Oleh Umar Abdullah*)
Geli sekaligus heran. Itulah kata yang tepat saat saya melihat SBY dan para pendukungnya tidak terima ketika banyak demo yang mengkritik dirinya. Geli, ketika ada yang membakar foto SBS (SBY, Budiono, Sri Mulyani) dan menginjak-injaknya. Ada yang yang membawa kerbau yang pantatnya ditempeli foto SBY dan kata “turun”. Beberapa hari kemudian malah muncul demo yang membawa dua kambing yang diberi topeng Budiono dan Sri Mulyani. Heran, karena kenapa SBY dan para pendukungnya mesti tersinggung? Bukankah caci maki, apalagi di demonstrasi, adalah ciri demokrasi? Bukankah SBY dan para pendukungnya ingin menegakkan demokrasi? Bukankah mereka bangga dengan predikat Indonesia sebagai negara yang terkategori paling demokrasi di dunia.
Saya teringat beberapa tahun yang lalu di tivi ada demo di Australia. Salah seorang demonstran kulit putih memakai topeng George W. Bush Presiden AS sedang menyeret anjing mainan yang ditulisi “Howard” PM Australia. Ia mengkritik presidennya sendiri yang ia anggap anjing peliharaan Bush dalam urusan Perang Teluk II. Kalau memakai caci maki gaya orang Jawa maka Howard itu ”asu tenan!”. Marahkah Howard? Saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak mendengar berita Howard men”curhat”kan dirinya yang di”asu tenan”kan itu. Demokrasi berlaku di Australia, bung! Termasuk ketika rakyat AS dengan sangat demonstratifnya menyelenggarakan permainan asyik lempar boneka Bush dengan sepatu, pasca pelemparan Bush dengan sepatu oleh seorang wartawan Iraq. Aksi ini persis di depan Gedung Putih. Bagi negara yang punya tradisi lempar sepatu, ini bentuk penghinaan yang sangat kurang ajar. Senewenkah Bush? Mestinya! Tapi AS kan negara demokrasi, jadi biasa aja lagee…
Caci maki memang ciri demokrasi! Dalam sejarahnya yang panjang, demokrasi memang dipenuh fitnah, kebohongan dan kata-kata kotor. Segala cara boleh ditempuh asal tujuan tercapai. Istilahnya ”tujuan menghalalkan segala cara”. Sekarang kawan besok lawan, sekarang lawan besok kawan itu juga sudah biasa di alam demokrasi. Sehingga muncul jargon ”Tak ada lawan abadi, tak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Asal bisa merebut kekuasaan, asal bisa mempertahankan kekuasaan, semua cara akan mereka tempuh. Jangankan caci maki, pembunuhan pun akan dilakukan oleh orang-orang yang katanya ingin menegakkan demokrasi. Ya, itulah sejarah politik demokrasi. Sejarah yang kotor!
Tak ada etika dalam demokrasi. Karena demokrasi menyerukan kebebasan berpendapat! Karena demokrasi muncul ke permukaan Eropa Barat memang ingin menghilangkan etika yang ditetapkan Gereja dan Kaisar yang memberangus kebebasan berpendapat para pemikir dan filosof! Voltaire, penegak demokrasi dari Perancis, pernah mengatakan, ”Aku akan membelamu sampai mati kebebasanmu mengatakan pendapatmu yang berbeda dengan pendapatku!” Sehingga dalam demokrasi, jangankan mencaci presidennya, mencaci agama dan para nabi pun mereka oke-oke saja. Lihatlah apa seperti terjadi di negara-negara Skandinavia.
Jadi jangan bicara etika, kalau ingin menegakkan demokrasi. Karena etika aslinya tidak ada dan ingin dihilangkan dalam berdemokrasi. Etika mulai dibuat dalam demokrasi, ketika demokrasi sudah menemukan korban-korbannya. Ketika orang-orang sudah mulai merasakan pedihnya hidup di alam demokrasi, mulailah mereka membuat ”etika” berdemokrasi. Sekedar untuk sedikit mengurangi perihnya berdemokrasi.
Bagi orang Indonesia, etika berbicara dan mengemukakan pendapat mereka temukan dalam Islam yang sudah menjadi darah daging mereka sejak abad ke-10 M. Orang Indonesia mengenalnya sebagai ”adab”. Sehingga orang Indonesia mengenal istilah “beradab”. Jadilah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sopan, santun, lemah lembut, besar rasa malunya, tidak cepat marah, jujur, berani berkata benar, murah senyum, memenuhi janji, mudah trenyuh melihat kesengsaraan orang lain, rela berkorban demi orang lain, suka berbaik sangka, memilih memendam aib orang lain, amanah, tidak suka mencaci maki, rendah hati, memuliakan tamu, memuliakan orang tua, memuliakan ulama, memuliakan Sultan, dan suka bergotong royong.
Per”adab”an Islam yang diterapkan orang Indonesia ini tersohor ke seluruh dunia saat Kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara memuncak pengaruhnya pada abad ke-16 M. Bangsa Indonesia pun dikenal sebagai bangsa Islam. Islam menjadi identitas bangsa Indonesia, bangsa yang sopan dan santun.
Namun, awal abad ke-20 M mulailah pemuda dan pemudi Indonesia dikenalkan demokrasi oleh penjajah Belanda yang kafir. Mulailah adab Islam ditinggalkan dan dilecehkan oleh para pemuda dan pemudinya. Lihatlah Boedi Oetomo apa yang mereka lakukan? Malu saya menyebutnya sebagai orang Indonesia. Sisa-sisa per”adab”an Islam mulai menyurut dengan hadirnya banyak partai-partai berbasis Sosialisme demokratik era 1920an hingga 1959. Adanya partai komunis tahun 1948-1966 bahkan membuat orang Indonesia kehilangan ”Indonesia (baca: Islam)”nya. Setelah Soeharto berkuasa, Golkar yang kapitalis ikut menanam saham kerusakan per”adab”an Islam. Kejujuran, amanah, berani berkata benar, dan welas asih seperti terkikis dengan mudah oleh uang dan jabatan. Mei 1998 Soeharto dan rakyat Jakarta dan Solo merasakan perihnya ketika per”adab”an Islam seperti sirna dari diri orang Indonesia. Setelah Reformasi 1998, demokrasi semakin merajalela. Hampir semua partai berbasis demokrasi dan ingin menegakkan demokrasi. Per’adab”an Islam makin terkoyak-koyak dari diri “OI” (orang Indonesia). Ruhut Sitompul yang seolah menjadi jubir partai menjadi icon sudah ‘tumpul’nya adab orang Indonesia. Dan awal tahun 2010 demokrasi mulai menemukan korban-korbannya. Awalnya presiden kemudian…Terakhir, pesan untuk presidenku. Kalau tak mau dicaci, tinggalkan demokrasi![]
*) Penulis naskah VCD Sejarah Penerapan Syariat Islam di Indonesia.