosi, marah karena ada kelemahan dan kelalaian istri, maka tidak boleh lebih dari tiga hari. Satu bulan bukan waktu yang singkat dan ini sudah menunjukkan ketidakpedulian serta melepaskan tanggungjawabnya sebagai suami.
Selanjutnya ketika suami menyuruh pulang, maka ini juga bukanlah cara yang dibenarkan syariat dalam memperlakukan istri. Apalagi terhadap anak-anak kecil yang tentunya sangat terzhalimi ketika mereka dalam perjalanan terusir dari rumah. Sikap suami menyuruh pulang, menunjukkan dia tidak menganggap apa yang dilakukannya sebagai suatu kesalahan. Bila demikian maka peristiwa itu mungkin saja berulang lagi. Tentunya istri harus berhati-hati jangan sampai mengulangi tragedi yang sama.
Bila suami menyesal dan ingin memperbaiki rumah tangga mereka, maka yang harus dilakukan suami adalah:
(1) Suami datang kepada orang tua istri yang saat itu kembali menjadi wali bagi istrinya lagi. Suami harus meminta maaf karena telah mengusir istri. Kemudian memintanya kembali secara baik baik. Kalau ortu istri mengijinkan dan istri mau kembali, maka mereka bisa rujuk, tanpa akad nikah baru, bila belum melewati masa iddah. Tetapi kalau sudah melewati masa iddah, maka harus ada aqad nikah lagi.
(2) Suami berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan, dan berusaha menjadi suami yang baik. Demikian pula istri, harus berusaha menjadi istri yang baik. Orang tua harus mengawasi dan membimbing. Suami istri harus tidak segan berkonsultasi kepada orang tua atau pihak yang dihormati bila ada persoalan dalam rumah tangga, sebelum mereka memiliki kematangan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Bagaimana bila istri tidak mau kembali? Maka berarti mereka bercerai. Ketidakinginan menunjukkan ketiadaan i’tiqad untuk memperbaiki rumah tangga. Suami tidak bisa memaksa, karena Itu juga menjadi hak istri apakah mau kembali atau tidak. Adanya pemaksaan dalam pernikahan tidak akan mampu mewujudkan kesakinahan kembali dalam rumah tangga. Semoga masing-masing menemukan jodoh yang lebih baik.[]