Tahun 2009 M lalu diwarnai dengan wafatnya dua orang gembong munafik asal Indonesia. Banyak yang bertanya, apakah boleh kita menyalati orang munafik yang hingga akhirnya hayatnya tidak bertaubat (tidak mengoreksi perkataan dan perbuatannya yang menikam Islam). Maka kisah ini insya Allah menjawab pertanyaan tersebut.
Ibnu Ishaq berkata, Az-Zuhri berkata kepadaku dari Ubadillah bin Abdullah bin Utbah dari Ibnu Abbas yang berkata, aku mendengar Umar bin Khaththab ra berkata,
“Ketika Abdullah bin Ubai meninggal dunia, Rasulllah saw dipanggil untuk menyalatinya. Kemudian beliau pergi ke tempat jenazah Abdullah bin Ubai. Ketika beliau berdiri di depan Abdullah bin Ubai untuk menyalatinya, aku pindah tempat hingga berdiri di depan beliau.
Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menyalati musuh Allah, Abdullah bin Ubai bin Salul, yang pernah berkata ini dan itu pada hari ini dan itu? Ia juga pernah berkata ini dan itu pada hari ini dan itu?’
Aku menyebutkan hari-hari dimana pada hari-hari tersebut Abdullah bin Ubai bin Salul pernah berkata ini dan itu. Rasulullah saw tersenyum.
Ketika aku terus menerus berkata seperti itu kepada beliau, beliau bersabda kepadaku, ‘Hai Umar, berilah aku waktu, karena aku diberi pilihan kemudian aku mengambil pilihanku, kemudian dikatakan kepadaku: Kamu mohonkan ampunan bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampunan bagi mereka (adalah sama saja); kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka; yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (TQS. At-Taubah: 80). Jika aku tahu bahwa jika aku memintakan ampunan lebih dari tujuh puluh kali, kemudian dosa Abdullah bin Ubai bin Salul diampuni, aku akan menambah permintaan ampunan untuknya lebih dari tujuh puluh kali.’
Kemudian Rasulullah menyalati jenazah Abdullah bin Ubai bin Salul dan aku berjalan bersama beliau hingga beliau berdiri di atas kuburannya dan proses penguburannya selesai.
Aku heran dengan kelancanganku terhadap Rasulullah saw. Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.
Demi Allah, tidak lama setelah itu, turunlah dua ayat berikut:
Wa laa tushalli ’alaa ahadin minHum maata abadan wa laa taqum ’alaa qabrihi innaahum kafaruu billaahi wa rasuulihi wa maatuu wa hum faasiquun.
Artinya: ”Dan janganlah kamu sekali-kali menyalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. at-Taubah: 84)
Sejak itu Rasulullah saw tidak pernah lagi menyalati jenazah orang munafik, hingga beliau wafat.” (Dinukil dari Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dan Tafsir Ibnu Katsir)
Demikianlah, hukum menyalati orang munafik yang awalnya mubah, dinasakh menjadi haram untuk selamanya. [Umar Abdullah]