Program: VOICE OF ISLAM | Rubrik: Keluarga Sakinah | Narasumber: Ir. Ratu Erma Rahmayanti (Pembina Forum Mar’ah Shalihah Pusat Pengembangan Islam Bogor) | Topik: KELUARGA SAKINAH; DAMBAAN SETIAP ORANG
Pengantar:
MediaIslamNet.Com–Berbincang tentang keluarga sakinah mawaddah wa rohmah tentunya berbicara gambaran dan kondisi sebuah rumah tangga. Siapapun tahu rumah tangga atau keluarga itu ada karena proses pernikahan. Tidak mungkin kan, bicara keluarga sakinah kalau tidak terjadi pernikahan? Dan amat sangat mustahil sepasang laki-laki dan perempuan akan merasakan kesakinahan dan mawaddah wa rohmah jika tidak dalam ikatan pernikahan.
Jadi, bagaimana dengan sepasang muda mudi yang berpacaran dan larut dalam nikmat asmara dan kesenangan apa bisa disebut mereka merasakan kesakinahan, mawaddah wa rohmah? Kalau kesakinahan, mawaddah wa rohmah sekedar diartikan ketenangan, cinta dan kasih sayang, yang pacaran pun katanya merasakan itu. Tapi bagaimana dengan kesakinahan yang sejati? Tentu saja jawabnya tidak. Karena mereka berhubungan tidak melalui jalur yang semestinya alias ilegal. Dan perlu dicatat, yakin dan pasti pasangan suami istri yang menikah karena kecelakaan, kesakinahan, mawaddah wa rahmah tidak akan pernah ditemuinya karena mereka mengawali hubungan dalam kesalahan.
Nah, untuk lebih jelasnya bagaimana gambaran keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah yang kita bisa singkat SAMARA yang sesungguhnya, kita akan berbincang-bincang dengan ustadzah Ir. Ratu Erma Rachmayanti yang telah hadir di tengah kita.
Bagaimana sebenarnya gambaran sakinah, mawaddah wa rahmah dalam sebuah keluarga? Gambaran ini amat penting karena semua orang menginginkannya.
Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillah wa syukrillah dst. Keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah bermula dari sebuah janji antara seorang laki-laki dan perempuan yang sudah berazam untuk mengarungi kehidupan bersama. Janji itu kita sebut dengan akad dan dalam Al-Qur’an Allah SWT menyebutnya dengan ”miitsaqon ghalidzo” (perjanji yang kuat, An-Nisaa:21). Kapan seseorang dikatakan telah berazzam untuk menikah? Yaitu ketika Allah SWT mengetuk pintu hatinya, mengingatkan bahwa telah tiba waktunya ia menikah. Allah pertemukan ia dengan pasangannya dan muncul niat untuk menikah dengannya. Dan ini luar biasa, sulit untuk tidak dikatakan bahwa semua ini merupakan ketentuan-Nya.
Sebuah pernikahan erat kaitannya dengan akad, sebuah perjanjian yang hanya berlangsung dalam hitungan detik. Namun jangan salah perjanjian ini adalah perjanjian berat yang tidak mudah dicerai-beraikan serta memuat banyak konsekuensi. Bayangkan, dalam waktu singkat telah terjadi penyerahan tanggungjawab dari orang tua kepada seorang laki-laki atas hidup seorang perempuan. Ini kata kuncinya, ”tanggungjawab atas hidup seorang perempuan ”. Artinya apa? Suami bertanggungjawab memelihara kehidupan makhluk Allah yang bernama perempuan. Kebutuhan hidup perempuan – sebagaimana halnya laki-laki – mencakup kebutuhan fisik dan mental (jasmani dan ruhani), harus dipenuhi oleh seorang suami. Yang jika diurai kebutuhan tersebut mencakup kebutuhan materi, seksual, moral, intelektual, spiritual dan ideologis.
Jadi, pernikahan bukan cuma bermodal cinta (hawa nafsu = sekedar suka akan sisi keperempuanan ataupun kelelakian) dan bukan pula sekedar bermodalkan uang semata, karena tolok ukur siap tidaknya seseorang untuk menikah tidak hanya ditentukan oleh kesiapan materi. Ini yang sekarang banyak terjadi, kalau belum punya uang rasanya ”terlarang” untuk menikah. Meski demikian persoalan bekal materi juga penting, tapi bukan yang terpenting. Allah telah berjanji akan mencukupkan materi bagi hambanya yang berazzam untuk menikah.
Hal paling penting yang perlu disiapkan dalam menghadapi pernikahan adalah kesiapan ilmu dan pemahaman. Pasangan yang akan menikah harus mengerti prinsip-prinsip berkeluarga, tujuan berkeluarga, fungsi sebuah keluarga, hak dan kewajiban yang harus ditunaikan, dan segala yang terkait dengan bekal pemahaman. Ibarat akan membangun rumah, perlu ada gambaran rumah yang diinginkan. Mulai dari arsitekturnya, pondasinya, rangka rumahnya, pelengkapnya, dsb.
