Program: VOICE OF ISLAM | Narasumber: Ir. Ratu Erma Rahmayanti (Pembina Forum Mar’ah Shalihah Pusat Pengembangan Islam Bogor) | Tema: KELUARGA SAKINAH PENEGAK SYARIAH DAN KHILAFAH
Pengantar:
Disadari atau tidak, keluarga muslim Indonesia tengah dilanda arus liberalisasi. Faham liberal telah membuat keluarga menjadi terpilah. Antara orang tua dan anak, antara istri dan suami terjadi perselisihan faham yang berakibat pada percekcokan tajam. Bahkan yang lebih miris adalah terjadinya persaingan antara suami istri untuk merasa banyak berperan dalam kebijakan maupun keputusan berjalannya rumah tangga.
Sejak mencuatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang marak diberitakan di tahun 2006 lalu, kasus-kasus seputar rumah tangga baik selebritis atau tokoh lainnya menjadi opini public. Tak sedikit rumah tangga artis yang akhirnya berujung dengan perceraian karena isu ini. Antara istri dan suami layaknya sebagai musuh, satu sama lain menyerang dan meradang. Apa yang menjadi soal? Tak lain bahwa keinginan perempuan terbebas dari belenggu rumah tangga, tidak ingin dieksploitasi, bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Disisi lain, liberalisme telah membuat orangtua dan anak juga berselisih. Sebut saja perselisihan orangtua dengan anak soal pakaian layak yang akan dikenakan anaknya untuk keluar rumah. Pihak orangtua menginginkan si anak berbusana sopan, atau yang menutupi aurat. Sementara sang anak meyakini bahwa busana seperti itu ”kuno” tidak ikut trend masa kini. Dan masalah-masalah serupa yang berujung pada ketidak harmonisan keluarga.
Bagaimana seharusnya sebuah keluarga menjalani kehidupan saat kondisi sekarang yang sarat dengan berbagai persoalan di segala bidang?
Assalaamu’alaikum wr.wb. Apa kabar ustadzah? Moga baik. Begini ustadzah, seperti pada pembukaan tadi, gambaran keluarga muslim sekarang sedang menghadapi banyak persoalan. Mulai dari diterpa krisis ekonomi, krisis sosial, keamanan yang tidak terjamin, pendidikan yang mahal, budaya yang sudah tidak karu-karuan lagi, dsb. Sementara, siapapun manusia tentunya tidak ingin merasakan kehidupan seperti ini. Bagaimana kita mensikapinya?
Baik permirsa di rumah, sebagai seorang muslim kita harus faham bahwa Islam telah mewajibkan setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan, untuk menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Menjadikan akidah Islam sebagai asas rumah tangga berarti mendudukkan akidah sebagai penentu tujuan hidup dalam berumah tangga. Akidah Islam menetapkan bahwa tujuan hidup setiap manusia adalah menggapai ridha Allah SWT melalui ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada-Nya (Qs. adz-Dzariyat [51]: 56).
Berdasarkan hal ini, maka orang yang berpegang teguh pada akidah Islam akan senantiasa terikat dengan aturan-aturan Islam, termasuk dalam membangun kehidupan rumah tangga; membina dan menjalaninya. Begitupula tatkala menghadapi persoalan kehidupan, keluarga muslim tidak mudah goyah dan terbawa pada arus perubahan masyarakat yang keliru. Setiap persoalan akan dilaluinya dengan cara yang sudah distandarisasi dengan aqidah Islam. Setiap perintah Allah akan dilaksanakan sekalipun berat, penuh rintangan dan halangan, serta tidak terbayang keuntungan materinya. Sebaliknya, semua yang dilarang-Nya akan senantiasa dihindari walaupun menarik hati, menyenangkan, dan menjanjikan kesenangan materi.
Mensikapi kehidupan sepertii ini, keluarga muslim akan terpanggil untuk melakukan perubahan. Bukan terpengaruh dengan perubahan tadi. Mengapa? Karena mereka memahami salah satu perintah Allah SWT kepada suami dan istri adalah dakwah. Perhatikanlah firman Allah SWT berikut:
“Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar.” (Qs. at-Taubah [9]: 71).
Dalam ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa berdakwah merupakan aktivitas yang menyatu dengan keimanan seseorang, baik laki-laki maupun wanita. Allah SWT juga berfirman:
“umat yang menyerukan kebajikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.“ (Qs. Ali-Imran [3]: 104).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa dakwah bukanlah tanggung jawab seseorang saja, tetapi harus dilakukan secara berjamaah; harus ada sekelompok orang beranggotakan laki-laki maupun perempuan yang mampu menegakkan tujuan dakwah.
Jadi jelas, bahwa dakwah memang wajib dilakukan oleh setiap muslim laki-laki maupun wanita, suami maupun istri. Sekarang, setidaknya separuh jumlah penduduk dunia adalah wanita. Padahal pihak yang layak dan tepat berdakwah di kalangan wanita adalah kaum wanita; ibu dan calon ibu. Apalagi kondisi wanita sekarang telah dijadikan sasaran yang empuk untuk meruntuhkan suatu bangsa.
Dengan demikian, suami dan istri sama-sama meyakini bahwa dakwah merupakan kewajiban mereka. Suami tidak akan menghalang-halangi istrinya berdakwah. Sebab, menghalangi istri berdakwah berarti menghalanginya menunaikan kewajiban. Hal ini sama saja dengan menjerumuskannya ke dalam dosa. Sebaliknya, istri juga akan meridhai suaminya berdakwah. Suatu kali suaminya kendur dalam dakwah, bersegeralah ia menyemangatinya. Istri bangga memiliki suami sebagai pengemban dakwah, suami pun bangga memiliki istri pengemban dakwah. “Keluarga kami adalah keluarga pengemban dakwah,” begitu jiwanya berkata. Inilah kebahagiaan ideologis.
Lalu bagaimana sikap keluarga muslim saat menghadapi problem di keluarga?
Hidup berumah tangga bukanlah jalan tol yang tanpa hambatan. Ujian, cobaan, dan hambatan akan datang silih berganti. Hal ini penting selalu disadari oleh setiap pasangan suami-istri.
Sepasang suami-istri akan ingat bahwa ketika mereka menikah berarti dia telah menjawab satu pertanyaan penting dalam hidupnya, “Dengan siapa Anda akan berjuang bersama mengarungi kehidupan demi mencapai ridha Allah dan masuk surga bersama-sama?” Dengan mengingat hal ini maka suami dan istri adalah sahabat satu sama lain. Secara îmâni, suami-istri bukan sekadar bertujuan mencapai kebahagiaan seksual atau status sosial tinggi, melainkan masuk surga bersama-sama. (Lihat: Qs. az-Zukhruf [43]: 70-71).
Rumah tangga yang dibentuknya bukan sembarang rumah tangga, melainkan rumah tangga yang akan diboyong ke surga. Inilah perkara yang senantiasa diingatnya ketika menghadapi persoalan. Karenanya, ketika terjadi guncangan rumah tangga, mereka saling berpegangan, bukan justru saling berlepas tangan. Solusi dan prinsip dalam menyelesaikan persoalan pun senantiasa disandarkan pada akidah dan syariat Islam.
Di antara persoalan yang muncul dalam rumah tangga adalah:
- Ketimpangan pemahaman Islam antara suami-istri. Adanya jurang pemahaman sepasang suami-istri dapat menghadapi keguncangan dalam rumah tangga. Dakwah pun akan terganggu. Persoalan ini perlu diselesaikan dengan cara menyamakan persepsi. Caranya adalah berdialog; bukan dialog antara penguasa dengan rakyat, tetapi dialog antara dua sahabat yang dilandasi cinta dan kasih sayang. Jika dialog terasa sulit, maka suami akan meminta dan mendorong istrinya mengikuti proses pembinaan. Hal yang sama dilakukan juga oleh istri kepada suaminya. Rasulullah saw. sering berdialog dengan istri-istrinya.
- Beban hidup keluarga. Kezaliman penguasa seperti menaikkan harga BBM telah memukul masyarakat, tak terkecuali keluarga pengemban dakwah. Saat menghadapi persoalan ini keluarga Muslim akan menghadapinya dengan penuh kesabaran. Mereka yakin, Allah sajalah Maha Pemberi rezeki; Dialah yang meluaskan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki; Dia pula yang menyempitkan rezeki atas siapa saja yang Dia kehendaki. Keluarga Muslim memandang kaya atau miskin hanyalah cobaan dari Allah, Zat Yang Mahagagah. Hal ini justru mendorong mereka untuk semakin taat kepada Allah SWT (Lihat: Qs. al-A’râf [7]: 168). Suami akan terus berusaha mencari nafkah. Istri pun tidak banyak menuntut.
Janganlah mengira Rasulullah hidup penuh kelonggaran. Sudah dimaklumi, Rasulullah saw. hidup dalam kefakiran. Nabi kekasih Allah tersebut dan keluarganya sering tidak kenyang makan selama tiga hari berturut-turut. Hal ini beliau alami hingga pulang ke rahmatullah (HR al-Bukhari dan Muslim). Namun, beliau dan istri-istrinya tetap teguh dalam dakwah Islam.
