Oleh: Lathifah Musacen
Kalau ada melodrama yang punya kans menang di ajang Panasonic Award, mungkin itulah Cicak Lawan Buaya. Sarat sumpah, penuh isak tangis dan air mata dari para aparat tinggi negeri ini. Ada sedih, ada simpati, ada sadis, ada konspirasi.
Tapi kalau ada skenario drama yang melompat kian kemari, susah ditebak maunya sutradara dan berakhirnya dengan mengesalkan bin menyebalkan, maka itulah Drama Century. Yaitu ketika Presiden SBY mengeluarkan pernyataan bla bla bla dan bla bla bla. Maka penonton berteriak, ” Yaaah … kenapa nggak dari dulu!”
Mereka yang berharap koruptornya dibekuk, malingnya dipenjara dan yang lebih sadis digebuki versi Rambo dari Hollywood akan komentar, “Cuaapee Dueeeh….!”
Episode yang paling menyebalkan adalah ketika bla bla bla tadi disambut oleh para tokoh opportunis yang mengeluarkan pernyataan mendukung mendukung dan mendukung. Para aktivis pasti teriak, “Hari gini baru komentar, kemaren kemane aje Bang…!”
Adegan paling mengesalkan adalah ketika (nanti) sang Menteri tampil lagi seperti ketika diundang Pansus waktu itu. Dengan bunga dan lambaian tangan elegant. Putri Indonesia …jauuuh. Miss Universe…minggiiiir. Biar kate Indonesia menang telak sebagai negeri terkoruptor di Asia, penampilan pejabat tetap harus ceria, anggun dan elegant.
Inilah Drama Century. Kasus yang harusnya sederhana malah dibuat mlintir. Di dalam Islam, Majelis Umat adalah representasi rakyat. Kalau mayoritas rakyat merasakan ada kebijakan yang menzhalimi mereka, maka pengadilan bertanggung jawab membuktikan. Khalifah saja bisa dihadapkan ke Mahkamah Mazhalim (Pengadilan tinggi yang menyelesaikan kasus kezaliman penguasa terhadap rakyat), apalagi aparatnya.
Tapi kuncinya memang adalah kesadaran bahwa kepemimpinan adalah amanah. Pertanggungjawabannya tidak main-main. Bagi pemimpin berjiwa besar, lebih baik mengaku bersalah, meminta maaf dan mundur dari jabatan, daripada di akhirat jungkir balik diseret malaikat di hadapan Pengadilan yang sesungguhnya.[]