Oleh: M. Iwan Januar
Minggu lalu diberitakan seorang ibu muda tega membunuh bayi yang baru dilahirkannya. Ini bukan karena alasan hubungan gelap, karena bayi itu adalah anak dari suaminya. Sang ibu melenyapkan nyawa sang bayi karena tidak mau punya anak lagi. Yang mengejutkan lagi padahal mereka baru punya seorang anak saja. Dan dilihat dari kondisi rumahnya, pasangan suami istri ini bukan tergolong keluarga melarat.
Ada fenomena menyakitkan di tengah masyarakat kita, bahwa memiliki anak adalah beban bagi orang tua. Beban dalam pendidikan, pengasuhan dan pastinya biaya hidup. Realitas kehidupan ekonomi juga memang semakin hari tidak semakin ringan, justru bertambah berat, sehingga banyak pasangan yang berpikir untuk tidak punya banyak anak. Apalagi kampanye “dua anak lebih baik” masih terus dikumandangkan oleh pemerintah.
Padahal, anak adalah aset dakwah di masa depan. Ia adalah bibit umat yang bila disemai dan dipelihara dengan telaten akan menjadi pohon dakwah yang besar dan rindang. Keteduhannya cukup membuat umat untuk berlindung di bawahnya. Nabi saw. Bersabda:
“Nikahilah para wanita yang penyayang lagi subur (peranakannya), karena aku akan bersaing dengan para nabi yang terbanyak umatnya.”
Umat ini membutuhkan banyak generasi pejuang, sehingga pernikahan adalah amalan yang didorong oleh agama kepada para pemuda bukan sekedar untuk menjaga kesucian diri, tapi sebagai sarana untuk mencetak generasi-generasi pejuang.
Tetapi jika hari ini umat memandang anak sebagai beban dakwah, maka apa jadinya masa depan bagi agama ini?
Ironinya, yang membuat hati masygul, adalah jika anggapan anak adalah beban juga merasuk ke dalam benak para pengemban dakwah. Ada seorang ibu muda yang juga seorang daiyyah menuturkan bahwa ada sebagian muslimah yang juga daiyyah beranggapan sama; punya momongan itu merepotkan!
Masya Allah! Jika daiyyah saja sudah merasa anak sebagai beban, bagaimana kita bisa membina umat?
Persoalan lain adalah pembinaan anak dalam keluarga. Di satu sisi kita bersyukur dengan bermunculannya beragam lembaga pendidikan Islam, mulai sekolah hingga playgroup Islami. Namun di sisi lain, tanpa disadari kita pun terbuai untuk memasrahkan pembinaan anak-anak kita begitu saja kepada lembaga-lembaga ini. Kita menjadi orang tua yang ingin ‘terima bersih’ untuk pembinaan anak-anak kita. Rumah sekedar menjadi tempat tidur dan makan bagi anak-anak kita, minus gemblengan agama dari orang tuanya.
Ada orang tua yang kedua-duanya asyik masyuk berkarir dunia dan berdakwah di mana-mana, lalu dengan ringannya menitipkan anak-anaknya ke full day school, seharian, lalu sore hari sang anak diantar pulang ke rumah. Amboi, apatah bedanya jika demikian anak kita dengan barang titipan yang disimpan dalam loker?
Apalagi setelah melihat sekolah-sekolah itu menawarkan program yang excellent, banyak orang tua yang berhasrat besar memasukkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah Islam unggulan. Meski untuk itu mereka rela mengeluarkan biaya yang terbilang besar.
Lupakah kita bahwa orang tua adalah penanggung jawab terdepan dan utama dalam pembinaan anak? Apa yang akan kita katakan di hadapan Allah bahwa kita membina umat di mana-mana tapi melepaskan anak kita dalam asuhan orang lain.
Padahal, al-Quran sengaja mencantumkan surat Luqman dan beragam kisah pembinaan para nabi kepada anak-anaknya. Bagaimana Nabi Ibrahim mendidik putranya Ismail, Nabi Ya’qub berwasiat pada anak-anaknya, hingga kepiluan Nabi Nuh as. Melihat Kan’an buah hatinya ingkar kepada ajaran Tuhannya.
Bukan tanpa alasan Allah menurunkan surat dan ayat-ayat itu melainkan sebagai petunjuk dan pengingat bagi umat bahwa orang tua adalah ‘madrasatul ula’ bagi anak-anaknya. Karena ikatan yang paling kuat dan menentukan kepribadian anak adalah ikatan akidah dan selanjutnya ikatan dengan kedua orang tuanya. Abdullah bin Mas’ud ra. Bertanya kepada Nabi saw.:
“Apakah amal yang lebih disukai Allah?” Nabi saw. menjawab, “Berbakti pada orang tua.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?” Nabi saw. menjawab, “Berjihad.” (HR Bukhari, Muslim)