Oleh: Lathifah Musa
Dalam sebuah Teori Berpikir, yang namanya serius tidak diukur dari kata-kata semata. Keseriusan juga tidak dinilai dari ekspresi wajah, teori-teori canggih atau kalimat-kalimat yang mengandung pemikiran mendalam.
Lisan boleh saja mengucap sumpah, wajah bisa saja berurai air mata, tapi yang namanya serius tidak terbukti dari indikasi-indikasi tadi. Bisa jadi ada orang yang wajahnya cengengesan tapi nyatanya ia terbukti serius. Jadi serius memang tidak ada hubungannya dengan ekspresi wajah, kata dan kalimat.
Makanya orang yang serius pengen menikah, tidak bisa dibilang serius sebelum dia sungguh-sungguh berusaha ke arah pernikahan. Artinya tentu mencari calon pasangan hidup dan mengumpulkan biaya untuk minimal biaya nikah. Menuju pernikahan syar’iy pun tidak dikatakan serius kalau belum bersungguh-sungguh mengatur agar akad nikah berjalan syar’iy dan walimah tidak melanggar rambu-rambu ikhtilath (campur baur tamu laki-laki dan perempuan) dan tabarruj (dandan berlebihan) mempelai putri ketika tampak oleh tamu laki-laki (kecuali kalau tidak bertemu tamu laki-laki).
Seriusnya seorang ibu yang menginginkan anak-anaknya menjadi shalih dan sholihah juga belum terbukti hanya ketika sang ibu ikut kursus pendidikan anak atau menulis buku tentang kiat-kiat mendidik anak. Keseriusan ibu adalah ketika ia turun tangan langsung mendidik dan membina anak-anaknya agar memiliki akhlak mulia.
Keseriusan memerlukan kesungguhan usaha. Usaha ini harus sejalan dengan niat dan target yang ada dalam benak sang pelaku. Keseriusan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan. Kadang-kadang ada orang dengan pemikiran dangkal tapi bisa serius sesuai kapasitas berpikirnya. Ada juga orang-orang cerdas tapi juga tidak pernah bisa serius.
Serius itu penting. Seseorang bisa maju kalau dia memang serius mau maju. Sebuah bangsa bisa bangkit kalau memang serius mau bangkit. Dari sinilah sebenarnya kita bisa menilai seberapa seriuskah pemimpin negeri ini mengurusi rakyatnya. Kenyataannya rapor keseriusan para pemimpin belum beranjak dari nilai merah. Terbukti dari kasus Century yang seperti menguap, kemudian beralih ke kasus Markus, beralih lagi ke kasus-kasus lain yang berputar-putar seperti lingkaran setan. Wajar kalau Indonesia masih kategori terpuruk.
Dan akhirnya seberapa seriuskah kita? Generasi muda muslim yang ingin mengangkat Indonesia dari keterpurukannya? Apakah upaya dan kesungguhan sudah memenuhi kapasitas untuk menjadi bukti bahwa kita adalah orang-orang yang serius. Atau kita masih menjadi bagian dari generasi yang main-main? Generasi malas yang lebih suka tergantung pada bangsa lain? Jawaban ini tentu ada pada masing-masing kita sendiri. Seberapa seriusnya sih anda?[]