by: O. Solihin
Ogi duduk manis di barisan kursi yang tertata rapi sambil menunggu giliran dipanggil namanya oleh petugas loket pembayaran rekening listrik. Kebetulan Ogi sekolah siang hari. Jadi pagi-pagi udah bisa ngantri untuk bayar tagihan listrik. Ogi dapet nomor antrian 99. Sementara yang sedang dipanggil adalah nomor 50. Jadi masih cukup lama nungguin. Daripada bengong, Ogi baca buku kesayangannya. Sebuah komik. Tapi Ogi nggak mau tahu. Ia nggak pernah jaim. Pokoknya, kalo emang suka ya ia bakalan baca. Komik yang sedang Ogi baca adalah Kobo Chan. Hihihi.. udah segede gitu masih baca komik anak-anak.
“Geser tempat duduknya dong!” seorang bapak dengan asap mengepul dari dalam mulutnya. Jari tangannya menjepit sebatang rokok merek terkenal.
“Hhh.. nggak sopan. Bau naga lagi!” Ogi ngedumel dalam hati. Tapi ia tetap menggeser posisi duduknya untuk memberi ruang kosong kepada si bapak tersebut.
“Kamu kok nggak sekolah, malas sekolah ya? Jangan malas, negeri ini masih butuh banyak orang pinter” si bapak dengan kumis tebel melintang di atas bibirnya ini tiba-tiba nyeramahin Ogi.
“Maaf ya, Pak, tolong matikan dulu rokoknya. Ini kan tempat umum,” Ogi tiba-tiba bersuara dan mengagetkan si bapak tersebut. Tapi rupanya si bapak nggak terima. Matanya mendelik kayak mo keluar.
“Kamu tahu apa soal peraturan. Merokok hak saya. Mau apa kamu? Mau nantangin saya ya?” si bapak sewot sambil berdiri kacak pinggang. Ogi diam saja.
“Kamu merasa tersinggung ya saya ceramahin?” si bapak melotot. Kumisnya bergerak-gerak kayak ulet bulu saat dia ngomong. Matanya merah.
“Maaf Pak. Bukan saya marah atau saya nggak suka diceramahin sama bapak…” Ogi nggak ngelanjutin omongannya karena keburu dipotong sama si bapak berwajah garang bin sangar itu.
“Oohh.. jadi kamu bisa ngelawan juga ya. Kamu melawan orangtua ya?” cecar si bapak sambil menarik kerah baju Ogi. Orang-orang di sekitar yang awalnya cuek jadi panik dan segera melerai perselisihan itu.
“Sabar pak, sabar!” orang-orang nasihati si bapak.
“Jangan ikut campur!” gertak si bapak.
Nggak ada yang berani mendekat karena si bapak tadi kemudian mengacungkan sebilah pisau belati yang ia ambil dari balik jaketnya. Suasana makin tegang. Ogi sendiri tetap dalam kondisi leher hampir tercekik. Ogi meronta sebisanya. Tapi rasanya tuh cengkeraman tangan kekar si bapak makin kuat menekan. Sia-sia usaha Ogi.
“Kamu mau jadi jagoan? Kamu nggak tahu siapa saya?” si bapak merah matanya.
“Ma.. ma.. maaf pak, saya bukan mo nantangin bapak, tapi saya…” Ogi gugup.
“Kamu tahu ini apa? Mau kamu saya gores dan tusuk dengan benda tajam ini?” si bapak mengancam. Suasana makin tegang. Beberapa orang kemudian mendekat hendak mengambil benda tajam itu dari tangan si bapak.
“Awas kalian! Kalo mendekat, benda ini akan saya tusukkan ke leher anak kurang ajar ini. Cepat mundur!” si bapak mengancam orang-orang yang hendak merebut belati dari tangannya.
Satu per satu mereka mundur. Menjauh dari si bapak dan Ogi. Beruntung kejadian itu nggak berlangsung lama karena beberapa petugas satpam langsung mengamankan si bapak. Anehnya si bapak ini nggak melakukan perlawanan. Nggak ngancem kayak ke orang-orang tadi.
“Apa dia takut sama satpam?” Ogi membatin setelah tangan si bapak melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Ogi.
Baru saja Ogi mau ngucapin terima kasih ke satpam. Si bapak yang tadinya galak malah tersenyum dan melepaskan kumis. Rupanya itu kumis palsu. Kemudian ia bilang ke Ogi sambil nunjuk ke kamera tersembunyi.
“Kamu baru saja masuk tivi di acara kami. Acara reality show baru: Tegang Nih Yee…” Ogi celingukan dan malu udah masuk tivi dalam keadaan yang konyol karena dikerjain.
Ogi nggak jadi marah tapi juga nggak bisa nyembunyiin rasa kesalnya atas kejadian itu. Meski si bapak dan kru acara tivi itu udah minta maaf, Ogi tetap masih shock dan malu ditonton banyak orang. Tapi Ogi nggak berani protes. Kejadiannya berlangsung cepat dan kemudian tiba-tiba datang presenter acara Tegang Nih Yee menyalami Ogi dan ngasih hadiah berupa uang 1 juta rupiah sebagai imbalan karena udah dikerjain kru acara tersebut. Awalnya Ogi nggak mau nerima, tapi kemudian dipaksa harus diterima karena langsung di-shoot untuk tayangan di tivi nantinya. Ogi terpaksa nerima. Perasaan Ogi campur aduk. Seneng, malu, dan juga tegang karena ia pikir beneran. Pengunjung sekitar Ogi juga akhirnya ikut tertawa bersama setelah mengetahui bahwa adegan itu adalah rekayasa. Ah, ada-ada saja. Kru tivi pun bubar. Mungkin nyari korban lain. Ogi kembali duduk manis sambil nunggu giliran dipanggil. Sesekali nerima ajakan ngobrol orang-orang di sekitar tempat duduknya sambil nahan malu.
Saat dipanggil namanya, Ogi buru-buru menuju ke loket pembayaran.
“Tegang ya Dik?” si mbak penjaga loket pembayaran tersenyum genit.
Ogi cuma tersenyum kecut campur malu. Mukanya merah.
“Tapi kan dapet duit sejuta tuh, Gi. Lumayan!” Ogi kaget karena ada suara perempuan nyeletuk dari loket pembayaran sebelah dengan menyebut namanya.
“Rosa!” Ogi setengah nggak percaya.
“Aduh, kenapa dia ada di sini,” Ogi membatin sambil malu banget karena kejadian memalukan itu berhasil dilihat Rosa.
“Eh, jangan bilang ke siapa-siapa ya soal kejadian ini,” Ogi setengah berbisik sambil matanya menatap Rosa penuh harap.
“Nggak kok. Paling nanti satu sekolah pada tahu!” Rosa tersenyum seolah menertawakan kekonyolan Ogi.
“Aduh, ini bukan untuk dipublikasikan,” Ogi menatap Rosa sambil menerima kertas tanda terima pembayaran listrik.
“Udah nggak apa-apa, Gi, kan yang penting kamu dapet duit banyak. Duluan ya… Assalaamu’alaikum,” Rosa pamit sambil tersenyum. Ogi merasa harga dirinya tercabik-cabik. Malu, gitu lho.
“Oh No! Please deh. Kamu jangan bilang siapa-siapa,” Ogi teriak ke arah Rosa dan nggak nyadar kalo dirinya sedang ditonton banyak orang. Phew!
ooOoo
Langit malam dipenuhi bintang-bintang. Berkelipan menghiasi malam yang berhawa hangat. Ogi menatapnya sambil duduk dekat jendela kamarnya. Pikiran Ogi menerawang jauh. Ada banyak pikiran di benaknya. Tapi sebenarnya hanya satu yang dipikirkan, rasa malu kalo temen-temennya tahu dia masuk tivi gara-gara dikerjain kru reality show dari sebuah stasiun televisi.
“Aduh, malu banget kalo temen-temen satu sekolah pada tahu soal kejadian tadi siang,” Ogi mengetuk-ngetukkan jari tangannya ke sandaran kursi.
“Bodo amat ah, kan di situ aku nggak minta. Aku cuma korban!” jerit Ogi dalam hati.
“Tapi Rosa kan tahu Gi, pasti dia akan bagi-bagi info itu ke teman-teman rohis,” suara dari dalam hatinya seolah ngomporin Ogi.
“Hmm.. bener juga ya? Terus apa yang harus aku lakukan?” Ogi ngomong sendiri. Matanya masih menatap bintang-bintang di langit malam. Tapi pandangannya kosong.
“Aku nggak mau tahu. Karena aku cuma korban. Tetap, aku cuma korban!” Ogi berusaha meyakin-yakin diri.
“Tapi kamu tampak konyol dengan adegan seperti itu. Apalagi nanti disiarin ke seluruh isi negeri. Kami jadi bahan tertawaan orang-orang. Kamu nggak malu?” kembali suara dalam hati seolah memojokkan Ogi.
“Kenapa aku harus malu? Memangnya aku berbuat kesalahan? Memangnya aku telah berbuat maksiat? Aku cuma korban. Sekali lagi, cuma korban!” Ogi tetap pada pendiriannya.
“Kamu mungkin menganggap sebagai korban, tapi orang lain yang melihatmu menganggap bahwa penampilan kamu tuh layak untuk dikorbankan,” suara hati itu seperti menertawakan Ogi.
“Hmm.. bener juga ya? Apa penampilanku ini culun? Apa karena aku kurang berwibawa sehingga orang berani ngerjain aku?” Ogi bertanya dalam hati. Menimbang-nimbang pernyataan suara hatinya.
“Bener Gi, apalagi nanti akan dilihat sama Leony. Wah, bisa malu banget tuh. Belum sama Si Paul yang jadi secret admirer-mu itu, pasti mereka akan tersenyum malu melihatmu,” suara dari dalam hati Ogi makin memanaskan hatinya.
“Waduh, bener juga ya? Aku akan tampak konyol karena nggak berwibawa dan akhirnya dikerjain orang,” Ogi bangkit dari duduknya. Jalan mondar-mandir sambil menggigit pensil.
“Hmm.. apa aku datengi aja stasiun televisi yang menayangkan reality show itu?” batinnya sambil menatap kosong screen saver di ponselnya.
“Percuma. Mereka nggak bakalan mau begitu saja menerima keberatanmu, Gi!” suara dari dalam hatinya kembali mementahkan rencananya.
“Biarin, yang penting kan aku udah ngasih pandanganku tentang acara tersebut. Aku memang cuma salah satu korban. Tapi, berapa banyak korban lainnya? Mungkin yang punya penyakit jantung bisa langsung pingsan atau malah meninggal,” kembali Ogi meyakinkan niatnya.
“Jangan sok pahlawan! Kamu pasti nanti dikerjain lagi di sana,” suara dalam hatinya terus saja mengganggu pikiran Ogi.
“Nggak peduli. Yang penting aku bisa mengekspresikan ketidaksukaanku atas acara tersebut. Titik!” Ogi bangkit dari duduknya lalu keluar kamar. Nggak menghiraukan lagi suara-suara dalam hatinya yang bernada mencegah rencananya.
ooOoo
Taman kembang kertas. Siang hari yang mendung.
“Mil, kamu…” belum sempurna kalimat yang diucapkan Ogi, Jamil udah memotongnya sambil tertawa ngakak dan bilang ke Ogi, “Selamat ya, bisa masuk tivi!”
“Deg! Pasti Rosa nih yang bocorin,” Ogi curiga.
“Nggak usah diambil ati, Gi. Lagian itu kan cuma main-main,” Jamil tetap tertawa. Kali ini sambil berurai air mata segala.
“Mil, kok kamu jadi sadis gitu sih. Teroris banget deh. Tertawa di atas penderitaan orang lain,” Ogi ketus.
“Wadoooh… jangan suudzon gitu dong, Gi. Aku kan nggak bermaksud ngeledekin kamu…” Jamil diam sebentar karena dipotong Ogi. Wajahnya berubah jadi serius.
“Lalu apa maumu?” Ogi masih penasaran menahan kesal.
“Maksudku… cuma ngerjain kamu aja…” tawa Jamil kembali meledak sambil lari ke mushola. Dikejar sama Ogi sambil dilempar sama batu-batu kecil yang ada di taman itu.
Sampai di mushola Ogi ketemu Helmi dan Koko yang keduanya sedang baca buku. Sementara Jamil terus ke tempat wudhu. Dia tetap tertawa ngekeh. Ogi nggak ngejar. Ia lebih memilih gabung bareng Helmi dan Koko.
“Eh, Mi. Asyik benar bacanya! Bagi-bagi dong,” Ogi nyalami Koko dan Helmi setelah ngucap salam.
“Baca sendiri aja,” Helmi buka suara.
“Oh, kamu juga rajin baca,” Ogi melirik Koko.
Koko emang termasuk hobi banget baca buku. Apalagi Helmi, liat aja kacamata minusnya, pasti gara-gara sering baca buku. Meski ada bocoran dari pihak intelijen rohis yang dipimpin Jamil, bahwa Helmi pake kacamata tuh bukan karena keseringan baca buku, tapi waktu belum gabung di rohis Helmi dulunya sering ngintip orang mandi! Watau! (apa hubungannya?)
“Gi…” Koko dan Helmi berbisik.
“Lho, kok bisik-bisik sih?” Ogi heran.
“Kamu dapet uang sejuta ya?” Koko senyum.
“Iya Gi, nyumbang dong buat mading rohis nih. Perlu aksesoris baru biar tambah ciamik,” Helmi menatap wajahnya.
Ogi udah keburu curiga. “Jangan-jangan nih anak udah pada tahu kasus dirinya dua hari lalu di loket pembayaran listrik,” batinnya menduga-duga.
“Kok kamu tahu sih?” tanya Ogi singkat sambil ngernyitkan dahinya.
“Ya, pasti tahu dong,” Helmi dan Koko barengan komen.
Ogi celingukan sambil nahan malu.
“Jadi… kamu semua tahu kalo aku dikerjain?” Ogi meyakinkan.
Koko dan Helmi bareng ngangguk lagi.
“Pasti ini gara-gara Rosa!” Ogi setengah teriak.
“Jangan sembarang nuduh, Gi!” Jamil tiba-tiba datang setelah shalat.
“Siapa lagi yang tahu soal ini kecuali Rosa yang lihat kejadian itu?” Ogi nampak nggak habis pikir.
“Kami semua lihat!” Jamil, Helmi dan Koko kompak.
“Hah! Kalian semua tahu?” tenggorokan Ogi terasa tercekik.
Sebelum Ogi ngomong lagi, Jamil bilang, “Karena acara itu semalam ditayangkan di televisi!”
Gubrak! Ogi lemes. Tulangnya terasa copot semua.
“Hehehe… makanya jangan sembarang nuduh, Gi!” Jamil nasihatin.
Ogi diam saja sambil ngebayangin dirinya dikerjain dan dilihat orang seluruh negeri. Malu.
“Ternyata ditertawakan orang itu menyakitkan!” ucap Ogi lirih.
“Deuuuh.. sampe segitunya, Gi!” Koko tertawa.
“Nih ada SMS dari Leony dan Si Paul via Rosa. Tadi pagi Rosa forward SMS tersebut ke aku,” Jamil menyodorkan ponselnya sambil tetap senyam-senyum.
Ogi buru-buru baca isi SMS di ponsel Jamil:
“Rosa, buat Ogi nih: Gi, slmt ya. Trnyt kmu bs dkrjain jg. Lucu liat kmu panik. My hero jg manusia ya. hehehe.. Salam, Si Paul” Ogi nahan napas. Keki banget. Terus membuka SMS dari Leony:
“Rosa, nnti FWD SMS-ku ke Jamil ya utk disampein ke Ogi: Aduuuh.. kecian bgt. Capek2 disklhin cm dikrjain orang. But, aq sk gy kamu di tivi smlm. Aktvs rhis jg bs keder ya. Qeqeqeqe… Aku, Leony”
Ogi menatap mata Jamil sambil tersenyum kecut. Nggak abis pikir. Nasib.. nasib…[]