- Masalah prioritas amal suami-istri. Kadangkala suami memprioritaskan agar istrinya mengasuh anak yang sakit, misalnya; sementara istrinya lebih mengutamakan aktivitas di luar rumah. Perselisihan pun terjadi. Sebenarnya, penentuan prioritas (al-awlawiyât) harus mengacu pada hukum syariah. Oleh sebab itu, suami dan istri penting memahami kedudukan masing-masing berdasarkan syariah. Suami wajib memperlakukan istri dengan baik (ma’rûf), memberi nafkah, mendidik istri, menjaga kehormatan istri dan keluarga. Istri berkewajiban taat kepada suami, menjaga amanat sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt, menjaga kehormatan dan harta suami, meminta izin bepergian kepada suami. Sementara itu, kewajiban bersamanya adalah menjaga iman dan takwa; menjaga senantiasa taat kepada Allah Swt. menghindari maksiat, dan saling mengingatkan. Diupayakan, semua kewajiban dikompromikan antara suami dan istri. Jika pada suatu situasi dan kondisi tertentu terjadi bentrokan kepentingan antara peran sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt dan tugas dakwah, sedangkan pemaduan keduanya tidak dapat dilakukan, maka secara syar’i prioritas yang harus dilakukan adalah kedudukan sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt.
Jadi, apapun persoalan yang dihadapi, keluarga muslim akan ingat bahwa mereka harus mampu menghadapinya. Bagaimana pemecahannya? Intinya, suami dan istri harus:
- Mengetahui hak dan kewajiban masing-masing serta hak dan kewajiban bersama, lalu berupaya mengkompromikannya. Jika tidak bisa, kembali pada awlawiyât berdasarkan hukum syariah.
- Membangun komunikasi dan saling pengertian. Rasulullah Saw senantiasa berkomunikasi dengan Ibunda Khadijah ra. Beliau bersama istrinya berupaya bersama membincangkan persoalan dakwah. Bahkan, beliau menyempatkan berkomunikasi dan bersenda-gurau dengan istri-istrinya setiap sehabis isya. Setelah itu, barulah beliau menginap di tempat istri yang mendapat giliran. Nabi Saw mencontohkan bahwa komunikasi merupakan persoalan vital dalam rumah tangga. Tentu, saat komunikasi bukan melulu persoalan yang berat-berat, melainkan juga terkait dengan persoalan ringan seperti makanan yang enak, foto keluarga, dan lain-lain.
- Saling mendukung sebagai tim dakwah terkecil. Dukungan orang-orang terdekat-suami dan istri, anak-anak, orangtua, dan orang-orang yang berada di sekitarnya-langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap kesuksesan tim dakwah keluarga. Beban rumah tangga, nafkah, dan dakwah jelas sangat berat. Akan lebih berat lagi jika suami/istri atau keluarga tidak memahami kewajiban ini. Sebaliknya, semua tugas akan terasa ringan dan menyenangkan, rasa lelah segera hilang jika suami/istri dan keluarga memahami aktivitasnya; mendukung, apalagi turut membantu. Suami dan istri sama-sama memahami bahwa aktivitas tersebut bukan didasari oleh keinginan untuk aktualisasi diri, karir, ataupun untuk persaingan antara suami-istri. Keduanya akan saling menolong dalam beribadah kepada Allah dan berlomba dalam kebaikan. Dengan begitu, akan tercipta sebuah keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah. Bagi Muslimah shalihah, seberat apa pun beban yang harus ditunaikan tidak berarti apa-apa jika dukungan dan ridha suami senantiasa menyertainya. Begitu juga, seorang suami salih akan tetap tersenyum bahagia jika istrinya shalihah dan menopang dakwahnya. Di sinilah peran penting suami-istri saling mendukung dalam menunaikan kewajiban dakwah dari Allah, Zat Yang Mahakuasa. Perlu suami-suami menjadi seperti Nabi saw. dan para sahabat; perlu istri-istri menjadi laksana ummul mukminin dan shahabiyât yang secara harmonis berjuang bersama memperjuangkan Islam.
