Oleh Umar Abdullah
Ketika menjabat sebagai kepala negara, Umar bin Khaththab ra selalu mencatat kekayaan seseorang yang akan diangkatnya sebagai kepala daerah, sebelum dan sesudah diangkat sebagai pejabat. Jika ia meragukan kekayaannya, Umar tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah. Terkadang dengan membagi dua kelebihan kekayaan tersebut, separoh untuk pejabat tersebut, separoh lagi masuk Kas Negara. Umar bin Khaththab mengangkat Muhammad bin Maslamah ra untuk tugas audit dan eksekusi ini. Mirip-mirip BPK.
Lihatlah bagaimana keketatan Umar bin Khaththab memeriksa kekayaan Abu Hurairah ra seorang sahabat nabi yang diangkatnya sebagai Gubernur Bahrain. Kekayaan yang sebenarnya halal, namun karena posisinya sebagai pejabat, Umar bin Khaththab melarang para pejabatnya melakukan kegiatan lain selain mereka mencurahkan segenap perhatian dan tenaganya untuk menunaikan tugas pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Ia pun tidak boleh menerima harta kecuali sekedar gajinya.
Ketika Umar mendengar Abu Hurairah menyimpan harta, Umar memanggilnya datang ke Madinah. Lihatlah dialog yang terasa ketus yang diceritakan oleh Abu Hurairah.
Kata Umar, ”Hai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?”
Jawabku, ”Aku bukan musuh Allah dan tidak pula musuh Kitab-Nya. Aku adalah musuh orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah!”
”Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu?
”Kuda kepunyaanku beranak pinak dan pemberian orang berdatangan.”
”Kembalikan harta itu ke Baitul Maal (Kas Negara)!”
Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Umar, kemudian ia mengangkat tangannya ke arah langit sambil berdo’a, ” Ya Allah, ampunilah Amirul Mu`minin.”
Tak selang berapa lama, Umar memanggil Abu Hurairah kembali dan menawarkan jabatan kepadanya di propinsi baru. Tapi ditolaknya dan dimintanya maaf karena tak dapat menerima.
Umar bertanya, ”Kenapa, apa sebabnya?”
Abu Hurairah menjawab, ”Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak terampas, punggungku tidak dipukul!”
Kemudian kata Abu Hurairah lagi, ”Dan aku takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa belas kasih!”
Demikianlah keketatan Umar terhadap salah seorang pejabatnya. Tak ada kompromi walau pejabat tersebut sahabatnya, yang juga seorang sahabat nabi yang mulia yang meriwayatkan ribuan hadits Rasulullah. Semoga Allah meridhai Umar bin Khaththab dan Abu Hurairah.
Nasib yang serupa dengan Abu Hurairah juga dialami oleh ’Amr bin al-’Ash (Gubernur Mesir), Nu`man bin ’Adiy (penguasa Mesan di Iraq), Nafi’ bin ’Amr al-Khuza’iy (Gubernur Makkah), Ya’laa bin Munabbih (penguasa Yaman), Sa’ad bin Abi Waqqash (gubernur Kufah), dan Khalid bin Walid (penguasa Syam). Mereka adalah pejabat-pejabat yang pernah terkena audit dan eksekusi di masa Amirul Mu`minin ’Umar bin Khaththab.
Cara ini terbukti efektif menciptakan clean government. Tak seperti pemerintah-pemerintah sekuler demokratis yang sebatas lipservice. Berani ngomong “perangi korupsi!” ketika belum terbongkar. Ketika mulai ada satu pejabat terbongkar, seluruhnya tiarap. He..he.. Demokrasi bisa apa? Bahkan tak jarang pejabat yang awalnya bersih, lama-lama abu-abu, dan akhirnya hitam legam. Sejarah membuktikan dalam urusan duit, demokrasi adalah biangnya kejahatan. Hanya negara Islam yang telah menciptakan sistem keuangan yang bersih dan membersihkan, dari pejabat rendah hingga khalifah semuanya bersih. Mau bukti? Baca saja kisah-kisah teladan berikutnya.[]