Kisah Ashhabul Kahfi [01]

Oleh Umar Abdullah

Kisah ini adalah kisah yang diabadikan Allah dalam al-Qur`an surat al-Kahfi ayat 9-26. Para ahli tafsir al-Qur`an menyatakan bahwa para pemuda penghuni gua yang dikenal dengan nama ashhaabul kahfi ini adalah para pemuda bangsawan dari lingkungan kerajaan Romawi.

Ada yang menyatakan bahwa mereka hidup di masa setelah Isa as dan bahwa mereka memeluk Nasrani. Namun karena rahib-rahib Yahudi mengetahui kisah ini, maka dugaan kuat fenomena Ashhabul Kahfi terjadi pada masa sebelum Isa as diutus.

Para pemuda ini melihat kaumnya menyembah berhala dan patung-patung sebagai tuhan-tuhan mereka dan menyediakan binatang-binatang sembelihan bagi tuhan-tuhan itu di hari-hari besar mereka sebagai korban. Mereka merasa tidak patut patung-patung dan arca-arca itu dianggap sebagai tuhan, disujudi, disembah dan disembelihkan binatang-binatang korban atas namanya. Mereka yang sudah terbuka mata hatinya, yang beriman kepada Allah dan ditambah hidayah (petunjuk) oleh Allah, mengingkari perbuatan kaumnya yang batil itu. Namun mereka simpan pengingkaran itu di dalam hati, khawatir kalau dinyatakan secara terus terang, mereka akan diganggu, dimusuhi dan dianiaya.

Para pemuda yang nantinya menjadi Ashhabul Kahfi alias Penghuni Gua ini pada mulanya tidak saling mengenal. Tiap orang di antara mereka secara diam-diam menjauhkan diri dari kaumnya di saat kaumnya melakukan upacara sembahyang atau upacara keagamaan lainnya. Pemuda itu satu persatu pergi bersembunyi di bawah sebatang pohon yang rindang di luar kota. Di sanalah mereka berkumpul tanpa lebih dahulu bersepakat atau berjanji, bahkan satu dengan lainnya belum mengenal.

Rasulullah saw bersabda,

“Ruh yang jumlahnya banyak dikumpulkan bersama, dan mereka yang mengenal satu sama lain (di surga asal mereka) akan memiliki daya tarik menarik satu sama lain (di dunia). Sementara mereka yang saling menolak (di surga) juga akan berbeda (di dunia).”

Ya, di bawah pohon itulah mereka saling membuka isi hatinya dan berkenalan. Kemudian atas dasar kesatuan akidah dan persamaan nasib, bersatulah mereka dalam satu wadah “persaudaraan” dan didirikanlah tempat ibadah bagi mereka sendiri sebagai kelompok yang beriman kepada Allah yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi dan tiada Tuhan selain Allah..

Tidak lama kemudian diketahuilah oleh orang-orang tempat ibadah mereka dan sampailah berita berita mereka itu ke telinga raja yang berkuasa yang bernama Diqyanus (Decius).

Dipanggillah mereka menghadap dan ditanya tentang pendirian dan kepercayaan mereka. Tanpa tedeng aling-aling dan dengan hati yang diteguhkan oleh Allah dengan berdiri tegak mereka berkata kepada sang raja, “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi. Kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia. Sesungguhnya kalau kami berbuat selain demikian, niscaya kami telah berbuat dan mengucapkan sesuatu yang amat jauh dari kebenaran. Itulah kaum kami telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan untuk disembah. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan dan dasar bagi kepercayan mereka. Mereka itu pendusta dan tidak ada yang lebih zalim daripada orang–orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.”

Dalam pertemuan itu sang raja marah, mengncam dan memerintahkan mereka melepaskan pakaian serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpikir agar kembali kepada kepercayaan raja dan kaumnya.

Kesempatan dan waktu untuk berpikir itu tidak disia-siakan dan terjadilah prcakapan di antara mereka yang diilhamkan oleh Allah:

“Jika kamu telah meninggalkan kepercayaan kaummu dan meninggalkan cara-cara ibadah mereka dengan hati dan jiwamu, maka tinggalkanlah dan jauhilah mereka dengan badan dan tubuhmu serta carilah tempat berlindung ke dalam gua itu. Niscaya Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, melindungimu dari gangguan raja dan kaumnya, serta akan menyediakan sesuatu yang berguna dan berakibat baik bagimu dalam urusan kamu ini.”

Maka keluarlah mereka meninggalkan kaumnya, pergi berlindung diri dalam gua sebuah bukit. Ada yang mengatakan bahwa gua itu bernama Haizam, dan bukitnya bernama Raqim. Ada yang mengatakan bahwa gua tersebut ada di Ayla. Ada yang bilang di Ninive. Ada juga yang berpendapat di Suriah. Ada pula yang mengatakan telah menemukan gua tersebut ada di Yordania. Wallahu a’lam (hanya Allah yang lebih tahu).

Di dalam gua itu tertidurlah mereka  atas kehendak Alah selama tiga ratus sembilan tahun, tidak diketahui oleh kaumnya maupun oleh orang lain dan tidak pula mreka mengetahui dan mendengar apa yang terjadi di luar gua mereka.

Apa yang dilakukan oleh pemuda-pemuda ashhabul kahfi ini sesuai dengan tuntunan syariat Muhammad saw bahwasannya seorang yang khawatir agamanya, kepercayaannya serta aqidahnya akan terpengaruh oleh fitnah yang sedang berkecamuk, ia diperbolehkan menjauhkan dirinya dari tempat dan kaum yang sedang dilanda fitnah ke tempat yang aman untuk melakukan upacara-upacara agamanya dengan tenang tanpa gangguan dan rintangan apa pun.

Rasulullah saw bersabda:

Hampir-hampir seseorang di antara kamu pergi meninggalkan kaumnya membawa ternaknya menuju puncak-puncak gunung atau tempat-tempat di mana hujan turun, hanya sekedar melarikan agamanya dari fitnah.”

(bersambung ke Bagian 02)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *