by: Ria Fariana
Svetlana bangkit, dan membuka pintu yang sebelumnya sempat ada uluk salam dari orang di baliknya. Mereka berbincang sebentar dengan memakai pintu sebagai tabir kemudian laki-laki itu pergi. Svetlana masuk dan menemui empat perempuan yang berkerudung dan berjilbab duduk mengelilingi meja.
“Kalian harus segera pulang sekarang. Halaqah kali ini ditiadakan.” Dengan sigap Svetlana mengemasi kitab-kitab kajian di meja. Bahkan ia tak sempat lagi untuk menutup forum kajian kali itu.
“Aparat Karimov mulai digerakkan untuk menggerebek kumpulan muslim atau pun muslimah yang mengkaji kitab kebangkitan,” Svetlana menjelaskan sambil tangannya terus bergerak merapikan meja.
Empat perempuan yang berkedurung dan berjilbab itu dengan sigap juga ikut merapikan kitab dan segera mengambil mantel masing-masing yang tersampir di kursi.
“Pulang berpencar. Dua-dua, Anisah dengan Fatimah. Aida dengan Zainab. Hati-hati, Allah melindungi kalian dan kita semua yang berusaha mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah kaum muslimin.” Mereka pun berpisah setelah saling bersalaman dan berpelukan untuk mengeratkan ukhuwah.
Sepeninggal mereka, Svetlana masuk ke dapur dan membuka sebuah bilik kecil yang sekilas tak ada bedanya dengan tembok di sekelilingnya. Kitab-kitab untuk membangkitkan umat disimpannya dengan rapi di sana, setelah sebelumnya dibungkus dengan kertas-kertas lusuh bekas. Setelah ditutupnya dengan pelan, Svetlana masuk kamar dan mulai menyalakan komputer. Dial up internet dinyalakannya, beberapa e-mail ada yang masuk. Sambil menunggu download sampai selesai, Svetlana membaca beberapa e-mail yang sudah masuk ke inbox-nya.
Dua email dari temannya di London dan satu e-mail dari temannya di Indonesia. Menarik ketika email dari cyber friend-nya itu ada sepotong puisi dalam bahasa Indonesia. Svetlana sedikit bisa berbahasa melayu untuk jaga-jaga bila rezim di negerinya semakin represif dan ia tak aman lagi berbicara dalam bahasa Uzbek atau pun Inggris.
Di-print-nya puisi itu. Lalu dibacanya sekali lagi. Svetlana membayangkan akan membacakannya di depan umat bila kondisi memungkinkan nanti, tentunya setelah diterjemahkannya dalam O’zbek tili* agar bisa dipahami masyarakatnya. Puisi ini jauh lebih indah dan membangkitkan semangat revolusi damai daripada mayoritas Chaghatai* yang ada di Uzbekistan.
ooOoo
Ini adalah minggu ketiga Svetlana meliburkan halaqah. Kondisi tidak memungkinkan bagi mereka untuk membawa kitab kebangkitan itu. Tapi syukurlah masih ada kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman yang lain demi menjaga komunikasi dan koordinasi. Dan tepat pada tanggal 13 Mei nanti, setelah sholat Jum’at akan diadakan masirah atau unjuk rasa besar menentang kezaliman rezim Karimov terhadap rakyat negeri ini.
Svetlana cukup sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai menghubungi para muslimah di rumah mereka satu demi satu karena ketatnya pengawasan terhadap adanya kerumunan, hingga membantu menyebarkan bendera al-Liwa dan ar-Roya. Bendera dengan dasar hitam dan putih bertuliskan kalimat syahadat inilah nanti yang akan mereka bawa, bukan biru putih hijau dengan bulan sabit dan 12 bintang. Bendera Uzbekistan yang menandakan nasionalisme.
“Svetlana, ada telpon dari kakakmu, Usmanov,” Aisyah, teman Svetlana yang kebetulan ada di rumahnya membantu menyiapkan perlengkapan masirah.