- Pentingnya ukhuwah sesama pengemban dakwah. Dakwah tidak mungkin dilakukan secara individual. Dakwah berjamaah adalah suatu keniscayaan. Ukhuwah di antara pengemban dakwah juga terus dipelihara selama mereka berinteraksi. Dengan begitu, satu sama lain akan saling mengenal, saling memahami, dan saling membantu. Masing-masing memahami karakter, kemampuan, kondisi, kendala, serta apa yang dibutuhkan. Tidak akan ada beban yang diberikan di luar kemampuan seseorang atau membuat dia lalai terhadap kewajibannya yang lain. Kalaupun ada kendala pada individu pengemban dakwah bukan langsung disalahkan, tetapi akan diteliti akar permasalahannya dan dicari solusi pemecahannya. Sebuah jamaah dakwah ibarat roda yang berputar. Masing-masing bagian menempati posisi dan fungsi masing-masing; kadang berada di bawah kemudian bergulir ke atas. Demikian halnya dengan seorang pengemban dakwah. Ketika dia sedang diliputi kendala, keadaannya ibarat bagian bawah roda. Saudaranya sigap dan cepat bereaksi untuk membantunya. Jika ini terjadi maka suatu keluarga pengemban dakwah yang tengah mendapatkan kesulitan diringankan oleh saudaranya dari keluarga lain.
Subhaanallah sebuah gambaran keluarga yang indah ya ustadzah, bila semua keluarga Indonesia memahami dan menjalankan kehidupannya seperti ini. Bisakah ustadzah menggambarkan bagaimana keluarga Rasulullah SAW dan sahabatnya saat menjalani kehidupan mereka?
Keluarga Nabi Saw adalah keluarga sakinah penegak syariah. Beliau sebagai seorang suami sering bergurau, berbuat makruf, dan lembut terhadap istrinya. Beliaupun sekaligus rasul pejuang Islam. Salah seorang istrinya, Ibunda Khadijah, adalah penopang utama dakwah Nabi Saw, beriman pertama kali, membiayai hampir seluruh dakwahnya. Sekalipun demikian, Ibunda Khadijah tetap rendah hati, berakhlak mulia, dan menjaga kesuciannya. Ia juga menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya serta tetap menghormati dan menaati Rasulullah Saw sebagai suaminya. Dari ibu mulia inilah lahir perempuan mulia Fatimah az-Zahra. Hidup beliau dilalui dengan penuh kesetiaan dan kebajikan. Sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Ia mendampingi Rasulullah saw. dalam suka dan duka perjuangan (Lihat: Akhmad Khalil Jam’ah, Wanita Yang Dijamin Syurga, Darul Falah, Jakarta, 2002, hlm. 16).
Ibunda Khadijahlah yang senantiasa menenangkan ketakutan Nabi Saw. Tampaklah, keluarga beliau adalah keluarga sakinah yang pejuang, atau keluarga pejuang yang sakinah.
Profil seperti itu terjadi juga pada keluarga Yasir bin Amir bin Malik. Dia bersama istrinya Sumayyah binti Khubath ra., dan anaknya Amar bin Yasir, termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam. Pasangan suami-istri tersebut berhasil mendidik anaknya menjadi salih. Sang suami amat sayang kepada istri dan anaknya. Semasa hidupnya pun Sumayyah dikenal sebagai seorang istri yang baik, berbakti, dan mengabdi kepada suaminya. Ia bersama suaminya dalam suka dan duka. Mereka bukan hanya sebagai keluarga sakinah, melainkan juga mempertaruhkan nyawanya demi melawan musuh-musuh Islam. Jelas, mereka adalah keluarga sakinah penegak Islam.
Contoh lain adalah keluarga Abu Thalhah. Beliau adalah seorang pejuang dan sahabat dekat Nabi Saw. Istrinya bernama Ummu Sulaym binti Milhan ra. Dia adalah seorang perempuan Anshar. Ia termasuk shahabiyah yang utama. Ilmu, pemahaman, keberanian, kemurahan hati, kebersihan, dan keikhlasan bagi Allah dan Rasul terkumpul dalam dirinya. Sebagai ayah dan ibu mereka berhasil. Buktinya, Anas bin Malik yang banyak meriwayatkan hadis itu adalah anak mereka. Hubungan suami-istri pun mesra. Ummu Sulaym senantiasa menyediakan makanan dan minuman, berdandan cantik, bercakap dan bersenda gurau. Sungguh, keluarga mereka bukan hanya pembela Nabi Saw, melainkan juga sakinah.
Banyak lagi contoh-contoh profil keluarga sahabat. Intinya, mereka memadukan peran ayah/ibu dan anak, peran suami-istri, dan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, dengan perjuangan Islam. Jika kita hendak menjadi keluarga seperti mereka maka kita mesti menjadi ‘keluarga sakinah penegak syariah dan Khilafah’. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.[]