Oleh: M. Iwan Januar
Beberapa waktu lalu diselenggarakan sebuah acara penghargaan terhadap 10 perempuan Indonesia yang dinilai berprestasi. Acara bertitel “A Tribute to Women 2010” terselenggara atas kerjasama Perum LKBN (Lembaga Kantor Berita Nasional) ANTARA dengan The Plaza Semanggi dan The Village Mall. Para perempuan yang mendapat penghargaan dinilai telah memberikan karya nyata terhadap kemanusiaan, lingkungan dan pendidikan.
Di antara mereka ada dua orang muslimah yang memberi sumbangsih menarik, yaitu Dr.Irina Among Praja yang mendirikan Sekolah Anak Pemulung “KAMI” dan Ade Pujiati yang pendiri sekolah SMP Gratis di daerah Pancoran Jakarta Selatan.
Kerja keras dan kerja ikhlas mereka bak setetes embun penyejuk di tengah kekeringan yang telah diciptakan alam kapitalisme. Ketika sekolah-sekolah negeri dan swasta seolah melakukan persaingan dalam biaya pendidikan, kedua ibu ini justru menyelenggarakan pendidikan gratis. Berangkat dari keprihatinan dan rasa kepedulian yang tinggi terhadap anak bangsa, keduanya bergerak untuk mewujudkan pendidikan cuma-cuma.
Bisa jadi, keduanya tidak mengenal konsep bahwa pendidikan adalah hak setiap muslim, dan negara berkewajiban menyelenggarakannya secara cuma-cuma. Mereka berangkat semata dari kesadaran dan ketulusan.
Pembaca budiman, kesadaran dan ketulusan adalah awal bagi sebuah dakwah. Keduanya adalah bagian paling elementer dari sebuah gerakan perubahan masyarakat. Rasulullah saw. memulai dakwah ini dari kesadarannya yang amat tinggi terhadap kondisi masyarakat Arab dan dunia pada masa itu. Beliau tidak hanyut dalam budaya paganisme dan hedonisme purba, tapi justru merasa prihatin dan tergerak batinnya untuk melakukan perubahan.
Karena itulah Beliau saw. berkhalwat di gua Hira, memikirkan apa yang tengah terjadi dan apa yang harus dilakukan serta ke arah mana perubahan itu harus dilakukan. Sampai kemudian Allah mendatangkan malaikat Jibril as. dan membimbingnya melalui wahyuNya yang agung. Perubahan itu harus mengarah pada tauhidullah dan masyarakat yang tunduk pada hukum-hukum Ilahi, bukan hawa nafsu.
Elemen kedua adalah keikhlasan, dan bagian inilah yang dimiliki oleh suri tauladan kita tersebut. Beliau hanya mengharapkan keridloan Allah. Padahal bila mau, bisa saja Nabi saw. menerima tawaran kaum musyrik Quraisy lewat lisan Utbah bin Rabi’ah untuk menerima tiga hal yang menggiurkan syahwat manusia manapun di dunia ini; tahta, harta dan wanita. Tapi beliau bergeming. Tak tergerak sedikitpun hati Beliau atas tawaran itu.
Bahkan ketika kemenangan dakwah telah diraih di Madinah, Rasulullah saw. tetap bersahaja. Rotinya hanyalah terbuat dari gandum yang kasar – itu pun tidak pernah kekenyangan seumur hidupnya –, tidur di atas pelepah kurma dengan kain yang separuh adalah alas kasur dan separuhnya adalah selimutnya, dan tidak bergelimang harta.
Akan tetapi Nabi saw. memberikan contoh kepada kita bahwa kesadaran dan gagasan dakwah yang brilian tak ada artinya manakala tidak terwujud dalam sebuah gerakan nyata. Beliau berada di garda terdepan dalam perjuangan dan amal soleh. Itu pula yang diteladani oleh para sahabat dari pemimpin dakwah yang luar biasa ini. Pantaslah bila Allah mengaruniakan kemenangan dakwah yang dahsyat.
Pada hari ini, ada baiknya kita semua, yang merasa bagian dari pengemban dakwah, melakukan muhasabah besar-besaran; sudahkan gagasan dakwah yang kita anggap brilian itu terefleksi dalam gerak dakwah? Ataukah hanya berputar sebatas gagasan semata.
Apa jadinya bila ada pengemban dakwah yang terlibat dengan institutsi riba sementara ia sendiri bersuara lantang riba adalah haram. Hamalatud da’wah yang menelantarkan anak dan istrinya, atau ustadzah yang sering mengabaikan suami dan pengasuhan anak-anaknya, atau pengemban dakwah yang tidak menjaga diri dari hubungan terlarang dengan lawan jenis, bukankah itu berarti gagasan dakwah baru ada pada teori dan lisan?
Ibu Ade dan Irina mungkin tidak pernah menyatakan bahwa mereka pengemban dakwah, tapi mereka merefleksikan gagasan cemerlang mereka dalam gerak nyata. Sementara di kutub lain banyak pengemban dakwah yang kerap menyatakan ‘wajibnya pendidikan gratis’ justru bersaing membangun sekolah-sekolah mahal, sembari berkilah bahwa sekolah gratis itu kewajiban pemerintah.
Ketika Ibu Ade dan Ibu Irina berjalan dengan tanpa pamrih, banyak sekolah-sekolah Islam yang memburu profit dari orangtua muslim yang berharap anaknya menjadi soleh. Baik dengan alasan harus membayar biaya perawatan gedung, hutang kepada investor, biaya operasional, dsb.
Pada titik ini, terasa tidak aneh ketika ada seorang kawan saya yang muslim mengagumi Mother Teressa de Calcutta. Biarawati ini mendapat nobel kemanusiaan karena pengabdiannya kepada kaum papa. Dan bukan kawan saya seorang, banyak umat muslim yang juga mengagumi perjuangan perempuan ini.
Ketika gagasan dakwah tidak terwujud dalam gerak nyata, maka sebenarnya dakwah tengah menuju liang kuburnya. Ia kehilangan cahaya benderangnya yang memikat umat. Karena pengemban dakwahnya hanya menjadi NATO – No Action Talk Only.
Maka, sebelum dakwah ini mati, marilah kita membumikan gagasan dakwah itu ke dalam bentuk nyata. Dalam gerak amal soleh. Apapun posisi kita dalam dakwah ini, banyak amal yang bisa dilakukan sebagai bagian dari mewujudkan gagasan dakwah ini.[]