Peristiwa yang biasa (terjadi), pasien ditolak berobat di rumah sakit karena tak punya uang muka. Minggu ini Ibu tiga bayi kembar harus berpindah-pindah mengetuk pintu rumah sakit untuk membantu persalinannya. Walhasil rumah sakit kesekian bersedia namun hanya tiga hari dan selanjutnya tiga bayi sangat kecil ini dirawat di rumah. Ada berita salah satu dari si kembar telah menghadap Yang Maha Kuasa.
Minggu-minggu yang lalu sekelompok rakyat berteriak karena rumah mereka digusur paksa. Barisan keamanan dan polisi menghadapi ibu-ibu yang histeris seperti kehabisan akal mempertahankan rumah naungannya yang sederhana. Bapak-bapak bertopang dagu, kemana malam ini mereka merebahkan diri.
Berita kejahatan pun semakin meningkat. Di dalam bis kota, di kereta api, di jalan raya, di jalan tol, di mall, di pasar, di kompleks perumahan, bahkan di dunia maya seperti tidak ada ruang yang nyaman. Rakyat mencari-cari di mana barisan besar keamanan yang biasanya mengawal penggusuran-penggusuran. Masyarakat kehilangan barisan polisi yang biasa terdepan menghalangi demonstrasi. Teriakan-teriakan memanggil pemimpin hilang ditelan angin.
Ketika rakyat kecil sibuk mengais sisa-sisa gusuran, meratap di bawah timbunan longsoran, menatap sendu rumahnya yang hanyut kebanjiran, pasrah di tengah bencana alam, bencana ekonomi dan entah bencana apa lagi. Maka para petinggi berjibaku dengan wacana bail out century, kelanjutan koalisi partai, siapa bisa jadi menteri, siapa harus bertanggung jawab, debat soal kebebasan, debat soal UU pro demokrasi, debat soal kemajuan negeri, dan pamer data tentang kenaikan angka ekonomi.
Menteri urusan uang pun tanpa malu bicara kenaikan gaji pejabat dan tunjangan yang harus meningkat. Menteri urusan lain pun sudah siap pesan deretan mobil mewah, dan berbagai fasilitas lain yang tak perlu dibeberkan karena khawatir mahasiswa aksi semakin brutal.
Selanjutnya semua wacana, debat, analisis dan rekomendasi menguap senyap. Rakyat kini berucap, seperti tak ada pemimpin. Seperti tak ada negara. (el_Moesa)