Mari (Jangan) Berhemat

Ketika rumor kenaikan BBM mencapai kenyataan, seiring kenaikan harga minyak dunia, Presiden SBY (lagi-lagi) menyerukan pentingnya berhemat energi. Seruan ini klise yang berulang-ulang. Jauh sebelum rencana kenaikan harga BBM, publik sudah dihimbau untuk berhemat pemakaian listrik. Iklannya pun berulang-ulang ditayangkan di layar kaca.

Bukan saja klise, seruan penghematan juga kosong. Miskin dari aksi. Satu stasiun televisi menayangkan gambar kantor-kantor pemerintah yang lampunya terus benderang meski telah tutup, termasuk di hari libur. Di jalan kita sering melihat mobil pemerintah dan aparat keamanan bersliweran. Mobil-mobil itu BBM-nya pasti menggunakan uang pemerintah. Dan bukan rahasia lagi bahwa untuk keperluan pribadi pun sering mobil dinas menggunakan uang kantor. Itu berarti uang rakyat.

Agar berhemat BBM, Pertamina membatasi pembelian BBM oleh pemilik kendaraan bermotor untuk kawasan Jabodetabek. Motor hanya boleh membeli BBM sebanyak Rp 15 ribu. Tapi, lagi-lagi sebuah ironi terjadi. Dalam rangka peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, belasan motor gede melaju kencang di jalan raya, bahkan melewati jalan tol yang sebenarnya terlarang bagi kendaraan roda dua. Rombongan motor mewah itu menempuh rute Jakarta-Surabaya untuk memperingati hari Kebangkitan Nasional. Mari kita hitung, berapa bensin yang dibutuhkan untuk satu motor yang rata-rata berkapasitas 1500 cc itu. Pastinya di atas motor bebek. Dan berapa ratus liter yang dibutuhkan untuk mengisi sekian belas tanki motor, dan untuk menempuh jarak Jakarta-Surabaya. Bukankah itu sebuah pemborosan?

Kembali untuk membuktikan klise dan kosongnya seruan penghematan. Tepat tanggal 20 Mei, untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional, sebuah pesta seremonial nan akbar diselenggarakan pemerintah. Acara hiburan yang meriah pun ditabuh. Berapa miliarkah biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk itu? Tidak lama lagi pemerintah pun akan membangun monumen pemuda yang biayanya diperkirakan mencapai Rp 3 miliar. Lalu apa artinya himbauan berhemat yang diserukan Presiden dalam pidatonya? Kosong!

Mengapa ketika seruan berhemat dan menyelamatkan APBN, selalu rakyat yang dikorbankan? Mengapa rakyat yang diseru untuk berhemat? Bukankah lebih terhormat jika para pemimpin yang terlebih dahulu mempraktikan gaya hidup hemat? Bahkan bagi si miskin, masih adakah lagi yang bisa dihemat?

Bukankah lebih adil jika penghematan dimulai dari kantor-kantor pemerintah, penggunaan anggaran pemerintah, dan pemotongan gaji-gaji para pejabat negara dan wakil-wakil rakyat? Sayang, pemerintah selalu mengorbankan rakyat terlebih dahulu. Karena itu jalan pintas yang paling mudah dan menguntungkan bagi mereka, sama seperti halnya dengan menjual aset-aset bangsa kepada pihak asing. [januar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *