Tak Usah Menangis, Coy!

Oleh Umar Abdullah

kaltimpost.co.id

Sedih. Itulah perasaan saya melihat banyaknya siswa-siswi SMA yang tidak lulus UN berteriak histeris, menangis meraung-raung berkelenjotan di lantai kelasnya. Bahkan ada yang ingin menimpuk gurunya dengan batu.

Sedih bukan karena mereka tidak lulus. Karena lulus dan tidak lulus ujian dalam proses pendidikan itu hal biasa. Ketika mahasiswa, saya juga pernah tidak lulus ujian, kemudian belajar lebih serius, mengulang ujian dan akhirnya lulus. Tak ada tangis, tak ada histeris. Ibu saya pernah cerita, bahwa dulu ketika beliau sekolah di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) yang namanya ngulang ujian itu hal biasa. Biasanya sampai empat kali mengulang. Dan tak ada tangis, tak ada histeris. Ketidaklulusan ini mungkin juga dialami banyak orang seperti saya yang angkatan ’91, atau ibu saya yang angkatan ’60. Tapi tak ada tangis, tak ada histeris.

Saya ingat bagaimana dulu ibu saya menanamkan sikap untuk siap menerima kegagalan. Sedih iya, kecewa oke, tapi tidak untuk menangis! Dada memang terasa sempit, jantung berdegup kencang, nafas tersengal, bibir bergetar, tapi kekuatan untuk sabar menerima kenyataan tetap membuat kepala tetap tegak. Dan itu ditanamkan sejak kecil oleh orang tua. Setelah itu ibu saya berkata, ”Kau sebenarnya pintar. Tapi kau malas!!” Bagi saya, kata-kata itu terasa menyakitkan, namun mujarab untuk melecut saya mengejar ketinggalan. Ujian demi ujian pendidikan pun akhirnya saya lalui dengan kerja keras. Dan akhirnya lulus juga.

Ketika mulai belajar Islam, saya membaca buku kecil berjudul Taqarrub Ilallaah, Di dalamnya ada sebuah hadits yang dikutip oleh sang penulis (Fauzi Sanqarth). Hadits itu maknanya kira-kira begini: Rasulullah saw bersabda, ”Sungguh menakjubkan seorang yang beriman itu. Dalam keadaan apapun ia selalu baik. Jika ia mendapat keberuntungan, ia bersyukur. Dan itu baik buat dia. Jika ia tertimpa musibah, ia sabar. Dan itu baik buat dia. Dan itu tidak ditemui selain pada diri orang-orang yang beriman.” Amboi indah nian Hadits ini. Ternyata sikap syukur dan sabarlah yang membuat seorang yang beriman akan baik-baik saja. Keberuntungan tak membuatnya sombong. Musibah tak membuatnya stress berlebihan.

Memang betul, pelajar tak sepenuhnya salah. Memang betul, kurikulum yang terlalu padat, sarana dan prasarana belajar yang tak tersedia, guru yang kurang berdedikasi, siswa yang tak serius belajar, hingga banyaknya gangguan belajar seperti televisi, hp dan internet, turut menyumbang peran dalam ketidaklulusan siswa. Tapi bukankah sikap siswa yang tidak siap menerima kegagalan adalah juga menunjukkan bahwa siswa itu memang belum layak lulus dari jenjang SMA? Ataukah para guru sekarang lupa menanamkannya?[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *