Haruskah Obama?

Pesona Obama untuk sebuah Amerika Serikat nampaknya terlalu kecil. Seperti magnet raksasa, sosok Obama mengundang perhatian banyak orang di planet ini. Termasuk dari negeri antah berantah yang bernama Indonesia.

Ketika melacak berbagai tulisan tentangnya, saya menemukan sebuah situs lokal yang mencantumkan opini anak bangsa yang memuja Obama. Berat. Obama Membara, membara Obama, tulisnya. Sang penulis dengan fasih menuliskan masa kecil Obama, kecerdasannya, dan titian karirnya hingga berkutat untuk menjadi orang terkuat di negara adidaya. Semua penuh dengan tinta kekaguman. Anak muda tadi tidak sendiri. Di sebuah harian nasional saya membaca bahwa di tanah air telah terbentuk semacam ‘fans club’ untuk Obama. Sama seperti anak muda tadi, para fans Obama ini berharap agar pujaannya itu menjadi the next president di negeri Paman Sam.

Ada beberapa alasan mengapa orang Indonesia begitu memuja Obama; pertama, sentimen kebangsaan. Ya, Obama kecil pernah tinggal di Indonesia. Ia adalah A-Men (anak Menteng). Meski bukan warga negara Indonesia, tapi setidaknya ia pernah ‘jadi’ orang Indonesia. Kedua, ia orang kulit hitam pertama yang mencalonkan diri dalam kancah perhelatan presiden sebuah negara yang memuja warga kulit putih. Ketiga, ia orang muda. Banyak orang berharap Obama tampil seperti Kennedy yang muda, keren, cerdas, dan berani. Anak muda memang diidentikkan dengan segala gelora perubahan. Sampai-sampai dalam sebuah dialog di televisi swasta, sebuah underbouw parpol Islam juga terbawa euforia semangat anak muda-nya Obama.

Keempat, banyak orang berharap tampilnya Obama yang muda, kulit hitam, punya masa lalu dekat dengan Islam, dari Partai Demokrat, bisa membawa perubahan di Amerika Serikat agar tidak seagresif Partai Republik yang penuh angkara murka peperangan seperti yang ditampilkan “dua Bush”.

Tapi, sedemikian pentingkah Obama bagi dunia? Benarkah Obama bisa mengubah segalanya bagi kita, khususnya dunia Islam?

Pembaca, marilah kita berpikir jernih. Sedemikian inferiorkah kita sebagai muslim sampai-sampai menggantungkan sosok kepahlawanan pada orang lain. Bahkan orang yang masa depannya sudah bisa diramalkan? Apakah tak ada tokoh muda Islam yang demikian inspiring bagi kita?

Perjuangan Obama bukanlah perjuangan sendirian. Ia tak akan bisa lepas dari kredo-kredo demokrasi ala partainya. Ketika McCain dari Partai Republik tetap meneruskan kebijakan anti-homoseksual di militer, Obama berpendapat sebaliknya. Ia mendukung homoseksualitas. Semua orang di Amerika tahu, bahwa Partai Republik jauh lebih ‘religius’ dibandingkan Partai Demokrat. Orang Republik anti aborsi dan homoseksual, sedangkan Demokrat di kutub sebaliknya.

Bicara agresivitas militer, Republik maupun Demokrat bak pinang dibelah dua. Hanya beda gaya tempurnya belaka. Bukankah Vietnam pun ‘dibakar’ pemerintah Demokrat?

Apakah kita sudah kehabisan figur muda yang heroik, inspiring, dan pastinya Islami? Apakah nama Natsir muda, Bung Tomo, Diponegoro, Hasanuddin, tidak cukup besar untuk menggugah semangat perjuangan kaum muda di tanah air?

Euforia Obama di kepala anak bangsa, mengutip analisa Ibnu Khaldun adalah gambaran bangsa yang kalah. Mereka yang kalah selalu mengekor para pemenang. Anehnya, kita selalu merasa senang menjadi orang yang kalah. [januar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *