Oleh: Lathifah Musa
Minggu ini, yang mengalami UN (Ujian Nasional), seperti menghadapi suasana perang. Cemas, takut, tegang, bingung dan berbagai perasaan lain berkecamuk. Kayaknya nggak ada yang bergembira ria di hari UN. Kecuali tentu para joki dan penjual bocoran soal yang merasa panen keuntungan karena laris dagangannya. Entah siapa mereka ini. Pastinya manusia yang berani menghalalkan segala cara untuk mereguk untung banyak.
Berbagai cara ditempuh menyambut UN yang memang dipercepat jadwalnya ini. Di sekolah, siswa sibuk mengerjakan soal-soal yang diperkirakan bakal keluar. Itupun belum cukup. Siswa masih perlu ikut bimbingan belajar (bimbel) di luar sekolah. Sekolah pun bekerjasama dengan bimbel menyelenggarakan try out. Buku-buku soal ujian-ujian tahun lalu laris. Sekolah mengadakan doa bersama. Adik-adik kelas mendoakan kakak kelas. Para orang tua mendoakan siswa-siswa. Bener-bener suasana menyambut perang.
Di hari H, sistem ujian diperketat. Soal-soal datang dengan amplop tersegel. Guru-guru tegang, murid-murid apalagi. Ponsel dikumpulkan dan ditaruh di meja terdepan dalam keadaan silent dan terawasi. Bahkan di sekolah-sekolah ternama dipasang CCTV di setiap tempat yang dicurigai bakal terjadi transaksi dan kecurangan ujian. Toilet menjadi tempat yang paling diawasi. Sudah jadi rahasia umum kalau dinding toilet biasanya penuh pesan dari murid-murid pintar tak bertanggungjawab kepada murid tak pintar, malas belajar tapi jago jalan pintas. Makanya di saat UN, guru pun rela mengantar murid-murid ke toilet. Kebelet beneran atau pura-pura, tak jadi soal. Ada pula guru yang khusus mengawasi toilet.
Hasilnya, kok ya bisa-bisanya bocor lagi-bocor lagi. Sepertinya ada mafia di jaringan pendidikan yang berada di tingkat atas sampai sekolah. Guru-guru baik pun kembali berurai mata. Jumlah Komunitas Air Mata Guru semakin bertambah.
Seperti sebuah skenario yang bisa ditebak adalah: selanjutnya akan terjadi polemik UN (dihapus atau tidak dihapus); pengumuman UN penuh gejolak; siswa-siswa gagal yang depresi (waspada kembali sekolah yang pernah terserang kesurupan massal) de el el. Inilah yang harus diantisipasi bersama.
Persoalan ini tidak terjawab dengan hanya membahas UN. Karena UN hanyalah sebuah cabang dalam mekanisme pohon pendidikan. Tentu perlu sosialisasi kita bersama bahwa UN (sekarang) bukanlah segalanya. UN (sekarang) bukanlah penentu masa depan. UN (sekarang) bukanlah pembuktian pintar tidaknya seseorang. UN (sekarang) bukanlah penentu kesuksesan.
Sistem pendidikan kita perlu ditata. Mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari filosofis sampai implementasi. Intinya kita ini mau menjadikan anak-anak menjadi orang pintar atau manusia depresi. Jangan sampai UN menghabiskan seluruh energi generasi tanpa menghasilkan satupun manusia yang punya masa depan cemerlang.[]