Potret Buram Dunia Pendidikan

Program: Voice of Islam | Rubrik: Homeschooling | Narasumber: Ir. lathifah Musa | Topik: POTRET BURAM DUNIA PENDIDIKAN

Usai sholat janganlah lupa berzikir

Merenungi diri yang masih banyak berdosa

Mengapa generasi kita lambat berfikir

Sementara fisik cepat tumbuh dewasa

MediaIslamNet.Com–Home schooling kami hadirkan sebagai alternative pendidikan berkualitas dalam keluarga kita di tengah arus liberalisasi dan kapitalisasi yang semakin merusak dan mematerialistiskan dunia pendidikan.

Dalam rubric ini kita akan masih akan berbincang-bincang dengan Ustzh Ir Lathifah Musa. Beliau selain merupakan pemimpin redaksi majalah udara VOI, konsultan klinik anak muda, ternyata juga menjadi pengamat dunia anak, penulis buku-buku pendidikan anak usia dini dan sekaligus juga seorang praktisi Homeschooling dalam keluarga. Tema kita berjudul

PROBLEM DUNIA PENDIDIKAN

Ustadzah,  dari pantunnya saja sudah tergambar adanya problem dalam dunia pendidikan. Bisa dijelaskan problem tersebut?

Problem ini kita perbincangkan tidak dalam rangka menyalahkan pihak manapun yang terkait dengan dunia pendidikan.  Ini sekedar pemaparan, agar kita semua memiliki kesadaran untuk turun tangan menangani lebih lanjut. Problem yang dimaksud di sini memang bisa terdiri dari dua sisi. Sisi pertama dari ranah pendidikan itu sendiri, yakni menyangkut kurikulum. Sementara ranah kedua adalah dari sisi sistem sosialnya. Di dalam Islam, untuk pendidikan dasar saja, kita menyebutnya pra baligh, targetnya adalah menyiapkan anak untuk bisa menjadi menjadi manusia dewasa. Ukuran-ukuran dewasa saat ini dalam sistem pendidikan maupun sistem social sudah tidak sama. Ukuran dewasa dalam islam adalah ketika seorang anak perempuan telah mendapatkan haidh, dan ini memungkinkan pada usia 9 tahun. Sementara anak laki-laki ketika mimpi basah, dan ini pada usia 12-13 tahun saat ini sudah memungkinkan. Namun apakah pendidikan kita sudah mempersiapkan anak menyambut saat dewasanya? Kenyataannya belum. Anak sekarang belum siap menyambut masa dewasanya secara syar’iy. Karena memang kebanyakan kita orang tua tidak merasa bertanggung jawab untuk menyiapkannya.

Bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa anak sekarang belum siap menyambut usia dewasa?

Sebenarnya sama saja ini juga terjadi ketika kita masih usia mereka. Karena sistem pendidikan kita memang tidak berangkat dari kesadaran keislaman kita sendiri. Tapi produk penjajah dan umat lain. Sebagai contoh, standar seorang muslim ketika ia sudah dewasa adalah telah terbebani beban taklif seorang mukallaf (orang dewasa). Dia wajib sholat, dia wajib menutup aurat, ia harus mampu mandiri terhadap dirinya sendiri, mengenal mana yang baik dan yang buruk sesuai standar syara’, sehingga bisa menjalankan kewajiban dan menjauhi kemungkaran. Tapi ini saja belum bisa dicapai secara umum. Dari sisi cara berpikir, mereka belum bisa berfikir sebagaimana manusia dewasa yang memiliki kesadaran dan tanggungjawab terhadap dirinya, keluarganya dan masyarakatnya, apalagi negara dan agamanya. Sementara di sisi lain, problem sosialnya adalah anak dibombardir oleh media dengan pemikiran-pemikiran seks bebas, kehidupan yang hedonis/mencari kenikmatan sebesarnya untuk diri sendiri, yang bisa menstimulasi naluri seksual untuk ingin segera dipenuhi. Padahal akal mereka masih belum memiliki kesadaran. Akhirnya, kehidupan bebas menjamur, anak-anak remaja sekarang banyak yang sudah me njalani kehidupan bebas. Pacaran, hamil di luar nikah, aborsi dll.

Di satu sisi memang anak-anak sekarang sudah kenal pacaran, tapi sepertinya tidak paham dan cuek dengan segala konsekuensinya. Bagaimana menurut ustadzah?

Inilah yang dimaksud, mereka lambat dewasa secara pemikiran atau akal, tetapi cepat matang secara biologis. Secara gizi juga lebih baik, tapi pola fakir untuk menyiapkan kematangan tersebut tidak dipersiapkan. Ditinjau dari sisi kurikulum, anak-anak tidak memiliki standar yang jelas untuk tumbuh kembang akalnya. Materi pelajaran sangat padat, berat dan ukuran apakah anak telah berhasil menyeleaikan pendidikan tersebut hanyalah dari benar tidaknya mereka menjawab soal-soal tulisan. Padahal ukuran tersebut belumlah dapat mewakili apakah cara berfikir anak dan pola perilakunya telah sesuai dengan standar kematangan. Satu daerah belum tentu sama dengan daerah lain. Satu wilayah belum tentu sama dengan wilayah lain. Proses pencapaian tingkat pemikiran yang baik akhirnya tidak hanya bisa dibaca dengan kemampuan menjawab soal yang diseragamkan. Dalam kurikulum SD saja, apakah ada penyiapan agar ketika mereka dewasa secara hukum syara’, mereka bisa dipastikan siap menjalani kehidupan sebagai seorang muslim dewasa? Padahal saat dewasa itulah secara pahala dan siksa mereka sudah menerima. Dalam ukuran umum tidak. Karena mohon maaf kami tidak membahas sekolah-sekolah yang menerapkan kurikulum khusus seperti pesantren, SDIT atau yang lain. Ketika sekolah atau pesantren atau madrasah juga menerapkan kurikulum yang sama, maka tentu hasilnya sama.

Bagaimana dengan problem sistem sosial seperti yang sudah disinggung tadi, apakah bererti orang tua dan masyarakat punya peran?

Jelas. Sebagai orang tua, kita semua terbebani dengan tanggung jawab mendidik anak dan menyiapkan anak untuk siap menjalani kehidupannya di usia dewasa. Ketika sebagai orang tua kita tidak peduli dengan problem ini, kemudian anak menjalani kehidupan dewasa dengan banyak pelanggaran-pelanggaran karena kita belum mendidik dan menyiapkannya secara baik, maka kita juga akan berdosa. Ketika kita hanya menyerahkan pada pendidikan formal, tidak memantau, tidak mengerti prosesnya, kemudian ketika anak tidak sesuai keinginan, lalu kita menyalahkan sekolah atau gurunya. Padahal sebenarnya kitalah yang paling bersalah. Kita merasa cukup hanya menyekolahkan anak di sekolah mahal, atau bahkan yang gratis sekalipun. Tapi kita tidak mengerti apa yang diserap oleh anak-anak kita. Kita tidak mau tahu apakah anak kita sudah paham atau malah stress. Kita tidak peduli apakah anak-anak kita nyaman di lingkungan sekolahnya atau tidak. Padahal seharusnya sebagai orang tua kitalah yang masih harus membentuk dan mengarahkan mereka untuk tumbuh di lingkungan sosial yang aman. Problem sistem sosial yang menyedihkan adalah karena memang ternyata negara kita mengadopsi UU yang melambatkan kedewasaan. Dalam UU perkawinan saja usia dewasa aanak perempuan 16 tahun. Usia dewasa dalam UU Perlindungan anak bahkan 18 tahun. Nanti dalam UU Kepemudaan yang akan digulirkan bisa lebih lambat lagi. Padahal bayangkan saja ketika anak akil baligh pada usia 10 tahun misalnya, berapa tahun kemudian mereka kita biarkan tetap berfikir bahwa mereka anak-anak. Padahal hukum Allah sudah menetapkan mereka bukan anak-anak lagi.  Sehingga sistem perundang-undangan kita mengadopsi UU barat yang memang tidak merujuk sama sekali kepada Islam.

Apa yang harus dilakukan oleh orang tua sekarang?

Mau tidak mau menyadari kekeliruan ini dan mulai berbenah diri. Ketika kita belum bisa berharap kepada idealitas sistem, maka orang tua harus bertanggung jawab terhadap anak-anaknya sendiri. Allah SWT berfirman: “…Yaa ayyuhalladziina aamanuu. Quu ‘anfsakum wa ahlikum naaran, wa quuduhaannaasu wal hijaroh. Uiddats lil kaafiriin.”[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *