Di akhir masa kejayaannya, pemerintah kolonial Belanda akhirnya membuka sekolah bagi kaum inlandeer. Namanya Sekolah Rakyat (SR). Tentu bukan karena Belanda berbaik hati ingin mencerdaskan kaum pribumi, tapi ini taktik baru penjajahan; merangkul hati kaum pribumi agar tak lagi mempersoalkan penjajahan.
Tentu sekolah ini tak sama seperti sekolah umum saat ini. Amat sangat terbatas. Lagipula, tidak sembarang orang boleh melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Hanya kaum ningrat yang diijinkan. Di mana kaum ningrat umumnya punya hubungan spesial dengan penjajah Belanda.
Belanda sadar, bahwa pendidikan bisa menjadi alat perjuangan yang berbahaya bagi rakyat jajahan. Memberikan kecerdasan bagi kaum jajahan sama artinya memberikan mesiu perlawanan kepada mereka. Bahkan kecerdasan jauh lebih berbahaya ketimbang mesiu, senapan dan meriam. Maka pendidikan harus dikebiri.
Hanya para ningrat, para meneer ireng, yang boleh bersekolah. Karena loyalitas mereka telah teruji. Mereka tak akan memberontak, bahkan mendukung pendudukan Belanda. Mereka pula yang menindas perlawanan rakyat. Persis seperti yang diceritakan Douwes Dekker atau Multatuli dalam novelnya Max Havelaar.
Padahal, manusia harus pintar. Dan pendidikan adalah hak asasi manusia menurut dogma demokrasi, dan kewajiban menurut Islam. Tapi apa lacur, kapitalisme telah menjadikan bangku sekolah sebagai barang dagangan. Harus dibeli bahkan dengan harga yang tinggi pula. Kini, seperti kembali ke masa lampau, hanya kaum ningrat yang bisa bersekolah di tempat yang bagus, bermutu dan beranjak ke jenjang yang lebih tinggi. Jangan bermimpi anak seorang petani di Gunung Kidul, atau pedagang asongan di jalanan Jakarta bisa menyekolahkan anaknya di fakultas kedokteran negeri, apalagi swasta. Perlu puluhan bahkan mungkin ratusan juta rupiah untuk bisa menerobos ke sana.
Di mana ada kebutuhan, di situ diperlukan uang. Keluarga-keluarga muslim pun harus memilih; mau sekolah biasa-biasa saja maka masuklah ke sekolah negeri. Di mana satu kelas berjejalan 40-an anak, dengan pengajar tunggal, dan keadaan yang serba kedodoran.
Mau yang bermutu dan unggulan? Jangan khawatir, ada sekolah-sekolah Islam bagi keluarga-keluarga muslim yang menginginkan anaknya bisa mendapat pendidikan yang layak dan agamis. “Kalau enam tahun rusak, maka bisa rusak pula masa depannya,” tutur seorang kenalan beralasan menyekolahkan anaknya ke sebuah sekolah Islam. Tentu semua pakai uang. Banyak pula.
Jangan tanya apa alasan mendirikan sekolah dengan uang pangkal berjuta-juta. Ini adalah peluang usaha. Ketika kesadaran berislam muncul di tengah kerumunan kapitalisme, ini membuka sebuah harapan; harapan usaha. Maka dibangunlah sekolah-sekolah di mana tidak setiap anak muslim bisa duduk di bangkunya.
Suka atau tidak, sekolah-sekolah semacam itu memang bukan solusi di alam kapitalisme. Ia hanya semakin menyisakan persoalan yang mendalam. Persoalan bagi banyak orangtua yang tidak mampu merogoh koceknya dalam-dalam. Bahkan banyak guru-guru di sekolah-sekolah ningrat gaya baru itu juga berkecil hati. Tidak ada jaminan anak-anak mereka juga bisa belajar di sana. Ironi.
Kapitalisme memang lihai. Itulah sebabnya ia masih bertahan. [januar]