Oleh Umar Abdullah
Adalah Lily Wahid, putri Wahid Hasyim. Dia berani berbeda sikap dengan fraksinya, PKB, dalam voting soal bail out Bank Century. Satu hari kemudian, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, yang sekarang jadi Menakertrans di Kabinet SBY-Budiono, mengancam Lily Wahid akan dikeluarkan dari jamaah (entah apa yang dimaksud dengan jamaah).
Sobat, berani melawan perintah atasan memang bukan persoalan mudah. Perlu keberanian, kesiapan mengambil resiko, dan yang pasti, kekuatan motivasi. ”Membela kebenaran, mengungkap kebijakan yang merugikan rakyat banyak” begitu kira-kira motivasi Lily.
Memang Lily bukanlah teladan yang baik dalam urusan pergaulan pria wanita. Karena beberapa saat setelah berani sendirian berdiri di dalam kelompok teman-teman fraksinya yang semuanya duduk, Lily langsung dihujani ucapan selamat oleh teman-temin sekubunya. Juga dihujani cipika-cipiki oleh seorang pria yang bernama Budiman Sujatmiko. Tapi, Lily adalah teladan yang pas untuk urusan berani menentang perintah boss, dan berani berbeda sikap dengan sikap fraksinya.
Sobat, sering saya jumpai dalam keseharian, juga dalam sejarah, seseorang yang ketika belum menjadi pemimpin mereka sangat santun. Namun setelah jadi pemimpin, berubah sudah tabiatnya. Ia menjadi sok kuasa, sok perintah, dan sok mengancam. Seluruh anggota organisasinya dibuat sedemikian hingga tidak ada yang berani mbalelo dari kebijakan partai (baca: kebijakan pimpinan). Dibuatlah aturan bahwa anggota harus percaya penuh kepada pimpinan dan tidak boleh mempertanyakan kebijakan pimpinan. Tugas anggota hanyalah menjalankan perintah. Titik! Siapa saja yang mempertanyakan kebijakan pimpinan dicap sebagai ’anggota yang bermasalah’. Cap ini kemudian diopinikan di seluruh bagian organisasi hingga akhirnya orang yang dicap bermasalah ini dikucilkan oleh seluruh anggota organisasi.
Di organisasi-organisasi Islam, ketakutan anggota partai semakin menjadi dengan dikedepankannya dalil-dalil yang mengklaim bahwa ketaatan kepada pemimpin seolah-olah mutlak. Dan disimpanlah dalil-dalil yang menyimpulkan bahwa ketaatan kepada pemimpin adalah bersyarat. Maka dikedepankanlah hadits Rasulullah saw:
”Man ra`aa min amiirihi syai`an fakarihahu falyashbir fa`innahuu laisa ahadun yufaariqul jamaa’ata syibran fayamuutu illaa maata maitatan jaahiliyyah.”
[Barangsiapa melihat sesuatu yang tidak disukai dari amir (pemimpin)nya, hendaklah bersabar karena tidaklah seseorang yang meninggalkan jamaah sejengkal saja dan mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.]
Dan disimpanlah hadits Rasulullah saw:
“As-sam’u wath thaa’atu ‘alal mar`il muslimi fiimaa ahabba au kariha maa lam yu`mar bimas’shiyatin fa`idzaa umira bima’shiyatin falaa sam’a wa laa thaa’ah.”
[Mendengarkan dan taat kepada perintah penguasa diwajibkan atas seorang muslim baik ia suka ataupun tidak selama ia tidak diperintahkan melakukan suatu maksiat. Dan jika diperintahkan berbuat suatu maksiyat, maka tidaklah wajib mendengarkan dan menaatinya.] (HR. Abu Dawud)
Tulisan ini tidak untuk mendorong orang agar memberontak kepada pimpinannya. Tapi sekedar untuk mengingatkan bahwa ketaatan kepada pemimpin adalah TIDAK MUTLAK, DAN BERSYARAT. Syaratnya, selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat kepada Allah.
Ada suatu kisah yang menggambarkan bagaimana seorang anak buah boleh, bahkan wajib menolak perintah atasannya yang menyuruhnya berbuat maksiat. Ali menceritakan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Rasulullah saw mengirim sebuah detasemen untuk penghadangan. Sebagai komandannya ditunjuk salah seorang dari sahabat Anshar. Di tengah perjalanan tejadilah hal-hal yang menimbulkan amarah sang komandan.
Maka dikumpulkanlah para anggota detasemennya dan ditanya, “Tidakkah Rasulullah saw telah memerintahkanmu taat kepadaku?”
“Benar”, jawab mereka.
“Jika demikian, maka kumpulkanlah kayu bakar untukku!” perintah sang komandan.
Kemudian dibakarlah kayu yang sudah terkumpul sehingga menjadi api yang cukup besar.
Komandan detasemen itu lalu berkata kepada anggota detasemennya, “Aku perintahkan kamu terjun ke dalam api ini!”
Seorang anggota remaja berkata kepada kawan-kawannya menanggapi perintah sang komandan, “Kalian telah lari kepada Rasulullah untuk menghindari api (neraka), maka janganlah tergesa-gesa melaksanakan perintah itu sebelum menemui Rasulllah saw. Jika beliau menyuruhmu terjun ke dalam api itu, okelah laksanakan.”
Setelah mereka tiba kembali menemui Rasulullah dan menceritakan apa yang elah terjadi, bersabdalah Rasulullah saw:
“Lau dakhaltumuuhaa maa kharajtum minhaa abadan innamaath thaa’atu fil ma’ruufi.”
[Seandainya kalian terjun ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar untuk selama-lamanya. Sesungguhnya taat yang diperintahkan itu hanya bila mengenai hal-hal yang ma’ruf .]
Kemudian turunlah ayat 59 Surat An-Nisaa` sehubungan dengan peristiwa tadi:
“Yaa ayyuhal ladziina aamanuu athii’uullaaha wa athii’uur rasuula wa ulil amri minkum fa in tanaaza’tum fii syai`in farudduuhu ilallaahi war rasuuli in kuntum tu’minuuna billaahi wal yaumil aakhiri dzaalika khairun wa ahsanu ta`wiilan.”
[Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.]
So
Jadi, Sorry Boss, kami tak taat kalau kau perintah kami bermaksiat kepada Allah![]