Oleh Umar Abdullah
Penguasa, penegak hukum, dan pegawai pajak di negeri ini nilainya sudah jatuh di mata rakyat. Adanya Gerakan Tolak Bayar Pajak membuktikannya. Ngapain bayar pajak kalo ujung-ujungnya dikorup! Mending nggak bayar pajak, nggak ada yang bisa dikorup! Begitu kira-kira argumen orang-orang yang selama ini taat bayar pajak.
Suer, suap menyuap telah meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap alat-alat negara. Dan sebaliknya, para petugas yang jujur dan tak mampu disuap adalah para penegak pilar-pilar kepercayaan rakyat. Seribu empat ratusan tahun yang lalu orang-orang Yahudi Khaibar mengakuinya. Berikut kisah petugas penghitung dan pemungut bagi hasil musaqat kebun kurma Khaibar milik Negara Islam…
Sulaiman bin Yassar mengatakan bahwa Rasululah Saw mengutus Abdullah bin Rawahah ra berangkat ke Khaibar (wilayah negara Islam yang baru saja tunduk kepda kekuasaan kaum Muslimin yang sebelumnya adalah daerah Yahudi) untuk menaksir hasil buah kurma di daerah itu. Rasulullah Saw (sebagai Kepala Negara Islam) telah memutuskan hasil bumi Khaibar dibagi dua: Separoh untuk kaum Yahudi yang mengolahnya (dengan aqad musaqat) dan separohnya lagi diserahkan kepada kaum muslimin.
Ketika Abdullah bin Rawahah sedang menjalankan tugas, orang-orang Yahudi datang kepadanya membawa berbagai perhiasan yang mereka kumpulkan dari istri mereka masing-masing.
Kepada Abdullah bin Rawahah mereka berkata, Perhiasan ini untuk anda, ringankanlah kami dan berikan kepda kami bagian lebih dari separoh.
Abdullah bin Rawahah menjawab, Hai kaum Yahudi, demi Allah, kalian memang manusia-manusia hamba Allah yang paling kubenci. Apa yang kalian perbuat itu justru mendorong diriku lebih merendahkan kalian. Suap yang kalian tawarkan itu adalah barang haram, dan kami kaum Muslimin tidak memakannya!
Mendengar jawaban tersebut mereka menyahut, Karena itulah langit dan bumi tetap tegak! (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha: 1450)
Semoga negeri yang dulu pernah menerapkan syariah Islam dalam bentuk kesultanan-kesultanan ini, mulai memutar haluannya untuk kembali kepada Islam. Semoga segera muncul negara Khilafah Islamiyah yang alat-alat negaranya terdiri dari orang-orang yang tidak mempan disuap. Dan bumi dan langit kepercayaan rakyat pun akan tetap tegak.[]
bukan maksud hati para sahabatku, apa jadinya negara ini tampa kerja keras setiap individu dalam kebersamaan membangun negara ini, tak perlulah kita balik haluan ke negara islam segala, bukan maksud hati, tapi cobalah hargai perbedaan yang ada di sekeliling kita, tak perlu jauh-jauh, lihatlah rumah kita sendiri, apa sudah benar atau mendekati benar.
pajak yang di tarik setiap tahun atau setiap bulan adalah untuk kita juga, pegawai yang bobrok paling 1 ato 2, jangan lah lihat semua buruknya, liatlah baiknya juga, masa salah sekali kebaikan beribu kali di abaikan : aneh benar negara ini 🙂
Masa sih pegawai yang bobrok paling 1 atau 2? Gayus Tambunan saja bilang yang seperti dia ada 20 orang. Itu baru di sekitar Gayus, bagaimana dengan yang di Kantor-kantor Pajak yang lain?
Pajak untuk kita juga? Dulu di Gunung Kidul Propinsi DIY jalannya lubang-lubang bertahun-tahun. Baru ketika kepala negara mau berkunjung ke Gunung Kidul, buru-buru jalan-jalan itu diperbaiki. Di Bogor Jawa Barat ada jalan yang rusak berat, berkali-kali warga meminta Pemkot memperbaiki, tapi tak ada tanggapan. Baru ketika Wakil Presiden mau datang, jalan tersebut segera diperbaiki. Jadi, Pajak itu untuk rakyat atau untuk pejabat? Dan jalan-jalan yang rusak tidak hanya di Gunung Kidul dan Bogor. Lihatlah jalan-jalan rusak di Sulawesi dan Kalimantan.
Kembali ke Negara Islam berarti tidak menghargai perbedaan? Justru dalam Islamlah dihargai perbedaan pendapat selama berdasar pada dalil-dalil yang syar’iy. Dalam Negara Islam, bermacam-macam pemeluk agama, suku, ras, madzhab hidup dalam keteraturan. Lihatlah Muslim, Nasrani, Yahudi hidup tentram di Baitul Maqdis di bawah pemerintahan Negara Islam yang Khalifahnya Umar bin Abdul Aziz. Lihatlah bagaiman Sultan Bayazid dari Kesultann Turki Utsmani menampung orang-orang Yahudi yang diusir dari Spanyol oleh Ratu Isabella dari Castilla yang tidak menghargai perbedaan pemeluk agama di negaranya.
Dan Negara Islam yang pernah makmur selama hampir 1300 tahun sejak masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab hingga masa pemerintahan Khilafah Turki Utsmani sebelum pertengahan abad ke-19 M adalah negara yang mampu membiayai warga negaranya TANPA PAJAK sebagaimana pajak yang diterapkan di negara-negara kapitalis! Negara Islam mengayomi rakyatnya dengan harta yang berasal dari sumber-sumber bukan pajak. Sumber-sumber yang tidak menzhalimi rakyat. Dan setelah harta-harta itu terkumpul, tak berapa lama harta-harta itu habis dibagikan ke rakyatnya. Sebagiannya diperuntukan untuk kepentingan umum. Rakyatnya pun senang memberikan hartanya ke Negara dalam bentuk zakat, jizyah, kharaj, warisan yang tak terbagi, dan aqad musaqat, karena mereka tahu negara dan aparatnya sangat amanah. Banyak budak terbebaskan dengan harta-harta itu. Banyak fakir, miskin, orang-orang yang berhutang terlepas bebannya dengan harta-harta itu. Dan semua itu BUKAN HASIL PUNGUTAN PAJAK!
Weni Hidayah