Antara Kebenaran Dan Kemenangan

Oleh: M. Iwan Januar

Seluruh elemen kehidupan qudwatunna Muhammad saw. adalah teladan bagi siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan yang banyak mengingat Allah. Apalagi dalam meniti langkah perjuangan, maka tidak ada lagi yang pantas dijadikan tolak ukur selain Beliau. Allah SWT. telah menetapkan bahwa keteladanan itu hanya ada pada diri Nabi saw.:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”(QS. Al-Hasyr: 7).

Adalah tragedi bila para pejuang dakwah telah berpaling dari sunnah dakwah yang digariskan oleh Nabi saw. Ujung dari sikap berpaling itu adalah kekalahan dan makin terpuruknya umat ini dari posisi mulia yang pernah diraihnya. Bukan itu saja, umat dan para pengemban dakwah justru akan tersesatkan dari jalan kebenaran.

Rasulullah saw. bersabda: “Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara jika kalian berpegang teguh kepada keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, kitabullah dan sunnahku,” (HR Hakim)

Petunjuk Nabi saw. ini adalah petunjuk kehidupan sekaligus strategi dakwah yang utama. Umat muslim, khususnya para pengemban dakwahnya, harus meletakkan metode perjuangannya mengikuti dua pedoman ini. Penyimpangan adalah kekalahan.

Sikap konsisten berpegang pada keduanya jelas akan dihadang dengan ujian. Dalam arena dakwah ujian itu sangat berat. Di antaranya para pengemban dakwah akan berhadapan dengan masyarakat yang sudah tersibghah oleh celupan ideologi kaum kuffar.  Sekulerisme yang sudah lama ditanam di jantung umat membuat mereka merasa asing dengan halal dan haram. Bagi mereka pragmatisme dengan asas manfaatnya adalah kemestian. Kepentingan menjadi dewa yang disembah-sembah oleh banyak orang. Selama ada manfaat, maka itu adalah legitimated. Sah-sah saja.

Kondisi ini menggoda pengemban dakwah untuk melepaskan keterikatan dari petunjuk jalan ini. Mereka mengakomodir hawa nafsu umat ke dalam agenda dakwah, agar umat menerima dakwah mereka dan tidak menjauh dari mereka. Maka partai dakwah pun menjadi partai yang inklusif, terbuka untuk semua agama. Sikap kompromi terhadap kemungkaran pun dijalankan dengan pertimbangan ‘apa yang tidak bisa diambil semua jangan ditinggalkan semua’.

Orientasi dakwah bergeser bukan lagi menyuarakan kebenaran, tetapi raih kemenangan dulu baru tegakkan kebenaran. Caranya adalah merebut hati umat sekalipun itu harus mengakomodir syahwat umat yang masih tenggelam dalam hiruk pikuk kebatilan.

Para pejuang ini sebenarnya telah jatuh ke dalam sikap ‘frustrasi’ dalam beristiqamah, meski mereka sendiri enggan disebut frustrasi. Demikianlah halusnya iblis dalam memperdaya para pengemban dakwah. Memperdaya para juru dakwah agar perlahan-lahan melepaskan simpul ideologi Islam dan membuat mereka tidak merasakannya sebagai kesalahan. Bahkan menyebutnya sebagai bagian dari strategi perjuangan.

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS al-Kahfi: 103-104)

Sikap yang dituntut dari para para juru dakwah adalah mempertahankan kebenaran Ilahi, bukan melayani kepentingan masyarakat dan mengikuti arus utama (mainstream) yang telah menghanyutkan umat. Bila para pengemban dakwah melakukan hal sebaliknya, merengkuh hati umat dengan memarjinalkan ideologi (Islam), mereka akan sama terperosok dalam kubangan kebatilan.

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS al-An’am: 116-117)

Memang bukan perkara mudah bertahan di tengah mainstream pemikiran batil yang sekarang merebak. Selalu ada godaan untuk segera meraih kemenangan. Hati kadang tak tahan dengan perjuangan, seolah jalan tak berujung, sementara di kiri dan kanan para pengumbar hawa nafsu menikmati kemenangan semu mereka. Sementara tubuh para pemegang kebenaran bermandikan keringat kadang bercucuran darah.

Kepedihan inilah yang dikeluhkan Khabab bin al-Art ra. kepada Nabi saw. Akan tetapi sebagai seorang musrif dan murobbi, Beliau menanggapi curahan hati Khabbab dengan pemberian taushiyah mengenai kesabaran. Bahwa apa yang dialami oleh umat-umat sebelum kaum muslimin jauh lebih perih lagi.

Rasulullah saw. menyampaikan: “Telah terjadi (penyiksaan) terhadap orang-orang sebelum kalian, (dimana) seorang laki-laki ditanam (setengah badan) di dalam tanah, lalu di atas kepalanya diletakkan gergaji dan (badannya) dipotong menjadi dua bagian (dari atas ke bawah), kemudian daging-dagingnya disisir dengan sisir besi (yang memisahkan dengan tulang-tulangnya); akan tetapi hal itu tidak menghalanginya menetapi agamanya. Demi Allah, pasti perkara (agama) ini akan sempurna hingga seorang pengendara (unta) akan berjalan dari Shan’a ke Hadramaut (dengan aman), semen-tara dia tidak merasa takut kecuali kepada Allah, dan serigala atas kambingnya, akan tetapi kalian semuanya adalah (orang) yang terburu-buru.”

Kemenangan sejati kita, umat yang mulia, bukanlah ketika bendera telah dikibarkan di puncak kejayaan, bukan ketika nama kita semerbak harum dipuja-puja banyak orang, juga bukan ketika hidup telah bergelimang harta. Tapi kemenangan sejati seorang mukmin adalah ketika menjumpai Rabbnya dalam keadaan berpegang teguh kepada ideologi yang diamanatkan kepadanya.

“Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya),” (QS al-Ahzab: 23) []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *