Gua Cantik!
(Balada Lupi Abu dan Betty Lovia)
by: Nafiisah FB
Malam itu Lupita dan Betty main ke rumah Marni. Sekalian jenguk ibu Marni yang sakit, mereka juga mau ngobrol lebih panjang tentang penampilan Marni tadi siang. Itu sih yang jadi niat awal.
”Saya juga baru pake’ 6-7 bulan ini. Prosesnya panjang, Mbak. Saya juga sempat ragu. Kalau saya pake’ jilbab terus jualan pecel apa enggak diketawain orang. Jualan pecel aja kok pakaian kaya’ bintang film Ayat-ayat Cinta. Emak pernah bilang gitu.”
Betty senyum geli. Dia membayangkan Aisyah di film Ayat-ayat Cinta jualan pecel kaya’ Marni. Pas Maria yang beli. Maria nurunin keranjang ke bawah supaya Aisyah bisa gampang ngasih pesanan pecel sambil ngasih uang.
”Syukron Aisyah.”
”Afwan, Maria.”
Setelah itu Aisyah keliling jualan pecel lagi.
”Pecel akhi! Pecel ukhti!”
”Hi … hi … hi.”
Betty tertawa geli sendiri. Marni dan Lupita bingung.
Lupita menyenggol Betty yang memang gampang menciptakan dunia khayal. Betty tersadar. Dia segera memperbaiki posisi duduknya, kembali jaim.
”Terus kok Mbak Marni bisa mutusin yakin pake’ jilbab?” tanya Lupita sambil melirik ke Betty. Jaga-jaga kalau sohibnya itu ”trance” lagi.
”Berkat Mbak Hanum. Dia enggak bosen-bosen nasihatin saya. Menutup aurat itu wajib. Membantu orang tua kewajiban. Usaha ngejemput rejeki juga kewajiban. Ngelaksanain satu kewajiban enggak bikin kewajiban lainnya hilang. Tetep harus dikerjain. Dan, kalau Alloh yang sudah menetapkan, artiya manusia pasti sanggup melaksanakan. Saya jadi yakin. Mbak Hanum juga enggak bosen-bosen main ke sini ketemu Emak. Akhirnya Emak ngebolehin.”
Lupita dan Betty mengangguk-angguk.
Perbincangan terus berlanjut hingga satu setengah jam sambil diselingi Marni yang keluar-masuk kamar untuk mengecek keadaan emaknya.
oooOooo
Lupita dan Betty jalan pulang dalam diam. Mereka masing-masing tenggelam dalam pikiran, renungan.
”Gua bisa enggak ya kaya’ Marni? Bisa pede kaya’ gitu. Dia kan cuma lulusan SMP. Gua kuliah. Persoalan kacamata? Gua kan masih bisa ikut terapi. Atau minta uang bokap beli frame yang trendi. Marni? Mau kursus aja harus nabung. Itu juga kadang dibobol lagi dan lagi dan lagi … untuk adek-adeknya. Kawat gigi gua? Tiga bulan lagi juga dilepas.”
Betty memulai pergulatan batinnya.
”Kulit gua item. Kulit Marni juga item. Muka gua berminyak. Marni juga. Nasib apes aja gua jerawatan kaya’ gini. Dan nasib baik Marni enggak jerawatan. Hmm … Eh, enggak juga sih. Marni rajin makan sayur. Jarang makan fastfood. Enggak suka juga ngemil kacang. Bedak dingin juga buatan tangan, enggak pake’ beli di apotik. Emang gua yang males ngerawat tubuh. Gua sebenarnya lebih beruntung,masih bisa facial. Jadi, gua harus lebih pede dong ya dibandingin Marni? Soal jerawat kan bukan berarti kiamat! Tapi … gua bisa enggak ya?”
Lupita memulai debat batinnya.
Kaki-kaki Lupita dan Betty terus melangkah. Tanpa suara. Tanpa canda seperti biasa. Mereka terus menuju rumah.
oooOooo
”Jo?!” teriak Betty dan Lupita. Kaget. Takjub.
Mereka berpas-pasan dengan Joan di depan pintu pagar. Joan masuk. Lupita dan Betty buru-buru ikut.
Lampu teras merk Papilips 15 watt membuat pemandangan jadi lebih terang. Di hadapan mereka kini berdiri Joanna tanpa rok pendeknya.
Wou! O, o. Tanpa rok pendek? Jadi … Jo balik ke kos pake’ ….
”Jilbab? Beneran ini elo, Jo, pake’ jilbab?” Lupita belum bisa percaya.
”Elo bukan kembarannya Jo?! Jangan-jangan elo kembarannya dia yang sengaja dia umpetin karena enggak mau elo ngerebut ketenaran dia. Iya kan? Ngaku aja deh!” tuding Betty galak sambil tunjuk-tunjuk tangannya ke wajah Jo.
”Ampun, Betty! Dunia khayal lo tuh ya! Gua Jo!”
”Joanna Kamila?” Betty masih menginterogasi.
”Ya iya la! Masa ya iya deh! Gua Joanna Kamila, Beibeh!” Joan lama-lama kesal.
Betty masih terkesima.
Lupita tersenyum. Joan juga tersenyum. Acara berbalas senyum yang tidak pernah terjadi antara mereka hingga malam ini.
”Minggir! Minggir!”
Ayuni keluar sambil membawa sebuah kardus berukuran kaleng biskuit.
”Aduh, kalian tuh kalo mau ngaji jangan di depan pintu gini dong! Mbak ustadzah please …. ”
Ayuni tidak meneruskan kata-katanya. Dia menganga.
”Hai, Ay!” sapa Joan.
”Jo?!” teriak Ayuni kaget.
Kardus meluncur lepas dari tangannya, menghantam kaki Betty.
”Adou!”
”Ups! Sori, sori, sori!”
Ayuni mengambil kardusnya lagi. Betty nyengir nyeri sambil mengangguk memaafkan.
”Elo kok? Kok … Elo habis pesantren kilat? Tapi kan enggak lagi musim?”
”Musim! Rambutan kali, pake’ musim!” celetuk Lupita.
”Ini bukan karena pesantren kilat, Ay! Bu Tari yang bisa bikin gua begini,” kata Joan lagi.
”Bu Tari?”
”Entar gua ceritain.”
”Gua masih enggak nyangka, Jo. Gua masih enggak percaya!”
”Gua juga.” Joan tersenyum.
”Terus ngomong-ngomong, elo bawa-bawa kardus keluar malem-malem begini mau ngapain?” tanya Betty sambil meringis merasakan sisa nyeri di kakinya.
”Gua mau buangin ini.”
Ayuni membuka kardus. Tampak beberapa lipstik dan botol parfum.
”Itu kan belum habis, Ay.” Joan heran.
”Emang.”
Betty, Lupita, dan Joan saling pandang, bingung.
oooOooo
”Kalau pas hari sekolah, pagi dia sekolah dulu. Siang sampai habis Magrib dia jualan koran. Kalau hari libur atau Minggu kaya’ gini dia seharian jualan koran.”
Betty, Lupita, Joan, dan Ayuni duduk berkumpul di kamar Ayuni.
”Elo nanya langsung gitu ke dia?” tanya Betty penasaran.
”Iya. Habis gua penasaran. Dia ngembaliin dompet gua. Uang gua utuh. Gua kasih uang, dia malah nolak. Akhirnya gua ajak aja dia makan sambil ngobrol di rumah makan Padang deket tempat seminar.”
”Terus, apa hubungannya elo buang lipstik-lipstik, parfum lo sama kejadian si anak cewek SD itu?” tanya Jo sambil menaikkan dua kakinya ke atas tempat tidur.
”Namanya Iil.”
”Iya. Iil.”
”Iil udah bikin gua sadar, Jo. Gua selama ini diperbudak sama urusan make up!”
Betty dan Lupita saling lihat.
”Gua bisa tahan berjam-jam di salon. Gua juga bela-belain bikin jadwal ke mall untuk cari lipstik dan parfum bagus. Padahal di saat yang sama, Iil berjuang untuk bisa tetap hidup. Bukan cuma hidup dia. Tapi juga hidup bibi sama dua orang sepupunya. Bokap-nyokapnya tahu kemana!”
”Elo berjuang untuk dapet parfum keluaran paling anyar. Si Iil berjuang untuk bisa makan. Elo berjuang untuk memperindah diri lo sendiri. Iil berjuang untuk memperindah hidup orang lain,” ucap Betty pelan.
Ayuni diam. Semua yang berada di kamar juga diam.
Betty langsung menggigit bibirnya. Was-was kalau perkataannya bikin Ayuni marah.
”Iya. Gua berjuang untuk sesuatu yang sia-sia. Elo bener, Bet! Dan, itu hal paling bodoh dan memalukan yang gua jalanin selama ini! ”
Betty menghela nafas, lega. Ayuni enggak marah sama dia.
”Dan ….”
Ayuni berhenti. Dia menahan airmata.
Betty tiba-tiba jadi ikut merasa sesak.
”Iil ngajak gua ke kios koran tempat dia biasa dapet jatah. Dan kalian tahu siapa yang gua temuin di sana?”
”Siapa?” tanya Joan hati-hati.
Ayuni berhenti lagi. Sekarang airmatanya enggak bisa lagi dia tahan.
Betty merasa tambah sesak.
”Gua ketemu Farah! Dia yang punya kios koran itu. Dia biayain kuliah dari kios itu. Gua emang temen yang egois! Gimana gua bisa enggak tahu kalau sohib gua selama ini jualan koran buat biayain sekolah, kuliah?! Gua ngerasa … ngerasa ngegampar banget tahu enggak sih?!”
Ayuni terisak. Dia marah … kepada dirinya. Dia sedih … menangisi dirinya.
Betty melihat Joan berkaca-kaca.
”Kemana aja siiiih gua selama ini?! Sampai enggak peduli!”
Betty melihat Lupita. Lupita sedetik kemudian juga melihat Betty.
Mereka seperti berucap, ”Kalau kita berdua … peduli.”
Ayuni menghapus airmatanya. Tapi percuma. Airmatanya masih deras.
”Terus reaksi Farah waktu ngeliat elo di sana gimana?” tanya Joan pelan. Betty dan Lupita pun menunggu jawaban Ayuni.
”Dia kaget, tapi terus dia … senyum. Senyum yang selalu dia kasih buat gua padahal gua udah sering bikin dia kesel! Bikin dia sakit hati! Gua bukan temen yang baik! Bodoh!”
”Sssstt, Ay….”
Joan memegang tangan Ayuni, berusaha menenangkannya.
”Gua enggak bakal sanggup ketemu Farah lagi, Jo. Gua enggak sanggup ketemu dia! Gua malu!”
Joan langsung memeluk Ayuni. Betty dan Lupita cuma bisa menghela nafas, menunduk, lalu diam.
Suasana itu segera meliputi ruangan. Suasana pilu, tapi ada terang. Terang keinsyafan.
Sebelas detik berjalan. Semua diam. Hanya isak Ayuni yang mereka dengar.
Tapi di detik ke dua belas, tiba-tiba di ruang tamu terdengar teriakan seseorang.
”Waaaaaaa! Tidaaaaak!”
Betty dan Lupita langsung menuju tempat asal suara. Ayuni segera menghapus airmata dan menyusul Joan.
oooOooo
Hanya ada Rita. Dia baru tiba.
”Rit! Elo kenapa sih teriak-teriak gitu?! Udah malem nih. Baru dateng lagi. Bukannya ketok pintu dulu. Assalamu’alaikum kek! Bisa kan?!” Lupita langsung mencecar Rita.
”Ketok pintu! Ini kosan gua juga! Ngapain juga harus ketok pintu?!” sahut Rita galak.
Semua kaget. Enggak biasanya Rita galak gitu.
”Hu … hu … kok malah bengong semua siiiiih! Bantuin gua doooong?! Aduuuh … kiamat nih!”
”Kenapa sih, Rit?” tanya Joan, berusaha cari tahu lagi.
”Elo Joan?” Yang ditanya balik nanya.
”Rita! Jawab! Kalau elo enggak jawab, gua bakal kuras semua isi kulkas lo!”
”Enggak apa-apa, Pi. Elo ambil aja semua, Pi!”
Lupita melongo.
”Waaaaaa!” Rita kembali mengaum … eh meraung.
”Ritaaaaaa!”
Akhirnya semua kompak menghentikan raungannya. Rita terdiam, lalu dia menunjuk timbangan badan dan berucap pelan, ”Berat badan gua naik, teman-teman. Gua enggak mau badan seksi gua jadi melar!”
”What?! Seksi?!”
”Elo baru nyadar kalo badan elo melar?!”
”Elo kemana aja, Rita?”
”Semoga lo insyaf, Rit.”
Itu suara-suara batin Ayuni, Lupita, Joan, dan Betty. Mereka menghela nafas panjang. Mereka balik badan dan segera meninggalkan Rita sendirian.
”Eh, elo pada mau kemana?! Gua butuh solusi?!” teriak Rita.
”Kita mau ngasih elo solusi sebentar lagi!” teriak Joan.
”Apa?!”
”Kita mau makan semua persediaan di kulkas elo!” sahut Lupita nyaring.
”Boleh! Boleh! Tapi, jangan brownies! Es krimnya sisain! Mesisnya jangan juga! Gua baru beli tuh! Jangan yang frozen spicy meat! Gua belum ngerasain! Jangan ….”
oooOooo
Di kamar Rita, mereka tidak lagi mendengarkannya. Yang Lupita, Betty, Joan, dan Ayuni fokuskan hanyalah bagaimana menghabiskan semua makanan yang tersedia. Walaupun, mereka juga sangsi kalau mereka bisa lakukan malam ini.
”Gua enggak mau ngabisin. Gua tetep mau langsing,” kata Ayuni.
”Gua juga enggak bisa. Entar jerawat gua makin subur.”
”Gua lagi jaga-jaga kesehatan gigi gua nih. Tiga bulan lagi kawat gigi lepas. Banyak makan es krim bisa bikin kacau entar.”
”Terus, kalau kalian enggak mau, gua gitu yang ngabisin?! Enggak aaaah. Takaran perut gua kan terbatas. Entar malah mubazir. Mubazir kan temennya setan.” Joan menggeleng-gelengkan kepala.
”Jadi?”
”Gimana?”
”Terus?”
Betty, Lupita, Joan, dan Ayuni saling lihat sebelum mereka teriak kuat-kuat.
”Ritaaaaa …!” [TAMAT]