Ust. Umar Abdullah: “Markus Sudah Ada Sejak Dulu”
Awal Maret 2010 kita disuguhi pernyataan Susno Duadji, mantan Kabareskrim, tentang adanya Makelar Kasus di Mabes Polri yang dilakukan oleh para jenderal. Kepercayaan rakyat terhadap Kejaksaan dan Polri yang selama ini sudah melemah mulai mendekati titik nadirnya. Dan siap-siap saja KPK kehilangan kepercayaan rakyat jika kasus Century dipetieskan.
Yang jelas istilah Makelar Kasus alias Markus minggu ini mengemuka. Nah bagaimana Islam memandangnya? Wartawan MediaIslamNet, Den Baguse berhasil mewawancari Ust Umar Abdullah, penulis buku Kapitalisme “The Satanic Ideology”. Berikut petikannya.
Sebenarnya Makelar Kasus itu apa sih?
Makelar Kasus itu adalah perantara antara terdakwa dengan alat negara penegak hukum yang bertugas untuk meringankan dakwaan kalau perlu bahkan menghilangkan kasus yang seharusnya disidangkan.
Berarti ini bukan makelar lagi dong?
Betul. Seharusnya jangan menggunakan kata makelar. Karena aslinya makelar itu pekerjaan yang halal. Ia mencarikan pembeli atau mencarikan penjual untuk benda atau jasa yang dihalalkan. Walaupun memang ada pekerjaan-pekerjaan yang haram yang memakai jasa makelar. Misalnya makelar pelacur, orang yang mencarikan pelacur untuk seorang bos. Mungkin daripada menggunakan kata makelar lebih tepat kalau memakai kata Mafia Kasus. Karena kata mafia konotasinya negatif. Tapi ya sudahlah yang penting kita tahu apa yang dimaksud dengan Makelar Kasus atau Markus ini.
Kenapa istilah makelar kasus ini baru muncul? Apakah dulu tidak ada?
Sebenarnya makelar kasus ini sudah ada sejak dulu. Kalau dulu dikenal dengan nama Mafia Peradilan. Nah sekarang diperluas sasarannya. Mulai dari tingkat Pelaporan Kasus ke Polisi, Penyelidikan, Penyidikan di tingkat polisi, lalu di tingkat kejaksaan, kemudian di tingkat pengadilan, hingga di tingkat penjara pun, ditemukan makelar kasus ini. Ingat kasus fasilitas mewah di penjara Artalita Suryani.
Menurut Islam sendiri bagaimana tentang Makelar Kasus ini. Kan dia juga menolong orang yang sedang berperkara?
Menolong orang yang sedang berperkara, namun orang ini tidak terlalu mengerti seluk beluk kalau berperkara, mulai dari tingkat polisi, kejaksaan, pengadilan, hingga penjara, dengan tujuan untuk mendudukkan perkara pada tempatnya, maka hal ini hukumnya wajib. Negara harus menyediakan bantuan hukum semacam ini agar tidak ada kezaliman terhadap orang yang berperkara.
Namun jika menolong orang yang berperkara agar perkaranya itu tidak pada tempatnya, maka hukumnya haram. Misalnya, seseorang seharusnya dituntut 10 tahun penjara. Lalu ada Makelar Kasus yang menghubungi terdakwa agar menyuap jaksa supaya tuntutannya diturunkan jadi 2 tahun penjara dengan imbalan jaksa ini diberi suap misal uang Rp 20 milyar. Makelar Kasus ini sendiri, misal minta 10 % dari nilai suap, jadi dapat 2 milyar. Maka bentuk pertolongan semacam ini tentu diharamkan. Karena pertolongannya dalam hal yang juga diharamkan yaitu suap menyuap. Apalagi Rasulullah saw dalam satu haditsnya menyebut secara langsung aktivitas perantara penyuapan ini dan melaknatnya.
Tsuban mengatakan bahwa: La`ana rasuulullaaHIr raasyii wal murtasyii war raa`isya
”Rasulullah melaknati penyuap, penerima suap dan orang yang menjadi perantara penyuapan.” (HR. Ahmad, Thabraniy, al-Bazzar, dan al-Hakim)
Jadi, tegasnya aktivitas Makelar Kasus itu hukum haram ya?
Ya, haram. Uangnya diterimanya juga haram. Negara harus menyitanya. Apalagi jika yang menyuap dan makelar kasusnya adalah alat-alat negara. Aktivitas semacam ini akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap alat-alat negara.
Rasulullah saw bersabda: La`anallaaHur raasyii wal murtasyii fil hukmi (”Laknat Allah terhdap penyuap dan penerima suap di dalam kekuasaan.”) (Abu Dawud)
Lalu bagaimana cara Islam memberantas Makelar Kasus ini?
Setidaknya ada 6 langkah untuk memberantas suap-menyuap yang menjadi pangkal adanya makelar kasus.
Pertama, mengingatkan para pejabat akan pengawasan Allah (muraqabah). Bahwa tidak ada sedikitpun kesempatan baginya untuk menerima suap karena selalu diawasi oleh Allah.
Kedua, sering-sering mengingatkan para pejabat akan balasan Allah di akhirat. Jika di dunia lolos dari pengadilan manusia, maka tidak akan ada yang lolos dari pengadilan Allah. Slogan ini ditempel di kantor polisi, kejaksaan, pengadilan, dan penjara.
Ketiga, memberi gaji tinggi dan fasilitas yang mencukupi untuk kenyamanan bekerja (rumah, istri, pelayan, dan kendaraan) kepada alat-alat negara. Dan melarang dan mengacam jika si pejabat masih menerima uang atau lainnya di luar gaji dan fasilitas ini.
Rasulullah saw bersabda: ”Barangsiapa yang diserahi tugas pekerjaan dalam keadaan ia tidak mempunyai rumah, hendaknya ia berusaha mencari rumah, jika ia tidak mempunyai istri hendaknya ia nikah, jika ia tidak mempunyai pelayan, hendaknya ia mengambil seorang pelayan, jika ia tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya ia diberi hewan tunggangan. Dan barangsiapa yang mengambil selain dari itu (untuk dirinya sendiri), maka ia curang.
Menghitung kekayaan Pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kelebihan yang tidak wajar, maka disita oleh Negara.
Kelima, membuka selebar-lebarnya pengaduan masyarakat atas dugaan suap pejabat dan menindaklanjutinya. Pengadunya harus dilindungi. Jangan seperti sekarang pelapor malah jadi tersangka.
Keenam, memberi hukuman yang berat kepada alat-alat negara yang terbukti menerima suap. Hukuman bisa 10, 20, 25 tahun atau bahkan hukuman mati tergantung seberapa besar bahaya yang ditimbulkan dari suap menyuap yang dilakukan terhadap umat dan negara.
Apakah solusi tadi bisa dilaksanakan oleh negara republik Indonesia?
Saya tidak yakin. Karena penguasa negeri ini tidak percaya kepada Allah dan tidak mau menerapkan perintah dan larangan Allah. Mereka lebih suka berkiblat kepada guru-guru demokrasi liberal mereka. Padahal demokrasi apalagi liberalisme hanya akan mengantarkan kepada jurang kehancuran bangsa ini.[]