(Balada Lupi Abu dan Betty Lovia, episode 1)
By: Nafiisah FB
Hari Minggu pagi yang cerah. Terang, tapi tidak panas. Paling tidak itu yang tampak dari luar pagar kos White House.
“Bettiii …ii! Au! Betty, ati-ati dong!”
Teriakan Joan, salah satu penghuni White House, mengawali suasana panas di dalam rumah. Cewek tinggi jenjang itu berdiri marah berhadapan dengan Betty yang mengulum kawat giginya, menahan takut, gelisah. Rita, Si Tembem, berdiri di sebelah sambil makan coklat batangan yang tinggal setengah.
“Maaf, maaf. Enggak ngeliat. Sori. Gua kehilangan kacamata gua,” pinta Betty sambil meraba-raba Joan, memastikan posisi berdirinya.
Joan mengibas-ngibaskan tangan Betty, risih.
”Ih! Ih! Bet!”
Rita ikut membantu. Dia menurunkan tangan Betty. Betty berhenti.
“Beatrice Lovia Ananda.” Joan menyebut nama lengkap Betty geram.
“Hadir,” sahut Betty sambil takut-takut tunjuk tangan, bikin Joan jadi tambah kesal.
“Please, Bet! Ini udah kehilangan elo yang ke 1132 kali sejak elo jadi penghuni kosan ini!”
”Emang iya 1132 kali? Elo emang baik hati dan rajin berhitung ya! Enggak salah emang gua jadi sohib lo, Jo.”
Rita kagum. Joan tambah manyun.
”Makanya kacamata jangan ditinggal sembarangan!”
”Gua enggak tinggal sembarangan, kok, Jo! Gua cuma lupa naro’!
“Yeee! Sama aja kali!” Joan tambah kesal.
“Eh, ada apa sih?!” Lupita datang.
“Temen seperjuangan lo nih! Kehilangan kacamatanya lagi! Rese!”
Joan meninggalkan Betty dan Lupita sambil melengos kesal. Rita segera mengikuti. Lupita melihat Betty kasihan, prihatin.
ooOoo
“Gua emang yang salah, Pi! Gua yang oon! Stupid!”
“Eh, elo jangan jadi ngerendahin diri lo sendiri gitu dong!”
Betty merengut sedih di atas tempat tidurnya. Lupita duduk di sisinya.
“Emang iya kan?!”
”Elo kan cuma lupa naruh kacamata, Betty.”
”Cuma lupa naro kacamata? Tapi, itu bisa bikin munculnya perang dunia ke tiga!”
”Ck, ah! Elo lebai deh! Elo tuh cuma harus lebih ati-ati kalau naruh apa-apa! Kalau perlu elo pasang alarm keplok-keplok di kacamata lo. Jadi, tiap elo lupa naruh, elo tinggal keplok-keplok, tepuk tangan. Alarm di kacamata lo kan entar respon tuh. Bunyi. Jadi lebih gampang tahu posisinya.”
”Heeeh ….” Betty menghela nafas, kesal.
”Elo sama aja! Lebai juga! Mana ada alarm keplok-keplok!” protes Betty.
”Yeee, daripada elo. Nyalahin diri sendiri mulu! Enggak solutif! Mendingan gua, berpikir inovatif, cari solusi!”
Betty berbaring lesu.
”Coba kalau hidup gua enggak bergantung sama kacamata super tebel ini! Gua pasti jadi cewek paling hepi.”
Lupita hanya diam, mendengarkan. Setelah itu Betty juga tidak bersuara lagi. Kamarnya hening.
ooOoo
Senin datang. Virus I hate Monday pun bertebaran.
Joan banting-banting buku yang tebal-tebal. Dia kesal karena ketemu hari Senin lagi. Itu berarti ketemu sama Bu Tari lagi, Si Dosen Ekonomi.
”Kenapa sih lo, Jo?! Kasian tuh buku elo banting-banting kaya’ gitu!” komen Ayuni, Sang Primadona Kampus, sambil duduk mengolesi tangannya dengan pelembab.
”I hate Monday!”
”Karena bakal ketemu Bu Tari?”
”Ya iya lah! Siapa lagi?! Lo tahu sepanjang hidup gua, baru kali ini gua ketemu guru, dosen, yang paling usil seluruh dunia!”
Ayuni mendengarkan, masih sambil mengolesi tubuhnya dengan lotion. Sekarang giliran tumit dan kakinya.
”Tolong ya, mahasiswi-mahasiswi. Kalian itu kuliah, menuntut ilmu! Bukan sedang pameran fashion!” Joan menirukan Bu Tari sambil duduk di dekat Ayuni.
”Bawel banget!” Joan membanting buku … lagi.
”Joanna, emang kamu enggak punya ya rok yang lebih panjang?” Ayuni ganti yang menirukan Bu Tari.
”Ayuni, tolong ya lipstiknya jangan tebel-tebel! Aduuuh, Ayuni! Kamu mau kuliah atau mau ke pesta? Parfumnya menyengat sekali!” balas Joan, masih dengan lagak Bu Tari.
Ayuni berhenti mengoles lotion.
”Iya tuh dosen. Kaya’ enggak punya kerjaan aja ngurusin dandanan kita!” ujar Ayuni pelan.
”Nah! Elo kesel juga kan?!”
”Iya! Tapi, gua tetep enggak mau dan enggak suka elo banting-banting buku! Buku mahal tuh!”
”Mahalan juga peralatan make up elo.” ujar Joan sambil menyenggolkan bahunya ke bahu Ayuni.
“Tuh dosen emang sirik aja ya! Lipstik, lipstik gua! Bibir, bibir gua! Kalau bibir gua seksi terus … gua gitu yang salah! Bodi, bodi gua! Kalau bodi gua diciptain indah kaya’ gini terus … gua gitu yang salah?!”
“Hm! Kesel sih kesel! Tapi narsis, teteeep!”
Joan mencibir. Ayuni nyengir.
”Cita-citanya enggak kesampaian kali. Jadi nyolot kaya’ gitu!” lanjut Joan.
”Emang apa cita-cita Bu Tari yang ga’ kesampaian?”
”Jadi Fashion cop!”
”Polisi fashion? Ada-ada aja lo!” Ayuni tertawa pelan.
”Hai!”
Rita sudah berdiri di ambang pintu kamar Joan. Tubuhnya yang bulat semakin tampak bulat dengan potongan rambut pendek poninya.
“Pasti lagi pada ngomongin Bu Tari ya? Ya, kan?”
Rita masuk kamar tanpa mempedulikan Joan dan Ayuni yang saling pandang, tidak nyaman.
”Bu Tari emang usil. Tapi, untungnya gua enggak pernah dikasih komentar,” cerita Rita riang sambil mengeluarkan sebungkus biskuit dari kantungnya dan segera memakannya lahap.
Joan dan Ayuni kembali saling pandang, sebal. Mereka memandangi Rita yang overweight dan anti diet.
”Ya iyalah! Jelas itu sih.” Joan berujar setengah berbisik.
”Males juga kali yang mau ngasih komen tentang elo,” sambung Ayuni, juga setengah berbisik.
“Apa? Elo berdua ngomong apa?” Rita mencoba mengonfirmasi. Mulutnya masih mengunyah biskuit … yang berikutnya.
“Enggaaak,” jawab Ayuni dan Joan sambil bubar jalan. Joan membereskan buku-bukunya yang berantakan dan Ayuni kembali ke kamar.
ooOoo
”Duh, obat jerawat gua mana sih?! Betti … iii!”
Lupita teriak nyaring. Virus I hate Monday menyebar ke kamarnya.
”Ada apa, sih, Pi?”
Betty datang tergopoh-gopoh sambil membenahi letak kacamatanya yang sempat melorot..
”Elo liat obat jerawat gua enggak?”
“Enggak. Emang elo enggak jadi beli yang baru?”
“Beli baru?”
“Kan, kemaren sore elo bilang mau beli obat jerawat.”
Lupita menepuk dahinya.
“Oh, iya! Obat jerawat gua habis. Aduuuh! Mampus gua! Aduuuh!”
Lupita gelisah. Dia melihat ke jam dinding.
“Mana sejam lagi gua harus berangkat!”
“Beli aja sekarang.”
“Enggak bakalan kekejar, Bet! Bolak-balik apotik aja udah makan waktu 45 menit! Aduuuh!”
”Diamplas aja! Diamplas!” celetuk Joan cuek sambil lewat di depan kamar Lupita.
Lupita marah. Dia mengambil bantal, hendak dilemparkan ke Joan. Joan ngacir ke kamar mandi, sambil tertawa.
”Eh, eh! Jangan, Pi! Lupi!” Betty menahannya.
”Terima nasib aja kenapa sih, Pi? Jerawat sama kulit item lo itu kan anugerah Tuhan. Tuhan pengen elo sabar. Tuhan kan sayang sama orang yang sabar. Kaya’ gua. Sabar nerima nasib sebagai cewek putih dan cantik!” saran Ayuni sok manis.
Selesai kasih saran, dia pergi sambil mengibaskan rambutnya yang panjang dan legam. Lupita jadi naik pitam.
”Hiiiih! Nenek sihir narsis!”
Lupita keluar kamar sambil mengacung-acungkan bantal.
“Lupita! Jangan! Pi, Pi, nyebut, Pi! Lupi!”
Betty tetap berusaha menahan. Lupita tetap melempar bantal.
Wuuus! PLAK! Bantal tepat mendarat di wajah … Rita, yang enggak sadar menuju arena peperangan. Habis, lagi konsen tuh sama es krim rasa gado-gado: stroberi, coklat, dan vanila yang jadi favoritnya.
Lupita meringis kaget. Ayuni tertawa terkikik. Betty menangkupkan kedua tangannya di depan mulut, was-was.
“Ma-maaf, Rit.”
“Kok, gua dilemparin bantal, Pi? Salah gua apa?” tanya Rita dengan wajah memelas. Es krim belepotan di wajahnya.
“Salah lo banyak!” timpal Joan sambil berjalan keluar santai. Tas mini dan sebuah binder sudah menemaninya.
“Karena banyak tidur, banyak makan, banyak ngemil, dan banyak jajan,” imbuh Ayuni sambil meraih tasnya. Dia lalu berjalan mendekat, juga siap berangkat.
Joan dan Ayuni keluar rumah sambil tertawa-tawa. Lupita kembali ke kamar, membaringkan tubuhnya, lemas. Betty memperhatikan, kasihan. Rita yang masih pasang wajah bingung ditinggal sendirian.[…bersambung]