Program: VOICE OF ISLAM | Rubrik: Keluarga Sakinah | Narasumber : Ir. Ratu Erma Rahmayanti (Pembina Forum Marah Shalihah Pusat Pengembangan Islam Bogor) | Topik: RUMAH IDAMAN KELUARGA
Pengantar:
Rumah idaman identik dengan rumah yang besar, lengkap dengan isinya yang lux alias mewah, dihiasi taman yang asri dan kendaraan mentereng yang terpajang di garasi depan. Kemudian suasana rumah terasa hangat, akrab diantara penghuninya, rumah yang nyaris tanpa cekcok dan berbagai persoalan. Inilah rumah impian setiap orang.
Gambaran ini hampir-hampir saja punah dari benak masyarakat Indonesia. Alih-alih mendapat rumah yang mewah, rumah sempit pun sulit dipunyai. Lihat saja, berapa jumlah keluarga yang terpaksa memilih rumah di kolong jembatan, bantaran kali yang rawan bencana dan penyakit. Suasana kehangatan dan kebahagiaan penghuninya hampir tak terdengar, yang ada hanya suara keluh kesah mereka karena beban hidup yang berat dari hari ke hari.
Sementara kenyamanan, kehangatan dan kebahagiaan kehidupan keluarga merupakan harapan dan kebutuhan setiap orang. Bagaimana sebenarnya Islam menjamin kebutuhan ini, dan apa yang seharusnya kita lakukan untuk mewujudkan gambaran rumah idaman bagi keluarga.
T: Benarkah bahwa rumah yang nyaman, aman, tenang, tentram dan damai menjadi bagian dari gambaran keluarga sakinah?
J: Tentu saja. Karena kesakinahan keluarga tidak hanya berbicara tentang adanya suami sholeh dan istri sholihah dari sisi akhlaq atau perangai saja. Sakinahnya keluarga meliputi segenap hak dan kewajiban yang ada diantara mereka. Keluarga sakinah mengandung kebahagiaan dalam segala hal yang diperlukan manusia. Yaitu kebahagiaan material (termasuk didalamnya rumah yang memadai), kebahagiaan seksual (tidak ada penyimpangan perlaku seksual, tidak ada kekurangan, tidak ada perselingkuhan, dll), kebahagiaan moral (ada contoh moral yang baik untuk semua anggota keluarga), kebahagiaan intelektual (di rumah tersebut semua orang menjadi pintar, cerdas dari sisi keilmuan, rumah menjadi sekolah pertama), kebahagiaan spiritual (manusia sebagai hamba Allah yang punya kewajiban pada penciptanya mendapat tempaan ibadah dari rumah), kebahagiaan ideologis (anggota keluarga mendapat gambaran bagaimana cara menjalani kehidupan dan dapat menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi).
T: Menarik ustadzah, tentang rumah yang luas dalam hadits rasul tadi yang menjadi unsur kebahagiaan hidup manusia. Bagaimana sebenarnya gambaran rumah yang seharusnya dibangun sesuai dengan pemahaman Islam, benarkah harus selalu luas ustadzah?
J: Rumah luas dalam hadits rasul tadi sebenarnya tidak dimaknai dengan rumah yang tanah, bangunan dan halamannya yang luas. Meski itu juga menjadi salah satu rumah idaman yang membahagiakan manusia. Intinya adalah bahwa rumah itu memadai untuk menampung anggota keluarga. Tentu saja semakin banyak anggota keluarga semakin membutuhkan ruangan yang banyak juga. Ini semua mengacu pada pemahaman rumah dalam pandangan Islam. Rumah itu harus menjadi tempat yang dapat melindungi fisik manusia dari cuaca, bencana alam, polusi, kebakaran, dsb. Intinya rumah itu harus menjadi tempat yang benar-benar aman dan sehat. Rumah itu harus bisa melindungi harta, melindungi kehormatan, melindungi keturunan dari kerusakan. Rumah Islam dibangun dengan arsitektur yang dapat memenuhi seluruh hal tadi. Rancang bangunnya tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar, tidak dibangun di daerah rawan banjir, tidak di tanah yang labil, tidak di bantaran kali, dsb. Rumah yang memiliki sedikitnya tiga kamar tidur (kamar orangtua, kamar anak laki-laki, kamar anak perempuan), ruang tamu, ruang keluarga, kamar mandi, dapur. Itu gambaran minimal jumlah ruangan yang harus ada.
