Oleh Umar Abdullah
Setelah Desember 2009 lalu terungkap kasus penelantaran anak di Depok, maka awal Februari 2010 terungkap lagi kasus penelantaran anak di Tangerang. Latar belakang kasusnya hampir sama, persoalan ekonomi! Orang tua si anak kesulitan uang, lalu mereka pergi menelantarkan anak-anaknya. Fenomena penelantaran anak diduga banyak terjadi di lingkungan kita. Kenapa hal ini bisa terjadi?
HILANGNYA RASA SAYANG
Kita berharap bahwa penelantaran anak ini hanya karena ketidaktahuan sang orang tua kemana lagi mencari pemecahan persoalan ekonomi keluarganya, bukan karena sudah hilang rasa kasih sayang kepada anak-anaknya. Karena jika karena rasa kasih sayang yang telah sirna maka persoalan akan menjadi lebih rumit.
Islam melarang penelantaran anak-anak. Jangankan menelantarkan manusia, menelantarkan kucing dengan mengurung dan tidak memberi makan dan minum saja sudah dilarang. Rasulullah saw bersabda:
“Dakhalatimra`atun naara fii Hirratin.”
Artinya: “Seorang wanita masuk Neraka karena seekor kucing.”
Hadits ini berkenaan adanya seorang wanita yang mengurung seekor kucing tanpa memberinya makan dan minum. Maka balasan baginya adalah ia akan masuk neraka karena ia menganiaya kucing tersebut, tidak memberinya makan, atau melepaskannya sehingga si kucing dapat bebas mencari makan sendiri.
Islam mengecam orang yang sudah hilang rasa kasih sayangnya kepada manusia. Rasulullah saw bersabda:
”Laa yarhamullaaHu man laa yarhamun naasa”
Artinya: ”Allah tidak akan menyayangi orang yang tidak sayang kepada manusia.”
NAFKAH ANAK KEWAJIBAN SANG AYAH
Islam mewajibkan seorang laki-laki untuk menafkahi (berdasarkan prioritasnya): 1) dirinya sendiri, 2) keluarganya (istrinya, kedua orang tuanya, dan anak-anaknya), 3) kerabat dekatnya, dan 4) tetangga depan, kanan dan kirinya. Rasulullah saw bersabda:
“Mulailah dari dirimu. Maka nafkahilah dirimu. Apabila ada suatu kelebihan, maka peruntukkan bagi keluargamu. Jika masih ada sisa dari kelebihan (setelah memberi nafkah) terhadap keluargamu, maka peruntukkan bagi kerabat dekatmu, maka beginilah. Dan begitulah (yang seharusnya) dia katakan. Maka, (mulailah) dari yang di depanmu, lalu terhadap kananmu, serta kemudian terhadap kirimu.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, bagi seorang laki-laki yang memiliki anak, nafkah untuk mereka termasuk kewajiban yang harus diprioritaskan. Mereka harus dinafkahi untuk kebutuhan primer mereka: makanan/ minuman, pakaian dan tempat tinggal mereka. Juga untuk kebutuhan sekunder mereka seperti kebutuhan transportasi. Adapun kebutuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan sebenarnya menjadi tanggung jawab Negara untuk memenuhinya.
JIKA AYAH TAK MAMPU MENAFKAHI ANAK-ANAKNYA
Jika sang ayah telah bekerja keras membanting tulang namun penghasilannya tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan primer sang anak, maka sang ayah harus segera meminta bantuan ahlu waris sang anak karena ahlu waris juga berkewajiban menafkahi anak tersebut.
“Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani, selain menurut kadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikan.” (TQS. Al-Baqarah: 233)
Waris di sini adalah siapa saja yang berhak mendapat warisan jika sang anak meninggal dunia. Jika yang meninggal orang yang dewasa, maka ada 25 orang yang bisa menjadi ahli waris: 15 orang dari kalangan laki-laki dan 10 orang dari kalangan perempuan. Tapi bagi anak yang belum dewasa ahli warisnya (selain ayahnya) ada enam pihak: 3 orang dari kalangan laki-laki dan 3 orang dari kalangan perempuan.
Tiga orang laki-laki yang menanggung nafkah sang anak adalah:
- Kakek sang anak dari pihak bapak, yaitu bapak dari bapak dan seterusnya hingga ke atas.
