Demokrasi, ide yang lama disakralkan umat manusia, kini berada dalam ancaman. Di Indonesia, banyak pengusung ide demokrasi gelisah. Serentetan cacat demokrasi menyeruak ke permukaan. Pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadal) di sejumlah daerah ternyata bermasalah. Mulai money politics, manipulasi data pemilih, hingga konflik horizontal di tengah masyarakat akar rumput. Padahal, selain dimaksudkan sebagai pemilihan kepala daerah, pilkada juga dimaksudkan sebagai pesta demokrasi di tingkat bawah. Karena rusuhnya, sampai-sampai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa pilkada itu mudlarat.
Sebenarnya bukan saja pilkada yang bermasalah. Pemilu di tingkat nasional pun selalu rawan hal yang serupa. ‘Serangan fajar’ hingga sikap saling curiga yang menimbulkan ketegangan nasional.
Hal lain yang kini dicemaskan oleh para pengusung demokrasi ialah persoalan kesejahteraan. Sejumlah kalangan menyerukan agar jangan mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan. Presiden SBY pun mengingatkan hal serupa kepada masyarakat. Kecemasan ini amat berdasar karena demokrasi yang telah lama dipraktikkan di tanah air – juga di dunia – alih-alih menciptakan kemakmuran bersama justru menggali jurang kemiskinan yang kian dalam. John Pilger, ekonom terkemuka, mengatakan bahwa ¼ ekonomi dunia dikendalikan hanya oleh 200 perusahaan raksasa. Aset perusahaan Ford sama dengan kekayaan Denmark.
Seruan agar jangan mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan sebenarnya adalah pengingkaran terhadap ajaran demokrasi sendiri. Dalam demokrasi secara built-in telah terkandung kebebasaan ekonomi. Berlaku prinsip survival of the fittest, siapa yang kuat dialah yang bertahan. Karena bukankah inti ajaran demokrasi adalah kebebasan?
Lihat saja bagaimana perusahaan-perusahaan raksasa multinasional seperti Levis, Calvin Klein, Reebok, Adidas, Nike dengan rakusnya berproduksi di atas upah rendah buruh-buruh di negara dunia ketiga. Perusahaan sepatu Nike dengan entengnya mengontrak pegolf dunia Tiger Wood untuk mempromosikan produk mereka dengan nilai kontrak yang setara dengan upah buruh perusahaan itu se-Indonesia.
Atau, saksikan juga bagaimana demokrasi yang telah berkelindan dengan kapitalisme ‘membunuh’ rakyat miskin secara perlahan. Seperti yang dialami sang ibu malang Daeng Mapaseng bersama anaknya dan janin 7 bulan yang dikandungnya, mati kelaparan. Dan ribuan lagi balita di Indonesia merasakan kepedihan gizi buruk. Sedangkan di sudut lain banyak orang tenggelam dalam kekayaan mereka. Termasuk Menkokesra RI yang baru saja dinobatkan sebagai orang terkaya di tanah air.
Maka, apalagi yang mau diharapkan dari demokrasi? Stabilitas politik tak kunjung terwujud, kesejahteraan masyarakat pun tak tercipta. Mengharapkan demokrasi menciptakan kemaslahatan sama saja menegakkan benang basah. Mustahil. Demokrasi sebenarnya menyimpan program self-destruction yang bisa meledak kapan saja. Termasuk ketika sedang merasa di puncak. [januar]