Homeschooling [2]: Pendidikan yang Tidak Membebani

Oleh Lathifah Musa

MediaIslamNet.Com–Yang pertama tentunya membebani keuangan orang tua di luar kesanggupannya. Tidak sedikit orangtua yang mengurangi asupan gizi anak-anaknya untuk menyisihkan uang demi membiayai pendidikan anak-anaknya. Mereka mengurangi asupan protein. Mereka tak lagi memberikan susu, padahal anak-anak masih perlu gizi untuk tumbuh secara baik. Anak-anak pun mudah terserang penyakit. Kemampuan konsentrasi berpikir mereka pun rendah.

Sesungguhnya semua yang dilakukan oleh para orang tua ini adalah pilihan terbaik mereka. Semoga mereka mendapat pahala atas semua usahanya. Namun siapapun mata dapat melihat Bung! Bahwa biaya yang dikeluarkan dengan susah payah, dengan cucuran keringat dan air mata, tidak sebanding dengan harapan.

Seringkali orang tua berkeluh kesah, anak-anak mereka sulit dikendalikan. Mengapa mereka justru membawa pulang contoh-contoh kenakalan yang ditirunya dari anak lain ke rumah. Tak sedikit orang tua yang mengerutkan kening, mengapa anakku tak sebagaimana harapan. Sementara kehidupan terus berjalan dengan hutang menumpuk, tunggakan biaya SPP, dan rasa malu karena belum sanggup melunasi.

Ketika kehidupan semakin sulit, biaya hidup selalu meninggi, sebuah beban menyesakkan yang dirasakan dalam kehidupan Kapitalistik, maka biaya sekolah pun hampir pasti selalu naik. Padahal gaji orang tua tak kunjung meningkat. Pendidikan berkualitas pun kembali mengawang, tak terjangkau lagi. Apakah akan muncul sebuah idiom baru di negeri ini? “Faqir miskin dilarang pintar”.

Beban kedua, adalah anak-anak yang sulit menangkap pelajaran secara baik. Kurikulum dipadatkan. Guru mengejar target kompetensi. Anak pun digenjot untuk berlatih terus dan berlatih. Bagi yang ingin mendapat nilai tinggi, usai sekolah mereka les di bimbel (bimbingan belajar) yang kian hari kian menjamur. Sebagai contoh, kepandaian matematika kini punya banyak alternatif pilihan. Mulai dari sempoa (yang konon untuk menyeimbangkan perkembangan otak kanan-kiri), kumon, jarimatika, dan banyak lagi yang senantiasa memunculkan kreativitas cara terbaru memecahkan masalah matematika.

Anehnya kebanyakan anak-anak justru kehilangan menangkap filosofis ilmu matematika. Mereka kehilangan memahami konsep yang menjadi target mempelajari ilmu ini. Sekalipun hanya ilmu alat, namun matematika memiliki banyak cara untuk menyelesaikan masalah. Seharusnya anak-anak memahami untuk apa mereka belajar matematika, persoalan apa yang perlu dipecahkan secara matematis. Selanjutnya mereka memilih cara termudah untuk menyelesaikan masalah.

Ini baru satu mata pelajaran. Ada banyak pelajaran lain yang anak-anak bahkan tidak mengerti untuk apa dipelajari. Standar mutu pendidikan selalu berubah dari waktu ke waktu. Namun produk pendidikan tak kunjung membaik.

Beban ketiga adalah, kurangnya perhatian guru. Untuk mengejar biaya operasional sekolah, guru harus mengawasi banyak siswa. Sementara itu kemampuan siswa sangat beragam. Mulai dari yang sangat cerdas, cerdas, cukup dan kurang. Bila guru memperhatikan anak yang kurang, maka anak yang cerdas akan merasa bosan. Bila standarnya adalah anak yang cerdas, maka sungguh kasihan anak yang terbelakang. Kondisi ini menyebabkan beban tersendiri bagi anak-anak. Belajar jadi kurang terasa menyenangkan. Bahkan lebih dari itu, bagi anak yang pintar, mereka akan kehilangan suasana. Mereka akan lebih banyak bermain-main, karena lebih cepat menangkap pelajaran sementara guru harus memperhatikan murid yang lain.

Bagi para guru, tak dipungkiri bahwa pendidik adalah pekerjaan untuk membuat asap dapur tetap mengepul. Dalam kondisi beban pekerjaan berat harus mengawasi banyak anak dalam satu kelas, tentunya wajar bila tidak semua target pendidikan masing-masing anak bisa dioptimalkan.

Saat ini pro kontra problem dunia pendidikan masih terus berlangsung. Mulai dari mahalnya biaya pendidikan, beban berat kurikulum, Ujian Akhir yang tidak mewakili kompetensi sesungguhnya dan kualitas guru yang mayoritas masih rendah.

Di tengah arus kapitalisasi dan liberalisasi yang semakin mematerialistiskan dunia pendidikan, maka homeschooling menjadi pilihan pendidikan yang tidak membebani. Orang tua tidak terbebani dengan biaya pendidikan yang mahal danĀ  anak tidak terbebani dengan kurikulum yang tidak sejalan dengan proses pendidikan yang diharapkan. Namun hal ini pun masih menyisakan pertanyaan besar bagi para orang tua. Mampukah mereka menjadi pendidik yang sesungguhnya bagi anak-anaknya? (el_Moesa) Bersambung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *