Oleh O. Solihin
“Ba’da salam dan tahmid. Sahabat, kutulis e-mail ini sengaja untukmu seorang. Tentang kita, tentang harapan kita, tentang semua cita-cita dan doa-doa kita. Kita memang pernah membayangkan bahwa kita akan berpisah jarak. Kita pernah meramalkan bahwa kita akan mengalami masa-masa sulit dari perjuangan dakwah kita. Kita sudah ikat janji setia kita bahwa kita tak akan pernah berhenti menyebarkan kebenaran yang kita yakini. Kita telah berikrar dengan teguh dan kuat bahwa kita tak akan pernah terpisahkan dalam satu ikatan akidah Islam meski jarak memisahkan kita. Kita telah memahat janji kita di hati kita berdua. Kita telah membenamkan ikrar kita di ruang pikiran kita. Telah pula mematri semua keinginan dan obsesi perjuangan kita dalam desahan nafas kita yang tak lelah menghela lidah untuk serukan kebenaran Islam. Ya, kita akan terus gelorakan perjuangan. Itu sebabnya kita perlu hentakan yakin agar kita tetap bersatu. Sahabat, kini aku yakin dirimu tetap gelorakan semangat juang yang pernah kita gariskan saat kita masih bersama melukis hari-hari indah di kampus perjuangan. Saat kita bersama mengalahkan segala rintangan. Yakinlah, bahwa kita tak pernah benar-benar sendiri dalam perjuangan dakwah ini, dan tak akan pernah sia-sia dalam membela agama Allah. Kita tetap bersama kawan. Percayalah, bahwa hanya Allah Ta’ala pelindung kita. Dialah yang telah memberi kita semangat dan keberanian untuk mengalahkan semua penghalang dakwah. Karena perjuangan yang kita jalani adalah tentang hidup dan mati. Salam perjuangan dan kemenangan ideologi Islam, dari sahabat yang tak pernah melupakanmu, Hamzah”
Pram, pria kurus berkumis tipis itu menghela napas panjang dan dihembuskannya perlahan. Matanya masih menatap monitor komputer yang menampilkan isi e-mail dari sahabat lamanya, Hamzah. E-mail yang dikirim dua bulan lalu itu sengaja dibukanya kembali untuk mengobati rindunya pada Hamzah. Ia adalah anak kampus yang paling aktif di kegiatan keislaman. Sama seperti dirinya. Bahkan dirinya dan Hamzah adalah dinamo keberlangsungan kegiatan keislaman di kampus. Meski berbeda latar belakang sosial, Pram dan Hamzah tetap lengket dan tak ada sekat-sekat keraguan membatasi hubungan mereka.
Pram menyeka sudut matanya. Ada air bening yang menetes. Ia berusaha menahannya dengan ujung telunjuknya. Agar air mata kedukaan itu tak jatuh. Pram merasa kerdil saat ini. Pram malu kepada dirinya sendiri dan janjinya kepada Hamzah.
“Kamu tidak tahu bahwa aku kini jadi pecundang,” batinnya bergemuruh.
“Maafkan aku karena selama tiga tahun ini aku telah menipumu. Aku memberikan semua informasi salah tentang diriku,” Pram gundah gulana dalam batinnya. Ia kemudian menutup e-mail dari sahabatnya itu. E-mail yang sengaja tak di-reply sebagaimana ia sering melakukannya. Sambil mengisinya dengan hal-hal yang heroik tentang perjuangannya di kota kecil tempat asalnya. Semua SMS dari Hamzah dibalasnya dengan kabar gembira tentang kesuksesan dakwahnya. Pram pun berbohong kepada Hamzah saat sahabatnya itu menghubunginya via telepon. Pram benar-benar terpukul dengan kiriman e-mail dari sahabatnya yang masih bersemangat menyerukan kebenaran Islam. Pram tahu, Hamzah tipikal orang yang tak bisa diajak kompromi. Ia teguh benar menggenggam kebenaran.
Sudah tiga tahun ini Pram tinggal di kota kelahirannya sejak ayahnya meninggal dan menyisakan banyak utang. Uang pinjaman dari keluarga dan tetangga untuk mengobati penyakit ayahnya tak berbuah hasil. Biaya opname, operasi tumor paru-paru yang diderita ayah Pram dan semua jenis obat yang dibelinya cukuplah banyak. Pram dan ibunya tak berpikir macam-macam selain kesehatan ayahnya. Namun, usaha tak berjodoh dengan kesembuhan ayah Pram.
Selama tiga tahun itu pula Pram dan Hamzah berpisah. Jarak yang sangat jauh yang membuat mereka tak bisa bersua fisik. Bahkan saat ayah Pram meninggal pun, Hamzah hanya mengirim salam via SMS. Karena saat itu ia tak punya banyak pulsa. Pram tahu dan memakluminya, karena Hamzah saat itu pun sedang kesusahan. Setelah menikah dengan Halimah dan pindah ke kota kelahiran istrinya, Hamzah memulai hidup dari nol. Ia memang tak ingin berharap dari kekayaan ayahnya. Hamzah ingin mandiri dan memilih jalannya sendiri. Pram tahu betul karakter sahabatnya itu. Pram yakin, itulah yang membuat Hamzah lebih bisa bertahan ketimbang dirinya yang mudah rapuh.
