By: Nafiisah FB
Gundukan tanah merah masih basah ketika ia berdiri di sana. Bapaknya mati malam tadi. Kabarnya karena bapaknya itu berkelahi dengan seseorang yang wilayah ngamennnya diambil tanpa ijin yang bersangkutan. Dia sesaat masih berdiri menangis gundah. Bukan untuk bapaknya yang memang dulu sering berubah kejam. Bukan untuk masa depannya yang nanti pasti tambah suram. Tapi, untuk dua adiknya yang butuh makan dan untuk emaknya yang kian menyurut harapan.
Gundukan tanah merah masih basah ketika dia berdiri di sana. Bukan gundukan tanah bapaknya, tapi buat satu adiknya. Dia sesaat masih terhenyak, menangis tertahan. Bukan untuk masa depannya yang kian pudar. Bukan untuk bapaknya yang sudah kian terhapus dari ingatan. Tapi untuk satu adiknya yang hilang nyawa karena mencuri uang seribu semata, lalu untuk satu adiknya yang lain yang tinggal tulang saja, dan juga untuk emaknya yang menyerah dan rela menjadi orang gila.
Gundukan tanah merah masih basah ketika seorang bocah kecil berdiri di sana. Orang-orang mulai berpencaran. Si Bocah menangis kencang. Bukan untuk bapaknya yang wajahnya pun dia tak kenal. Bukan untuk masa depan yang dia sendiri tidak tahu apa itu masa depan. Tapi, untuk kakaknya yang baru mati gantung diri, lalu untuk kakaknya yang satu lagi yang pernah memberinya uang seribu untuk membeli roti, dan juga untuk emaknya yang dia sangsi bisa bertemu lagi.
Langkahnya gontai menuju entah. Bersama angin yang sering berhembus berubah arah.. Nanar dipandanginya mobil-mobil mewah yang berseliweran. Sebuah bis hijau datang. Sejumlah penumpang menghentikan. Si Bocah Kecil ikut naik dalam kerumunan. Dia melihat seorang ibu duduk memangku anaknya hangat dalam dekapan. Bocah kecil menunduk cepat. Dia teringat ia pernah pula tertidur pulas dalam sebuah pelukan. Namun, dia segera singkirkan, dia karena tidak ingin menanggung lebih banyak kepedihan. Tidak lama dia turun sambil bersiul ria ketika jari-jari kecilnya berhasil menyambangi kantung uang seorang penumpang. Kembali berlari dia mengejar recehan. Kembali berteriak dia memaki temannya yang merebut jatah pulungan. Kembali bergiat dia mengais sisa-sisa asa. Sampai detik berikutnya sebuah kereta listrik Bogor-Jakarta menggilasnya juga.
Dia menyusul bapak dan dua kakaknya. Namun, tidak ada gundukan tanah merah buat dirinya.[]
aku suka cerpen-cerpenya, sosial bgt !!!
voice of islam jam siaranya di tambah dong !!!!
gundukan tanah merah…
sisi lain nafas kehidupan…
termakna sebagai ada dan tiada ‘dunia’,
Hanya bagi mereka yang berpikir dan terpikir karenanya…
tertegun…
membangun duka, atau
bangkit menggapai kesejatiannya…
Untuk perjuangan tiada akhir…
‘Gundukan tanah merah’, pertanda ingatannya
perjuangan tiada akhir…semoga aku, kamu, mereka …kita … kan selalu bertahan dalam baranya.
Mbak Nafiis, nggak nyangka ternyata akhir kisahnya gundukan tanah merah tragis banget
Terinspirasi pas naik KRL yaa…
Iya.;) Naik KRL, mencicipi ketragisan hidup di bawah kepemimpinan kapitalisme. ðŸ™