Belakangan ini ada sesuatu yang membuat rakyat negeri ini kian berduka. Bukan sekadar bencana alam yang terus berdatangan. Juga bukan ulah anggota dewan yang terus menuai tunjangan di tengah derita anak bangsa. Tapi langkanya tempe dan tahu. Kelangkaan dua makanan rumahan dan murah ini sempat menjadi headline seluruh media massa di tanah air. Banyak orang merasa kehilangan, termasuk saya dan mungkin Anda.
Membumbungnya harga kacang kedelai, bahan baku tahu dan tempe, membuat produsennya kelimpungan. Marjin keuntungan yang menipis membuat mereka bingung membuat pilihan; antara menaikkan harga atau mengecilkan ukuran. Selama beberapa pekan tahu dan tempe menjadi langka di pasar.
Semua orang resah; para pedagang dan konsumen resah. Yang lebih parah lagi hal ini membuat para pengusaha tahu dan tempe mati perlahan. Dan bukan hanya mereka, tapi juga para produsen makanan berbahan baku kacang kedele pun mengalaminya. Produsen tauco, pedagang gorengan, dan pengusaha warteg ikut merana.
Jangan lupa, jutaan kaum miskin di Indonesia yang proteinnya ditentukan oleh tahu dan tempe juga merana. Setelah makan daging tinggal impian, telur nyaris tak terjangkau, kini tahu dan tempe pun sulit diperoleh.
Dua makanan nan sederhana – bahkan sering dianggap ‘kampungan’ – ternyata punya banyak makna. Betapa pahitnya menjadi bangsa yang tak mandiri. Kita pun terhentak bahwa tahu dan tempe yang kita anggap murahan ternyata berbahan baku impor. Tidak kurang 60 % kacang kedelenya berasal dari Amerika Serikat. Demikian rapuh dan bodohnya kita sampai-sampai nasib tahu dan tempe saja ditentukan oleh negara adidaya. Maka jangan bicara nuklir atau artileri atau IT jika tahu dan tempe saja harus tunduk pada negara adidaya.
Kebodohan kita adalah membiarkan diri dicekoki terus oleh bangsa asing. Kita menjadi bangsa yang pemalas, tunduk pada hawa nafsu kekuasaan, berpikir pendek dan tak pernah merancang masa depan. Ketika pemerintah negeri ini membuka keran impor kacang kedele – yang harganya lebih murah –, penguasa tidak menolong para petani kedele. Mereka dibiarkan bertahan hidup sendirian melawan importir yang jaringan pasarnya sudah menggurita. Entah komoditi apa lagi yang menjadi hajat hidup rakyat yang dipasok oleh bangsa asing.
Semoga, ini adalah kali terakhir kita menjadi bangsa yang mengidap inferioritas akut dan pemalas. Akhirilah babak ini dengan membangun kemandirian. Dan kemandirian hanya bisa dibangun jika umat memiliki keyakinan hidup yang sehat dan kuat, yaitu akidah Islamiyah. [januar]