Diambilnya gagang telepon itu setelah sebelumnya mengucap terima kasih.
Hanya sesaat Svetlana berbicara dengan kakaknya yang juga merupakan koordinator lapangan bagi pelaksanaan masirah.
“Masiroh dipindah ke Andijan, tidak jadi di Tashkent,” Svetlana memberitahu Aisyah.
“Kenapa?”
“Entahlah, itu keputusan para ikhwan. Mungkin untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan apabila pelaksanaan ada di kota Taskent. Karimov akan mempunyai banyak alasan untuk membungkam kita dengan alasan demi keamanan ibu kota.”
“Baiklah, aku pamit dulu. Perubahan ini harus segera kuberitahukan kepada yang lainnya.”
Mereka berpelukan sebelum berpisah.
“Hati-hati, ya ukhti. Jaga kerahasiaan, intel Karimov ada di mana-mana,” Svetlana mengingatkan Aisyah. Aisyah mengangguk terharu.
“Allah pasti akan memenangkan dakwah ini. Allahu Akbar. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam wr.wb.”
ooOoo
Andijan, pagi hari 13 Mei 2005. Langit mendung memayungi sebagian wilayah Uzbekistan. Orang-orang beraktivitas seperti biasa. Yang pegawai kantor tetap berangkat kerja ke kantor, yang guru tetap mengajar, yang dokter tetap mengobati pasien, yang pedagang pun juga tetap berjualan.
Suasana mulai berubah menginjak siang. Ketika mayoritas dari laki-laki yang ada di Uzbek menghadiri sholat Jum’at yang didahului dengan khutbah. Seluruh masjid di Andijan dan kota-kota sekelilingnya berisi tema yang sama. Bahwa kekufuran dan kezaliman tak bisa dibiarkan merajalela. Betapa azab Allah akan menghampiri mereka yang tak mau menerapkan hukum Allah dalam segenap aspek kehidupannya. Sudah waktunya rakyat bangkit. Perubahan tak akan terjadi tanpa mereka punya semangat dan kemauan untuk berjuang ke arah yang lebih baik.
Tak ada wajah kuyu dan mengantuk dalam mendengarkan khutbah Jum’at. Mereka semua teraliri semangat para Khatib yang berkhutbah bahwa Islam saja sebagai solusi. Dalam sujud mereka kali itu, Jum’at di siang mendung itu, mereka merasakan kekuatan mahadahsyat untuk bergerak. Wangi minyak kesturi, yang biasa hadir menyambut jasad para syuhada, dengan pelan dan lembut menyelinap dalam shaf-shaf sholat itu.
Usai munajat panjang para jamaah sholat, diumumkan akan ada masirah besar di Andijan. Diharapkan segenap masyarakat hadir dan mendukung tuntutan agar Karimov mundur dan mengakhiri rezim zalimnya. Tak diduga, sekitar 3000 lebih muslim berkumpul. Terlihat juga barisan muslimah yang ikut hadir dan mendukung masirah menuntut diakhirinya rezim tiran dan menawarkan syari’ah sebagai solusi.
“Ya ukhti, jaga barisan. Tetap di posisi masing-masing, intel Karimov mudah sekali menyusup bila kita tak hati-hati,” Svetlana sibuk mengatur barisan dan menjaganya agar tak ada pihak perusuh yang menyelinap. Tangannya sibuk menyebarkan ikat kepala putih dengan tulisan syahadat bertinta hitam. Lautan manusia terus berdatangan memberi dukungan pada aktivitas siang itu. Jarak yang mereka tempuh pendek karena memang yang lebih difokuskan adalah orasi membuka kedok bobrok Karimov. Masyarakat sudah memberi dukungan penuh untuk meminta Islam saja sebagai solusi.