- Paman sang anak baik paman yang seibu-sebapak dengan bapak, maupun
- Paman sebapak, yaitu saudara laki-laki bapak yang sebapak
Tiga perempuan yang menanggung nafkah sang anak adalah:
- Ibu sang anak. Aslinya, ayah saja yang menanggung nafkah anak, namun jika ayah sedang tidak sanggup maka sang ibu wajib menanggung nafkah sang anak.
- Nenek dari pihak ibu sang anak, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya hingga ke atas
- Nenek dari pihak ayah sang anak, yaitu ibu dari ayah atau ibu dari kakek dan seterusnya hingga ke atas
Insya Allah pertolongan dari enam pihak ahlu waris tersebut bisa memenuhi kebutuhan primer dan sekunder sang anak.
Selain enam pihak tadi, Islam juga mendorong dan memuliakan karib kerabat yang mau menolong kerabatnya yang sedang dalam kesulitan, termasuk kesulitan ekonomi menafkahi anak-anaknya. Rasulullah saw bersabda:
”Penghuni surga itu ada tiga golongan: Pertama, penguasa yang adil, suka bersedekah, dan sesuai dengan syariat. Kedua, (”…Wa rajulun rahiimun raqiiqul qalbi likulli dzi qurbaa wa muslim…”) orang yang penyayang, hatinya mudah trenyuh untuk membantu kerabat dan orang Islam. Ketiga, orang yang menjaga kesucian diri dan terjaga kesuciannya, sementara ia mempunyai keluarga.
Demikianlah profil keluarga inti, keluarga besar, dan karib kerabat dalam Islam. Mereka saling menolong dan tak akan membiarkan satu pun anggota keluarga dan kerabatnya terlantar.
JIKA TIDAK ADA KELUARGA BESAR YANG MENANGGUNG
Sering terjadi, seseorang tidak punya keluarga yang bisa menanggung nafkahnya. Mungkin karena keluarga besarnya seluruhnya sedang terkena krisis keuangan, atau mungkin terjadi bencana alam yang menyebabkan seorang anak menjadi sebatang kara. Maka dalam kondisi semacam ini pemberian nafkah sang anak menjadi tanggung jawab Negara Islam. Rasulullah Muhammad saw bersabda, “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka untuk warisnya. Dan siapa saja yang meninggalkan “kalla” (orang yang lemah dan tidak punya anak dan orang tua), maka dia menjadi kewajiban kami.” Perlu diingat, bahwa selain sebagai nabi, saat itu Muhammad saw juga kepala negara Daulah Islamiyah.
Pemenuhan nafkah sang anak oleh Negara Islam ini diambilkan dari Kas Negara (Baitul Maal) pada Pos Zakat. Jika dana pada Pos Zakat telah habis, maka diambilkan dari Pos yang lain.
TANGGUNGAN ORANG-ORANG KAYA
Jika dalam Baitul Mal (Kas Negara) tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban memberi nafkah terbebankan kepada seluruh kaum muslimin yang kaya. Allah SWT berfirman:
“Dan di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapat bagian.” (TQS. Adz-Dzariyat: 19)
Rasulullah saw juga bersabda, “Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangga sampingnya kelaparan, sementara dia mengetahui.” (HR. Al-Bazzar)
PENUTUP
Kasus-kasus penelantaran anak sungguh memberi pelajaran yang sangat berharga untuk kita. Bagaimana seorang yang mencari istri, harus mencari perempuan yang penyayang yang tidak akan menelantarkan anaknya bagaimana pun keadaannya, bukan sekedar karena dia cantik. Bagaimana seorang yang mencari suami, harus mencari laki-laki yang bertanggung jawab atas anak-anaknya, mau bekerja keras, dan tahu jalan keluar jika terjadi kesulitan menafkahi anak-anaknya, bukan sekedar yang ganteng tapi tega meninggalkan istri dan anak-anaknya terlantar. Bagaimana keridhaan keluarga besar juga harus didapatkan ketika akan menikah, sehingga pembelaan mereka terhadap anak-anak kita pun tidak perlu dipertanyakan lagi. Dan terakhir, sudah saatnya kita tinggalkan negara brengsek yang tidak bertanggung jawab kepada anak-anak terlantar di depan hidungnya dan lebih suka menanggung kerugian para kapitalis perbankan, menuju negara yang Islami yang dipimpin oleh orang-orang yang welas asih ke seluruh rakyatnya, termasuk ke anak-anak.[]