Suami istri itulah sang arsitekturnya. Karena Islam memandang setiap anggota keluarga sebagai pemimpin dalam kedudukan masing-masing (Lihat HR. Bukhari dan Muslim). Dia yang akan merekonstruksi wujud keluarga. Jadi, suami harus mengerti hak dan kewajiban, begitupula sang istri. Setelah mereka punya anak, si anak juga dibimbing oleh orang tua untuk mengetahui dan menunaikan hak dan kewajibannya.
Satu lagi yang penting dalam membangun keluarga SAMARA, yaitu terjadi tawazun (keadilan atau keseimbangan) antara peran masing-masing anggota keluarga. Bila semua pemahaman tadi berjalan, maka saat itu terwujud kesakinahan, mawaddah dan rahmah di tengah keluarga. Sebaliknya tentu saja, bila prinsip berkeluarga tidak dipegang, tujuan berkeluarga tidak diupayakan untuk direiah, fungsi keluarga tidak dijalankan, tugas masing-masing anggota keluarga dilalaikan, pasti kesakinahan itu tidak pernah akan dirasakan.
Kalau begitu, apa yang harus diketahui oleh masing-masing individu anggota keluarga bila ingin keluarganya merasakan kesakinahan?
Masing-masing harus tahu untuk apa mereka melangsungkan pernikahan, apa saja sih yang akan terjadi bila mereka menikah, hak dan kewajibannya apa saja yang harus mereka penuhi dan ditunaikan. Setelah tahu kemudian dijalankan dengan ikhlas dan sadar bahwa suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawaban. Masing-masing harus menjalankan secara rutin dan simultan (istimror dan istiqomah) perannya, dengan dibekali ketawakkalan dan kesabaran. Karena berumah tangga bukan berjalan di jalan yang bebas hambatan. Masing-masing akan diuji untuk dipastikan seberapa kuat mereka memegang pemahamannya.
Bagaimana seorang laki-laki dalam hal ini suami atau bapak menjalani tugas di rumah tangganya agar menjadi keluarga SAMARA?
Suami adalah pemimpin di keluarga, ia punya kewajiban mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Alloh SWT dalam hal ini berfirman:
Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Alloh telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta mereka. (Qs. an-Nisaa’: 34).
Menikah bukan hanya masalah mampu mencari uang, walaupun ini juga penting, tapi bukan yang terpenting. Suami bekerja keras membanting tulang memeras keringat untuk mencari rezeki yang halal tetapi ternyata tidak mampu menjadi pemimpin bagi keluarganya. Ini tidak boleh terjadi, karena Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (Qs. at-Tahriim: 6).
Suami juga harus mempergauli istrinya dengan baik:
Dan pergauilah isteri-isteri kalian dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Qs. an-Nisaa’: 19).
Dalam satu kisah diceritakan, pada suatu hari istri-istri Rasul berkumpul ke hadapan suaminya dan bertanya, “Diantara istri-istri Rasul, siapakah yang paling disayangi?” Rasulullah Saw hanya tersenyum lalu berkata, “Aku akan beritahukan kepada kalian nanti.“ Setelah itu, dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah memberikan sebuah cincin kepada istri-istrinya seraya berpesan agar tidak memberitahu kepada istri-istri yang lain. Lalu suatu hari hari para istri Rasulullah itu berkumpul lagi dan mengajukan pertanyaan yang sama. Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Yang paling aku sayangi adalah yang kuberikan cincin kepadanya.” Kemudian, istri-istri Nabi Saw itu tersenyum puas karena menyangka hanya dirinya saja yang mendapat cincin dan merasakan bahwa dirinya tidak terasing.
Bahkan tingkat keshalihan seseorang sangat ditentukan oleh sejauh mana sikapnya terhadap istrinya. Kalau sikapnya terhadap istri baik, maka ia adalah seorang pria yang baik. Sebaliknya, jika perlakuan terhadap istrinya buruk maka ia adalah pria yang buruk.
Hendaklah engkau beri makan istri itu bila engkau makan dan engkau beri pakaian kepadanya bilamana engkau berpakaian, dan janganlah sekali-kali memukul muka dan jangan pula memburukkan dia dan jangan sekali-kali berpisah darinya kecuali dalam rumah. [al-Hadits].
Orang yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Sesungguhnya aku sendiri adalah yang paling baik diantara kalian dalam memperlakukan keluargaku. [al-Hadits].
Begitulah, suami janganlah kesibukannya mencari nafkah di luar rumah lantas melupakan tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga. Suami berkewajiban mengontrol dan mengawasi anak dan istrinya, agar mereka senantiasa mematuhi perintah Allah, meninggalkan larangan Allah swt sehingga terhindar dari siksa api neraka. Ia akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah jika anak dan istrinya meninggalkan ibadah wajib, melakukan kemaksiatan, membuka aurat, khalwat, narkoba, mencuri, dan lain-lain.
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. [HR. Bukhari].
Sama dengan pertanyaan sebelumnya, hanya ini untuk perempuan yang jadi istri, apa yang harus dia lakukan?
Istri mempunyai kewajiban taat kepada suaminya, mendidik anak dan menjaga kehormatannya (jilbab, khalwat, tabaruj, dan lain-lain.). Ketaatan yang dituntut bagi seorang istri bukannya tanpa alasan. Suami sebagai pimpinan, bertanggung jawab langsung menghidupi keluarga, melindungi keluarga dan menjaga keselamatan mereka lahir-batin, dunia-akhirat.
Tanggung jawab seperti itu bukan main beratnya. Para suami harus berusaha mengantar istri dan anak-anaknya untuk bisa memperoleh jaminan surga. Apabila anggota keluarganya itu sampai terjerumus ke neraka karena salah bimbing, maka suamilah yang akan menanggung siksaan besar nantinya.
Ketaatan seorang istri kepada suami dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah jalan menuju surga di dunia dan akhirat. Istri boleh membangkang kepada suaminya jika perintah suaminya bertentangan dengan hukum syara’, missal: disuruh berjudi, dilarang berjilbab, dan lain-lain.
Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu syurga mana saja yang dikehendaki. [al-Hadist].
Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita shalihah. [HR. Muslim, Ahmad dan an-Nasa’i].
Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (Qs. an-Nisaa’: 34).
Ta’at kepada Allah, ta’at kepada Rasul, memakai jilbab (pakaian) yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah. (Qs. al-Ahzab: 32).
Sekiranya aku menyuruh seorang untuk sujud kepada orang lain. Maka aku akan menyuruh wanita bersujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadap mereka. [al-Hadits].
Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan hatimu jika engkau memandangnya dan mentaatimu jika engkau memerintahkan kepadanya, dan jika engkau bepergian dia menjaga kehormatan dirinya serta dia menjaga harta dan milikmu. [al-Hadist].
Apabila terjadi perselisihan diantara suami istri, suami dilarang memukul/menyakiti istri. Untuk menyelesaikannya ada beberapa tahapan yang dapat ditempuh,
Istri-istri yang kalian khawatirkan pembangkangannya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka dari tempat tidur, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membahayakan). Akan tetapi, jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. (Qs. an-Nisaa’: 34).
Hendaklah engkau beri makan istri itu bila engkau makan dan engkau beri pakaian kepadanya bilamana engkau berpakaian, dan janganlah sekali-kali memukul muka dan jangan pula memburukkan dia dan jangan sekali-kali berpisah darinya kecuali dalam rumah. [al-Hadits].
Jika kalian merasa khawatir akan adanya persengketaan diantara keduanya, maka utuslah seorang (juru damai) dari pihak keluarga suami dan sorang juru damai dari pihak keluarga istri. Jika kedua belah pihak menghendaki adanya perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri. (Qs. an-Nisaa’: 35).
Sekarang bagaimana dengan si anak?
Ada kewajiban anak untuk berbuat baik kepada orangtuanya yang bahasa Arabnya Birr ul-wâlidain, artinya semua bentuk kebaikan untuk mentaati kedua orangtua. Bentuk ketaatan yang bisa membuat orangtua menjadi ridlo, hatinya tenang dan bergembira. Beberapa hal yang harus dilakukan anak terhadap orangtuanya: tidak mencaci maki ataupun menghardik betapapun ‘bodoh’ dan bagaimanapun kesalahan mereka, menyelesaikan masalah yang dihadapinya & membebaskan tanggungan mereka, mengurusi dan merawat, menhajikan mereka, membayarkan utang, senantiasa menjalin shilaturrahmi bila anak sudah berkeluarga, dan masih banyak lagi.
Subhaanallah, sedemikian lengkap ya Islam mengatur masing-masing peran dari anggota keluarga. Ternyata gambaran keluarga idaman semua orang ini, bila telah jelas bukan suatu hal yang sulit untuk diwujudkan. Meski berat ya ustadzah, tapi bila kita sungguh-sungguh menginginkannya dan berupaya menjalankannya pasti akan tercapai.
Ya benar. Semua tergantung pada kita. Seberapa besar keinginan kita itu akan terwujud tergantung seberapa cepat kita meraihnya. Bila ingin cepat, bersegeralah untuk menjalankan semua kewajiban dan peran masing-masing untuk memenuhi hak anggota keluarga yang lain. Tunggu apa lagi, bukankah itu yang kita inginkan?[]