T: Menarik sekali ustadzah, paling sedikit empat ruangan dengan fungsi yang berbeda. Mengapa demikian?
J : Ya, ini semua berlandaskan pada gambaran kehidupan rumah tangga dalam Islam. Rumah tangga islami adalah rumah yang secara fisik kondusif bagi terlaksananya peraturan Islam. Adab-adab islam dalam kehidupan rumah tangga akan sulit diaplikasikan jika struktur bangunan rumah yang dimiliki tidak mendukung. Di sisi inilah pembahasan tentang rumah tangga islami banyak dilupakan. Dalam budaya masyarakat daerah tertentu lantaran permasalahan ekonomi, rumah mereka hanyalah bangunan segi empat tanpa sekat ruang di dalamnya. Ruang tidur tak bersekat dengan ruang tamu, dapur, bahkan di desa-desa terpencil dengan kandang sapi. Tempat tidur mereka hanya berupa ranjang bambu yang panjang dan luas. Mereka sekeluarga tidur berjajar di atasnya. Tidak ada tempat tidur khusus bagi kedua orang tua yang terpisah dari anak-anak dan ruang tamu. Tidak ada ruang khusus bagi anak-anak perempuan yang terpisah dengan anak-anak laki-laki. Berbagai penyakit (penyimpangan sosial) akan mudah didapatkan dalam kondisi semacam itu. Kenyataan lain dalam masyarakat modern sekarang, problem perumahan merupakan suatu hal yang mendesak bagi tiap keluarga. Selain harga tanah yang terus-menerus bertambah tinggi dari waktu ke waktu, juga kemampuan ekonomi bagi kalangan menengah ke bawah yang makin tak bisa menjangkau harga perumahan yang bisa dianggap layak huni. Akibatnya, berbagai kompleks perumahan sederhana, rumah susun bahkan umah sangat sederhana, dibangun untuk membantu mengatasi probelm itu. Ruang-ruang yang amat terbatas dan sempit serta jarak antar rumah yang hanya berbatas satu tembok merupakan pemandangan yang sudah dianggap biasa. Berbagai penyakit sosial merupakan ancaman serius dalam kompleks semacam itu. Tercukupinya kebutuhan materi secara wajar. Demi wujudkan kebaikan dalam rumah tangga islami itu, tak lepas dari faktor biaya. Memang, materi bukanlah segala-galanya. Ia bukan pula merupakan tujuan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Akan tetapi, tanpa materi banyak hal yang tak bisa didapatkan.
tG/$#ur !$yJ? ?9t?#u !$# u?#$!$# notzFy$# ( ?wur ?[Ys? y7t7?tR ?B $u?R??9$# ( `šmr&ur !$yJ?2 z`|mr& !$# ??s9) ( ?wur 7s? y?$|x9$# ? ?F{$# ( b) !$# ?w =t? t?šJ9$#
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagaimana bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. (Al Qashash:77)
Tindak lanjut dari konsekuensi di atas dengann amat jelas menggambarkan betapa keluarga muslim dituntut memiliki materi yang cukup. Rumah yang luas dan kondusif pun juga dibutuhkan bagi upaya terbentuknya suasana islami, walau bukan berarti rumah mewah yang lengkap dengan sarana-sarana kemewahan. Akan tetapi, melihat harga tanah maupun bahan bagunan saat ini yang cenderung menaik, mau tak mau harus tersedia materi yang cukup untuk kebutuhan tersebut. Bukan hanya itu, bahkan untuk sarana berlangsungnya pendidikan islamiyah dalam keluarga pun membutuhkan sejumlah materi. Membuat perpustakaan kecil di rumah atau menghadiri sarana-sarana bermain islami yang mencerdaskan anak juga memerlukan biaya. Belum lagi untuk pendidikan yang bermutu. Semua tak bisa dilepaskan dari faktor materi.