Malam yang dingin. Mata Pram menatap langit-langit yang bintangnya berkelipan genit menghiasi lukisan malam yang didominasi pekat. Angin semilir menerpa lembut wajah tirus milik Pram. Ia sedang membayangkan Hamzah tengah bahagia berkumpul bersama anak dan istri tercintanya. Hamzah berani mengambil risiko menikah selepas kuliah dan kemudian hijrah ke kota kecil di ujung Sumatera. Sementara Pram, masih setia membujang. Meski ibunya berkali-kali memintanya segera menikah. Tapi Pram bergeming. Ia tak akan menikah sampai semua utang ayahnya terlunasi.
“Kamu pasti malu mendapati pekerjaanku saat ini,” Pram menghembuskan nafas resah.
“Aku memang selalu memberikan kabar gembira tentang dakwahku di sini. Tapi itu semua bohong. Aku memang tak sekuat prinsip hidupmu,” nada penyesalan Pram terasa kuat.
Pram memang pantas menyesal dan malu. Gelora perjuangan dakwah saat masih di kampus, terdengar hambar dan sekadar kenangan bagi Pram. Kini semua berganti dengan kerlap-kerlip lampu panggung hiburan dan sorak-sorai penonton. Suara Pram memang masih terdengar dan lantang. Tapi bukan untuk dakwah. Pram menjadi Disk Jockey (DJ) terkenal dan pujaan ABG di sebuah diskotik ternama di kota kelahirannya. Ia tak punya pilihan demi mengumpulkan rupiah untuk lunasi semua utang ayahnya. Terpaksa ia lakukan itu, karena terus diburu para rentenir. Sebab ibunya diam-diam meminjam uang mereka untuk berobat ayahnya.
Awalnya Pram menolak ajakan seorang teman lamanya waktu SMA. Tapi akhirnya ia menyerah dan kemudian mengorbankan idealisme dan perjuangannya. Prinsipnya kalah digerus kondisi yang membuatnya tak punya waktu untuk berpikir lebih panjang dan lebih jernih. Maka, tawaran jadi DJ dari temannya ia terima juga demi utang keluarga bisa terbayar lunas.
Pram malu jika suatu saat Hamzah tahu tentang dirinya saat ini. Tapi Pram mencoba menghibur diri bahwa Hamzah tak mungkin tahu. Pram terpaksa akan selalu berbohong kepada Hamzah jika sahabatnya itu mengirim SMS, telepon, ataupun e-mail.
Ringtone di ponsel Pram berbunyi nyaring menghentikan lamunannya. Pram segera mengambilnya dari atas meja di samping komputer miliknya yang telah lapuk dimakan usia. Pram ragu untuk menerima panggilan itu karena tertera dengan jelas nama Hamzah. Resah di dada Pram. Karena ia harus terpaksa berbohong lagi kepada sahabatnya itu. Pram termenung hingga suara ringtone itu berhenti. Diam. Beberapa saat kemudian, berbunyi lagi ringtone MP3 dari penggalan lagu Bingkai Kehidupan yang telah lama ia pasang di ponselnya sebagai pengingat perjuangan meski sejatinya telah ia tinggalkan jauh makna perjuangan dakwah itu. Dilihatnya identitas si penelepon. Masih Hamzah. Pram diam.
Tak ada suara setelah ringtone itu berhenti. Pram duduk di tepi jendela dan menatap langit malam yang tetap didominasi warna hitam. Bintang-bintang tersebar acak di langit malam dengan kerlipan yang indah dipandang mata. Pram berhenti memandangi langit malam ketika ponselnya kembali berdering. SMS yang masuk ke ponsel Pram. Pengirimnya Hamzah. Tak sabar Pram membuka pesan itu.
“Aslmwrwb. Pram, aku kcewa sm kmu. Trnyata kmu slma ini mmbohongi aku. Bhkn aku lbih kcewa lg krn kmu tdk malu kpd Allah atas apa yg kmu prbuat. Pram, aku tak btuh pnjlasan dr kamu. Sbb, aku tlah mngetahui aktivitas kmu dr rkaman yg dikrm pnggemarmu ke situs pnyimpanan video, Youtube! Maafkn, krn aku tlh mrasa gagal tdk bs menolongmu. Aku hrap, kmu msh mau brubah. Smga kta bs brtemu di surgaNya kelak. Tp bkn dngn kndisi sprti ini. Kemiskinan jgn mmbuat dirimu mnjadi futur (apalagi kufur), sahabat!”.
Pram lunglai. Seluruh tubuhnya terasa lumpuh dan rapuh.[]
[cerpen ini pernah dimuat di Majalah Al-Mujtama, Agustus 2008]