Orasi dilakukan bergantian oleh para ikhwan. Hingga pembicara ketiga, Usmanov, kakak laki-laki Svetlana, seorang revolusioner Islam yang rindu syahid, maju. Setelah mengucap salam, tahmid dan sholawat, ia pun mulai berbicara.
“Revolusi adalah sebuah kepastian, saudaraku. Revolusi damai tanpa kekerasan. Umat sendiri yang menuntut rezim tiran Karimov untuk mundur. Tanpa Islam, Karimov dan antek-anteknya tak akan pernah mampu membawa umat ini pada kebangkitan. Hanya Islam saja yang mempunyai solusi atas semua masalah-masalah yang dihadapi negeri ini. Jangan bersedih saudaraku, kita mempunyai banyak saudara lain di belahan bumi sana, di jengkal mana pun ada tanah untuk berpijak di sanalah dakwah Islam digemakan. Saya tak akan berorasi kali ini, tapi akan membacakan sebuah puisi indah dari saudara kita di Indonesia, yang juga sedang mengupayakan kebangkitan hakiki.” Usmanov mengambil kertas dari sakunya dan mulai membacakan puisi yang sudah diterjemahkan adiknya dalam O’zbek tili.
Tolong jangan salahkan aku tentang matahari
Bagaimana aku tahu engkau akan terbakar?
Dan tolong jangan salahkan aku tentang bulan
Bagaimana aku tahu bahwa kamu akan membusuk?
Aku tidak akan pernah membuat kesalahan yang sama
Lain waktu, aku bangun sebuah adidaya
Aku yakin kita dapat berbincang panjang lebar
Tolong jangan salahkan aku tentang dunia
Bagaimana aku tahu semua ini akan memburuk?
Dan tentu aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama
Lain waktu aku bangun sebuah adidaya
Aku yakinkan kau berpartisipasi di dalamnya
……
Usai membaca puisi itu, Usmanov melanjutkannya dengan pekikan pengobar semangat.
Ya saudaraku, kita akan bangun sebuah adidaya dengan Islam, Allahu akbar!
Dan pastikan kita berpartisipasi di dalamnya, Allahu Akbar!
Sungguh, tak ada kemuliaan tanpa Islam, Allahu akbar!
Sungguh, tak ada Islam tanpa syariah, Allahu akbar!
Sungguh, tak ada syariah tanpa Khilafah, Allahu akbar!
Salam kehancuran bagi kedigdayaan semu Kapitalisme, Allahu Akbar!
Pekik takbir Usmanov turut digemakan seluruh peserta masirah dengan semangat. Tiba-tiba dari seluruh penjuru mata angin tetetetetetetetetetetet….suara tembakan beruntun menerjang peserta unjuk rasa siang hari itu. Dalam sekejap mata, darah di mana-mana. Tubuh-tubuh berjatuhan, tergeletak tak berdaya tanpa perlawanan sedikit pun. Barisan muslimah di belakang segera semburat berlarian menyelamatkan diri. Beberapa jatuh dan syahid di tempat, memperjuangkan Islam sebagai ideologi.
“Ayesha, lari ke sebelah sini, sist,”teriak Svetlana pada Ayesha yang sedang menggendong bayinya berumur 9 bulan.
“Aishah, Fatimah, Zahrah, Habibah, lari ke masjid!” Svetlana terus berusaha menyelamatkan para muslimah yang bingung arah dalam berlari. Suara tembakan semakin sering dan dekat.
Dalam langkah larinya, Svetlana teringat abangnya. Usmanov masih di podium kecil meneriakkan takbir ketika tembakan terdengar. Tanpa terasa ada air mata menggenangi pipinya. Camcorder mungil yang selalu ada di tasnya, dirabanya dan ia pun merubah arah larinya.
“Svetlana, berlindung sist. Jangan ke arah podium, di situ pusat tembakan terjadi,” brother Hasyim berteriak mengingatkanya. Svetlana hanya melambaikan tangannya dan bergegas menuju arah yang dilarang itu.
Svetlana, gadis lincah bernyali baja, berjalan dengan mengendap-endap. Ditahannya nafas dan juga sesak yang membuncah di dadanya. Bukan sesak karena tak ada udara, tapi sesak karena kemarahan yang menggelora. Tubuh-tubuh para mujahid dakwah itu bergelimpangan di tanah. Brother Alimov, Husain, Kaparov, dan banyak brother lain yang ia tahu sebagai teman-teman abangnya dalam berdakwah, syahid.
Tak pernah Svetlana melihat mayat sebanyak ini. Masirah di Andijan menjadi ladang pembantaian para pengemban dakwah yang berusaha mengembalikan kekhilafahan di muka bumi. Karimov laknatullah! Svetlana begitu geram hingga hampir-hampir ia tak mendengar suara lars sepatu militer berjalan ke arahnya. Allah bersamanya. Ia segera melompat dan bersembunyi di dalam bak sampah besar yang ada di dekatnya. Rasa ingin tahu mengalahkan rasa takutnya. Dengan hati-hati, berusaha diintipnya lewat celah kecil di bak sampah. “What the hell they’re doing?” batin Svetlana geram. Tentara-tentara Uzbek itu meletakkan senapan di tangan para brothers.
Dengan sigap, dipasangnya camcorder untuk menangkap momen itu. Tak henti bibir dan batin Svetlana terus mengumandangkan asma Allah, ayat kursi dan doa mohon perlindungan dari dajjal-dajjal berbentuk manusia ini.
Beberapa kali diambilnya adegan para tentara yang berusaha memfitnah para brothers itu dengan kamera videonya. Di-zoom-nya sehingga tampak begitu jelas. Ya Allah, bantu aku menyampaikan kebenaran ini pada dunia. Svetlana terus berdoa. Dan Allah menjawab doanya.
EPILOG
Usmanov syahid bersama mayoritas muslim lainnya yang ada di lapangan Andijan. Kelompok Islam tertentu menjadi kambing hitam Karimov atas kebrutalannya. Ia menyebutnya sebagai kerusuhan yang disebabkan oleh para teroris. Dengan pongah, Karimov menunjukkan foto brothers yang syahid memegang senjata rekayasa yang diletakkan oleh tentara-tentara suruhannya dan menuduh mereka adalah para teroris.
Svetlana selamat. Dunia boleh tertipu oleh ulah Karimov. Tapi rekaman video kecil ini dan sejumlah foto yang diabadikannya akan menjadi saksi tak terbantah bahwa pernyataan Karimov palsu. Dengan mata nanar, Svetlana menatap foto Presiden negerinya itu dengan penuh kemarahan. Kemenangan Islam tak lama lagi, Karimov, batin Svetlana geram. Tunggu saat pembalasan dari semua kekejian yang telah kamu lakukan terhadap kaum muslimin.
Pada saat yang bersamaan, video dan rekaman amatiran dari camcorder Svetlana terus digandakan. Terus dan terus. Tanpa ada hak cipta kecuali kebenaran itu sendirilah yang bakal tercipta.
Sementara itu, bumi Andijan masih basah oleh darah. Belahan bumi yang lain masih terus menggelorakan semangat perubahan dan kebangkitan hakiki. Tiran terus menghantam, pengemban dakwah terus maju berjuang. Hingga saatnya nanti, Hidup mulia dengan syariah dan Khilafah atau berkalang tanah sebagai syuhada. ALLAHU AKBAR!
—-
Teiring cinta berbalut duka untuk Andijan, Uzbekistan.
Thanks to pytm untuk puisinya, dikutip dari Trilogy Tumbila di Kebon Hutang edisi ‘Kutinggalkan cintrong demi Revolusi’. Terus Bergerak!
*Chaghatai : bahasa Uzbek kuno, biasanya digunakan dalam puisi dan prosa.
*O’zbek tili : bahasa Turki yang dipakai oleh orang-orang di Uzbekistan