T: Ustadzah, kita semua tahu dan merasakan saat ini untuk mendapatkan rumah yang minimalis saja tidak mudah, padahal fungsi rumah sedemikian pentingnya untuk keamanan dan ketenangan kehidupan. Bagaimana islam mensikapi fakta ini?
J: Kita semua faham rumah adalah kebutuhan primer bagi manusia. Rumah sebagai kebutuhan hidup diperoleh dengan cara upaya individu untuk mendapatkan rumah (membeli, menyewa/kontrak), adanya hukum waris, adanya hibah (hadiah) rumah untuk seseorang dari seseorang, dan adanya keluarga besar yang memberi kesempatan pada keluarga baru yang belum memiliki rumah. Mekanisme ini yang dijelaskan dalam Islam untuk pemenuhan kebutuhan. Dan ini tidak hanya rumah tapi juga kebutuhan yang lain. Bagi mereka yang tidak mampu bekerja atau tidak mendapatkan waris, atau tidak punya kerabat yang bisa menampung, maka kebutuhan hidup mereka menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Misal untuk individu yang cacat, sebatang kara mereka menjadi tanggungjawab negara. Disisi lain negara sebagai penyedia fasilitas harus menyediakan lapangan pekerjaan agar kepala keluarga bisa memperoleh pendapatan yang salah satunya dipergunakan untuk membeli/menyewa rumah. Lahan/areal perumahan harus disediakan hingga menjamin kecukupannya. Tak akan dibiarkan siapapun yang tidak memiliki tempat tinggal. Pemilihan area perumahan disesuaikan dengan kebutuhan rumah yang aman dan nyaman tadi. Baik dari segi lokasi yang tidak tercemar, bebas polusi, tidak rawan bencana, keamanan terjamin, dsb. Demikian juga dengan aspek kenyamanan dalam pergaulan bermasyarakat. Semisal ditetapkan bahwa setiap rumah harus diberi pagar yang tidak terlalu tinggi, atau membuat rumah tingkat yang tidak menghalangi pencahayaan rumah tetangganya. Sehingga diatur jarak antar rumah agar tidak terlalu berdekatan. Diperhatikan drainase, ada kontrol pemerintah terhadap para pengusaha pengembangan perumahan (property, developer). Intinya bahwa negara harus memiliki jiwa pelayanan bagi masyarakat. Jiwa ini sekarang tidak lagi seutuhnya ada pada pemerintah kita
T: Bagaimana ustadzah mengatakan demikian, dan seharusnya bagaimana masyarakat bersikap?
J: lawan dari jiwa pelayanan adalah jiwa menganiaya/mendzolimi. Bagaimana tidak dikatakan dzolim, rumah yang menjadi kebutuhan primer masyarakat susah untuk dimiliki sama saja halnya dengan makanan dan pakaian. Urusan pemenuhan kebutuhan pokok menjadi mutlak ditangan individu, siapa yang punya duit dia bisa punya. Yang tidak? Selamat merana. Semua jadi serba sulit, izin membangun mahal dan sulit, harga bahan bangunan mahal dan sulit, pajak rumah besar, lapangan kerja sulit, wah dan seabrek kesulitan lainnya. Pemerintahnya sudah bernisnis tidak lagi melayani. Padahal mendapat rumah layak, memadai jumlahnya dan kebutuhan pokok lainnya adalah hak setiap warga masyarakat. Rakyat harus menuntut kembali apa yang menjadi haknya. Harus berjuang.[]